Bismillahirrahmanirrahim…
Salah satu diantara para wanita yang berbagai keutamaannya tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah yang bersinar terang adalah sayyidah zubaidah. Dia adalah ibunda Khalifah Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid, dan dia dikenal dengan panggilan Ummu Al-Fadhl dan Umu Ja’far, sedangkan nama aslinya adalah Azizah.
Dia termasuk ke dalam jajaran para pembesar Quraisy. Tidak ada seorang wanita dari bani Hasyim yang melahirkan seorang pemimpin dari bani Hasyim, kecuali Fatimah binti Asad yang melahirkan Ali bin Abi Thalib, dan sayyidah Fatimah binti Rasulullah yang telah melahirkan Al Hasan bin Ali.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentangnya, “Dia adalah wanita ahli ilmu dan ahli fiqih.” Sedangkan Ibnu Khalkan menyebutkan, “Dia memiliki seratus orang budak perempuan yang semuanya hafal Al-Qur’an, kecuali budak-budak yang hanya bisa membaca sekedarnya dan budak-budak yang tidak bisa membaca. Mereka semua memperdengarkan Al-Qur’an di dalam istana seperti suara lebah, dan wirid setiap orang dari mereja adalah sepersepuluh dari Al-Qur’an.”
Zubaidah adalah sosok wanita yang dermawan, dia menginfakkan banyak hartanya di jalan Allah, khususnya untuk pemeliharaan dan pengolahan Baitullah Al-Haram.
Al-Makki mengatakan, “Melalui tinta sejarah saya mendapatkan beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwasanya dia sangat memperhatikan penggalian sumur-sumur di wilayah Arafah, Mina, dan Mekah.”
Dikatakan juga, “Pada suatu hari, orang kepercayaannya datang kepadanya dan mengatakan bahwa kini dia telah mengeluarkan uang sekitar empat ratus ribu dirham. Maka Zubaidah pun berkata, ‘Sungguh, maksud dari perkataanmu ini tidak lain hanya untuk mencelaku dengan keras, membuatku menyesal dan mencegahku dari kebaikan. Keluarkanlah uangku dan sempurnakanlah pekerjaan tersebut, meskipun harus mengeluarkan uang berpuluh kali lipat dari itu.”
Demikianlah Zubaidah rahimahullah menginfakkan banyak harta untuk memilihara negeri Allah, Al-Haram. Dia juga sangat memperhatikan sedekah jariyah yang pahalanya akan terus mengalir kepada seorang muslim meskipun dia telah meninggal dunia, sepanjang orang-orang masih memanfaatkannya. Jadi kebaikan semacam apakah yang telah diraih oleh sayyidah yang shalihah ini?
Wahai saudariku, apakah kita rela mendermakan harta kita dengan harga yang murah demi mengharapkan keridhaan Allah subanahu wa ta’ala, supaya kita dapat meraih pahala Allah yang lebih besar nilainya daripada harta dunia dan segala isinya?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمُ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۭ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَـَٔاتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Qs. Al-Baqarah: 265)
Bisikan Sang Istri Khalifah
Saat Harun Ar Rasyid sedang menyiapkan pengganti kepemimpinann dari anak-anaknya. Dia melihat di antara anak-anaknya yang paling layak adalah Al Ma’mun. Keinginannya ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang berasal dari nasab mulia Quraisy; Zubaidah. Karena Zubaidah mempunyai anak dari Harun bernama Al Amin. Sementara Al Ma’mun hanya anak dari mantan budaknya.
Berita Harun yang lebih memilih Al Ma’mun daripada Al Amin membuat Zubaidah sangat gundah. Hingga ia menghadap Harun Ar Rasyid dan mengadukan keberatannya.
Harun berkata tegas, “Sesungguhnya ini umat Muhammad dan tanggung jawab terhadap rakyat yang diberikan Allah ini terikat di leherku. Sementara aku tahu antara anakku dan anakmu. Anakmu tidak layak menjadi Khalifah. Dan tidak layak untuk rakyat!”
Tapi Zubaidah tetap ngotot,“Anakku, demi Allah lebih baik dari anakmu dan lebih layak untuk memimpin. Bukan orang dewasa yang bodoh juga bukan anak kecil yang tidak layak memimpin. Lebih dermawan jiwanya dari anakmu. Dan lebih pemberani.”
Harun menjawab lagi,“Sesungguhnya putramu lebih aku cintai. Tetapi ini Khilafah, tidak layak memegangnya kecuali orang ahli. Kita akan dimintai pertanggungan jawab tentang masyarakat ini. Kita tidak sanggup menghadap Allah dengan membawa dosa mereka.”
Lihatlah bagaimana seorang suami yang bijak. Walau ia lebih paham dari istrinya yang hanya mengedapankan rasa, tetapi Harun ingin menampakkan bukti secara langsung bahwa Al Ma’mun lebih layak dari Al Amin. Harun berkata,
“Duduklah di sini, agar aku bisa tunjukkan kedua anak kita ini.”
Harun Ar Rasyid dan istrinya duduk di kursi dan memanggil pertama kali Al Ma’mun. Saat Al Ma’mun datang, ia menundukkan pandangannya. Menunggu lama di depan pintu dalam keadaan berdiri. Lama sekali, hingga terasa pegal kakinya. Hingga diizinkan untuk masuk, ia pun duduk. Kemudian Al Ma’mun minta izin untuk bicara. Setelah diizinkan, ia memulai dengan memuji Allah atas anugerah bisa melihat orangtuanya dan berharap Allah selalu memberi solusi dalam kepemimpinannya. Kemudian ia minta izin mendekat kepada Harun dan Zubaidah. Setelah diizinkan, Al Ma’mun maju dan mencium kaki, tangan dan kepala ayahnya itu, selanjutnya mendatangi Zubaidah dan melakukan hal yang sama.
Kemudian dia kembali ke tempat duduknya semula. Kemudian ia mengucap syukur akan keberadaan ibu yang baik. Selanjutnya Harun Ar Rasyid berkata: Nak, aku akan memberikan kepadamu kepemimpinan ini dan mendudukkanmu di tempat kekhilafahan. Karena aku melihatmu layak untuk menjadi Khalifah.
Al Ma’mun menangis dan memohon kepada Allah agar tidak mengambil ayahnya. Harun meyakinkan lagi bahwa ia layak.
Al Ma’mun akhirnya menjawab: Saudaraku lebih layak dariku. Dia putra tuan putriku. Menurutku ia lebih kuat dibandingkan aku untuk urusan kepemimpinan. Kemudian Al Ma’mun pun keluar setelah selesai.
Harun dan istrinya masih di tempat duduknya. Selanjutnya meminta agar Al Amin datang menghadap. Al Amin datang dengan pakaian kebesarannya dan berjalan dengan angkuh. Dia langsung masuk dengan menggunakan sandalnya dan lupa mengucap salam. Dia terus berjalan hingga duduk sejajar dengan ayahnya di kursi.
Harun berkata: Bagaimana menurutmu nak, aku ingin memberikan kepemimpinan ini kepadamu.
Al Amin menjawab: Wahai Amirul Mu’minin, siapa lagi yang lebih berhak dibandingkan saya. Aku anakmu yang paling tua dan putra dari istri tercintamu.
Harun berkata: Keluarlah, nak.
Setelah ujian ini, Harun berkata kepada istrinya: Bagaimana kamu melihat antara anakku dan anakmu? Zubaidah menjawab menjawab dengan jujur: Anakmu lebih berhak. Harun menjawab: Kalau begitu kamu telah mengakui kebenaran dan obyektif menilai yang kamu lihat.
Setelah semua ini, sudah seharusnya Harun memberikan kepemimpinan kepada Al Ma’mun baru setelahnya Al Amin. Dan memang ia pun bertekad untuk itu.
Tapi anehnya, pada tahun 186 H, Harun Ar Rasyid mengajak anak-anaknya berikut staf dan keluarga kerabat untuk haji sekaligus menjadi saksi atas surat perjanjian yang ditulis dan ditempel di Ka’bah.
Isi surat itu adalah pengganti setelah Harun adalah Al Amin dan setelahnya baru Al Ma’mun. Ajaib kan? Bukankah seharusnya adalah Al Ma’mun baru Al Amin, seperti tekad Harun sejak awal, perlu diketahui bahwa kedua anak Harun ini memiliki kompetensi kepemimpinan sebagaimana yang dikatakan oleh guru mereka: Al Kisai. Anda tahu jawabannya, mengapa Harun justru mengubah pendiriannya?
Para ahli sejarah mengatakan bahwa inilah posisi Zubaidah di hati Harun. Walau Harun telah berhasil ‘menaklukkan’ Zubaidah bahwa yang berhak adalah Al Ma’mun di awal baru Al Amin. Zubaidah pun telah mengakuinya.
Tapi tetap saja, permintaan awal Zubaidah menggema di hati Harun. Zubaidah yang memerankan istri terbaik di hati Harun, terlalu agung untuk ‘disakiti’.
Kisah di atas hanya sebagai contoh, tentu semua dari kisah itu kita ambil hikmahnya untuk dijadikan pelajaran. Karenanya wahai para istri yang baik dan mulia. Bisikan Anda di telinga suami akan terus menggema di hatinya. Maka bisikanlah sesuatu yang benar lagi baik. Jangan bisikan hal-hal yang membuat suami terjerumus dalam kemaksiatan. Karena kita tidak tahu bagaimana kelak akibatnya, bisikanlah kebaikan dan mungkin itu akan menjadi jalan baginya untuk melakukan melakukan banyak kebaikan di hidupnya kelak.
Sumber:
1. Ummu Isra’ binti Arafah, 66 Wanita Pengukir Sejarah, Aqwam
2. DR. Syauqi Abu Khalil, Amir Para Khalifah dan Raja Teragung di Dunia, Pustaka Al Kautsar
3. Ustadz Budi Ashari, Lc, Gema Bisikan Istri, www.parentingnabawiyyah.com
Allahu a’lam…
Ambi Ummu Salman