Bisillahirrahmanirrahim….
Inilah kisah Shahabiyah yang apabila namanya disebut kita akan merasakan kasih sayang yang menjalar dalam diri kita. Dialah pengasuh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, Beliau adalah ibu kedua bagi Rasulullah. Seorang shahabiyah yang ikut dalam berbagai peristiwa besar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ia seorang sahabat wanita yang agung. Namanya Ummu Aiman, nama aslinya adalah Barakah binti Tsa’labah bin Amru bin Hishan bin Malik bin Salmah bin Amru bin Nu’man Al-Habasyiyah. Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha mengikuti semua tahapan kenabian. Pahit manis perjalanan Islam pada masa-masa awal telah ia rasakan. Semoga Allah meridhainya.
Abu Nu’aim berkata: “Ummu Aiman adalah wanita yang ikut dalam peristiwa hijrah, mampu menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki, rajin berpuasa, tahan terhadap lapar, dan mudah menangis (karena takut kepada Allah). Dia akan mendapatkan minuman dari surga yang dapat mengobati semua kepedihan yang pernah ia rasakan.”
Ia termasuk orang yang menjadi tanggungan Abdullah bin Abdul Muthalib yang ditinggalkan kepada putranya, Muhammad. Abdullah meninggal dunia di tengah perjalanan ke Syam, dan meninggalkan istrinya Aminah yang sedang hamil. Aminah melahirkan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan Ummu Aiman merupakan orang yang pertama menyambut kelahiran beliau. Dialah yang mengasuh beliau, sampai ibunya mengirim beliau untuk disusui di tengah-tengah keluarga besar bani Sa’ad di bawah asuhan Halimah as-Sa’diyah. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah pulang kembali beliau diasuh oleh Ummu Aiman dan tidak pernah meninggalkan beliau.
Dan ketika Aminah pergi untuk berziarah ke makam suaminya di Madinah sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya setiap tahun, ia mengajak ummu Aiman ikut serta untuk mengasuh si kecil Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah berusia enam tahun, beliau dan wanita pengasuhnya itu diajak pergi oleh ibunya ke Madinah. Tetapi ajal kematian rupanya tidak bisa ditunda dan dielakkan. Aminah menginggal dunia dan jenazahnya dimakamkan di Abwa’ yang terletak dekat Madinah.
Di saat-saat sulit inilah, keistimewaan Ummu Aiman terlihat. Allah menghendakinya menghimpun semua kebajikan. Ia membawa Muhammad kecil pulang ke Madinah dan mengasuhnya dengan segenap kasih sayang. Muhammad kecil juga mendapatkan kasih sayang dari kakeknya, sehingga bisa menggantikan kasih sayang kedua orang tuanya.
Ibnu Abbas menerangkan: “Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam selalu bersama ibunya, Aminah binti Wahab. Manakala beliau sudah berusia enam tahun, ia diajak pergi oleh ibunya mengunjungi paman-pamannya dari keluarga besar Bani Adi bin An Najjar. Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha yang mengasuh beliau ikut diajak serta. Rombongan mengendarai dua ekor unta. Di daerah Dar al-Nabighah, Aminah berhenti dan sempat singgah selama satu bulan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam merasa sangat kehilangan atas kematian Aminah ibunya, setelah sebelumnya beliau juga kehilangan Ayahnya saat-masih dalam kandungan. Ummu Aiman lalu membawa pulang beliau ke Mekah. Ia hidup bersama beliau di rumah kakek beliau Abdul Muthalib, untuk mengurus segala urusan Muhammad. Dan dengan setia Ummu Aiman selalu melayani beliau hingga dewasa. Bagi beliau, ia adalah seorang ibu yang menggantikan ibu beliau yang telah meninggal dunia. Bahkan ia terus menemani beliau sampai beliau menikah dengan Khadijah radhiyallahu ‘anha. Akhirnya beliau memerdekakan Ummu Aiman sebagai penghargaan dan pengakuan atas kebaikannya. Setelah berstatus merdeka, Ummu Aiman tetap tinggal di rumah Rasulullah di Mekah dan di Madinah, sampai Rasulullah dipanggil ke haribaan Allah untuk selama-lamanya.”
Sepeninggal Abdul Muthalib, Muhammad kecil pindah ke rumah Abu Thalib. Sejak saat itu Muhammad diasuh oleh Fatimah binti Asad (istri Abu Thalib) dan Ummu Aiman dengan penuh kasih sayang. Kondisi ekonomi Abu Thalib serba kekurangan. Anak-anaknya tidak pernah makan dengan cukup. Namun setelah Muhammad tinggal di rumahnya, keluarga Abu Thalib senantiasa mendapat keberkahan.
Bahkan Ummu Aiman pernah berkisah, “Rasulullah tidak pernah mengeluh lapar dan haus. Di pagi hari, beliau minum seteguk air zam-zam. Siang harinya, ketika saya tawari makan, beliau berkata, “Tidak usah, Aku tidak lapar.”
Muhammad kecil tumbuh dalam dekapan kasih sayang dua wanita mulia: Fatimah binti Asad dan Ummu Aiman. Mereka memperlakukan Muhammad seperti anak mereka sendiri.
Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau memerdekakan Ummu Aiman (yang saat itu, statusnya adalah budak bagi Abdullah). Setelah menjadi wanita merdeka, ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Kahzraji, kemudian dikarunia anak bernama Aiman.
Ummu Aiman termasuk orang-orang yang pertama kali masuk islam. Hanya saja langkah baiknya tidak diikuti oleh suaminya. Ia tidak mau masuk islam. Akhirnya keduanya berpisah.
Dalam dekapan islam, Ummu Aiman menemukan kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan keindahan dunia yang hanya sementara.
Setelah berpisah dengan Ubaid (suaminya) yang tidak mau masuk islam, Allah memberinya suami dari kalangan orang Islam yang akan membimbingnya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Saat itu Khadijah radhiyallahu ‘anha memiliki seorang budak laki-laki bernama Zaid bin Haritsah, pemberian dari keponakannya, Hakim bin Hizam. Setelah menikah dengan Rasulullah, beliau memintanya dari Khadijah. Khadijah memberikannya. Sejak saat itu Zaid menjadi milik Rasulullah. Setelah itu beliau memerdekakannya.
Ummu Aiman senantiasa berkhidmat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lemah lembut terhadap beliau. Setelah datangnya masa kenabian, beliau bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَ أَةً مِنْ أَهْلِ الْحَنَّةِ فَلْيَتَزَوًجْ أُمً أَيْمَنٍ
“Barang siapa yang ingin menikah dengan wanita ahli surga maka hendaklah menikahi Ummu Aiman.”
Akhirnya, Zaid bin Haritsah menikahinya pada malam ketika ia diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka dikaruniai anak bernama Usamah bin Zaid. Zaid dan Usamah sangat disayangi Rasulullah. Para sahabat biasa menyebut Usamah sebagau “Kesayangan putra kesayangan”. Semua anggota keluarga ini punya tempat tersendiri di hati Rasulullah.
Hijrah yang Penuh Berkah
Ketika penderitaan dan siksaan yang dialami kaum muslimin Makkah semakin berat, Rasulullah mengizinkan mereka berhijrah ke Madinah. Kaum muslimin berhijrah ke Madinah untuk menyelamatkan akidah mereka dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Ummu Aiman termasuk dalam rombongan hijrah itu.
Diperjalanan, ada kejadian luar biasa yang dialami Ummu Aiman. Bahkan sulit untuk dilukiskan.
Ustman bin Qasim menceritakan, “Ummu Aiman ikut dalam rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Madinah. Sore hari, ketika kami sampai di daerah Mansharif (Sebelum Rauha), Ummu Aiman yang saat itu berpuasa sangat lelah dan haus. Tiba-tiba ada ember berisi air terikat tali putih menjulur dari langit. Lalu Ummu Aiman meminumnya. Setelah kejadian itu ia berkata, “Setelah kejadian itu, saya tidak pernah merasakan haus, meskipun ketika berpuasa.”
Lembaran Perjalanan Jihad Ummu Aiman
Meskipun usianya telah tua, namun ia tetap ikut berjihad bersama Rasulullah. Ia bercita-cita bisa melihat bendera Islam berkibar dengan gagah mengalahkan bendera-bendera kekafiran.
Ketika di perang uhud Ummu Aiman bersama beberapa kaum wanita bertugas sebagai tim kesehatan dan penyiapan makanan pasukan di Perang Uhud.
Di perang Uhud inilah, dia menorehkan tinta emas sejarah. Ketika pasukan panah tidak mengindahkan instrukai Rasulullah, sehingga pasukan musuh berhasil membunuh sejumlah pasukan muslim, dan sebagian pasukan muslim lari mundur ketakutan, Ummu Aiman menghadang mereka itu dan melemparkan pasir ke muka mereka, seraya berkata, “Ini bedak yang pantas kalian terima. Ambil pedang kalian.” Lalu bersama rekan-rekan wanitanya, ia mencari berita tentang Rasulullah. Mengetahui beliau selamat, Ia merasa senang.
Ummu Aiman juga mengikuti perang Khaibar dan Hunain. Dua putranya (Aiman dan Usamah bin Zaid) juga ikut dalam pasukan perang islam di perang hunain.
Di perang hunaian ini, pasukan Islam sempat terdesak. Banyak tentara Islam yang mundur. Namun Ummu Aiman dan beberapa tentara islam tetap tegar di barisan perang bersama Rasulullag hingga dijadikan simbol keberanian di Perang hunain. Hingga akhirnya, Aiman gugur sebagai syahid. Mendengar berita kematian putranya, Ummu Aiman tetap tegar seraya berdoa semoga anaknya diterima di sisi Allah.
Ummu Aiman di Mata Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam
Posisi Ummu Aiman di hati Rasulullah tidak tergeser, Rasulullah tidak pernah lupa bahwa Ummu Aiman adalah ibu kedua beliau. Ibu keduanya itu rela berkorban apa saja demi keselamatan beliau. Dan, ibu keduanya itu telah mencurahkan semua kasih sayangnya kepada beliau.
Bahkan, Rasul senang dengan sesuatu yang membuat Ummu Aiman senang. Pun demikian halnya Ummu Aiman senang dengan semua yang menyenangkan hati Rasul. Dia juga sedih ketika melihat beliau sedih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan Ummu Aiman, beliau sering mengunjunginya dan memanggilnya dengan kata, “Wahai Ibu, ….” Beliau bersabda,
هَذِهِ بَقِيَةُ أَهْلِ بَيْتِى,وَيَقُوْلُ أّيْضًا:أُمُّ أّيْمنٍ أُمِّي بَعْدَ أُمِّي
“Beliau (Ummu Aiman) termasuk ahli baitku.” Beliau juga bersabda, “Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibuku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lemah lembut kepadanya dan terkadang mengajaknya bercanda karena ia seperti ibunya sendiri. Telah diriwayatkan bahwa suatu ketika ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, bawalah (ajaklah) aku ….” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Ummu Aiman berkata, “Anak unta tidak akan mampu membawaku. Lagi pula, aku tidak menyukainya.” Nabi bersabda, “Aku tidak akan membawamu kecuali dengan anak unta.” Ini adalah canda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Aiman. Hanya saja, sekali pun beliau bercanda namun tidak mengatakan kecuali yang benar, sebab setiap unta adalah anak unta.
Ummu Aiman adalah seorang wanita yang cadel suaranya. Suatu ketika, beliau ingin menyeru kaum muslimin pada perang Hunain dan berkata, “Sabbatallahu aqdamakum (semoga Allah mengistirahatkan kaki kalian).” (Padahal mungkin yang dimaksud adalah “tsabbatallahu aqdamakum (semoga Allah mengokohkan kaki kalian”, pent.). Karenanya, Nabi bersabda,
أُسْكُبِى يَا أُمَّ أَيْمَنٍ فَإِ نَّكِ عُسَرَاءُاللِّسَانِ
“Diamlah, wahai Ummu Aiman, karena Anda adalah seseorang yang cadel lisannya.”
Suatu ketika, Ummu Aiman masuk ke dalam rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucakan salam, “Salamun la alaikum (keselamatan bukan atas kalian),” padahal yang dimaksud adalah “assalamu ’alaikum“. Akan tetapi, beliau memberikan rukhshah kepadanya untuk mengucapkan salam (salamun la alaikum).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Meninggal Dunia
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar, “Pergilah bersama kami menemui Ummu Aiman, kita akan mengunjunginya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengunjunginya.” Tatkala mereka sampai di rumah Ummu Aiman, ternyata ia sedang menangis, keduanya berkata, “Apa yang membuat Anda menangis? Bukankah apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya?”
Ummu Aiman menjawab, “Bukanlah saya menangis karena tidak tahu bahwa apa yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya, hanya saja saya menangis karena telah terputusnya wahyu dari langit.” Hal itu membuat Abu Bakar dan Umar menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman.
Wahai saudariku, perhatikanlah wanita muslimah itu! Dia menangis karena terhentinya wahyu lagit. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka dengan wafatnya baliau wahyu pun terhenti, sebab beliau adalah penghubung antara langit dan bumi. Wahyu diturunkan dengan berbagai perintah dan larangan. Juga turun melalui kalam Allah yang menjadi obat bagi kaum mukminin dan mukminah yang menjalani keimanannya dengan benar, yang hatinya terpaut dengan kitab Allah sehingga mereka selalu membacanya sepanjang malam dan siang, seraya memohon kebaikan dan keberkahannya dari Allah subhanahu wata’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Qs. Al-Isra’:82)
Seorang wanita muslimah membaca Al-Qur’an untuk meraih keutamaannya dan juga pahalanya. Namun sebelum itu semua, dia membacanya untuk mendapatkan rahmat yang akan menunjukkannya kepada jalan Rabbnya, juga menjadi penawar baginya yang akan mengobati hatinya dari berbagai penyakit hati dan menyembuhkannya dari hawa nafsu serta memberinya petunjuk menuju jalan Allah yang luruh.
Lihatlah Ummu Aiman!, ia menangis karena wahyu telah terputus. Inilah potret generasi terbaik dalam islam, hati mereka terpaut dengan Al-Qur’an. Setiap langkah mereka dipandu dengan Al-Qur’an, dan mereka dididik dengan panduan wahyu dalam madrasah nabawiyyah.
Wahai Ummu Aiman, Engkau menangis karena firman Rabbmu terhenti. Lalu apa yang akan engkau lakukan seandainya engkau menyaksikan orang-orang pada zaman sekarang berpaling dari kitab Allah serta meninggalkannya di rumah tertimbun debu dan tidak mempehatikannya?. Sesungguhnya seorang wanita muslimah yang sebenarnya adalah orang yang merasa bahagia dengan membaca Kitab-Nya, menghafalnya, serta mengamalkannya. Dia akan menjadi Al-Qur’an yang berjalan di muka bumi dengan perasaan bahagia untuk setiap ayat yang dia hafalkan, kebahagiaan yang lebih besar daripada penduduk dunia terhadap dunia yang mereka miliki. Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Al-Qur’an seluruhnya adalah kebaikan dan keberkahan, ia akan menuntun orang yang mengikutinya menuju jalan Allah, yang akan mengantarkannya ke surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dimana kaum lelaki dan wanita yang beriman akan bersegera kepadanya, karena kerinduan untuk bertemu Allah dan melihat-Nya di negeri kemuliaan-Nya yang disiapkan untuk para wali-Nya dari kalangan ahli Al-Qur’an.
Sebagaimana Ummu Aiman pernah menangis karena terhentinya wahyu langit, dia pun menangis ketika Umar bin Khattab radhiyallau ‘anhu wafat. Dia menangis dan berkata, “Hari ini adalah kelemahan islam.” Seolah-olah Ummu Aiman dapat melihat masa depan dengan cahaya Rabb-Nya. Dan sungguh, hal itu benr-benar terjadi seperti yang dia katakan.
Demikianlah, Ummu Aiman sebagai orang yang berhijrah pada permulaan islam, dia juga seorang wanita ahli ibadah yang memiliki kisah dengan Rabbnya yang telah memberinya minum dari sisi-Nya, sehingga tak pernah lagi merasakan haus setelahnya.
Dia juga menjadi seorang ibu dan pendidik dan mulia, dia telah melahirkan dua orang pahlawan untuk islam di antara para pahlawan islam lainnya. Mereka adalah Aiman radhiyallahu’anhu yang syahid di perang hunain, Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu kekasih Rasulullah dan putra kekasih rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang diutud oleh beliau untuk memimpin pasukan besar saat usianya delapan belas tahun. Padahal dalam pasukan tersebut ada banyak para sahabat senior, sehingga sebagian orang membicarakan tentang kepemimpinan Usamah karena usianya yang masih muda.
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam marah, lalu beliau bersabda, “Jika kalian mencela kepemimpinannya berarti kalian juga telah mencelah kepemimpinan ayahnya. Demi Allah, dialah (Zaid) yang pantas untuk menjadi memimpin, dan dia adalah orang yang paling aku cintai, dan dia ini (USamah) adalah orang yang paling aku cintai setelahnya.”
Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Ummu Aiman dan anak-anaknya yang merupakan pahlawan. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada umat islam para wanita seperti Ummu Aiman dan para lelaki seperti anak-anaknya.
Allahu a’lam…
Ambi Ummu Salman
Depok, 06 Agustus 2020
sumber:
- Wanita-wanita di sekitar Rasulullah, Umar Ahmad ar-Rawi, Akbar Media Eka Sarana
- Mereka adalah Para Shahabiyat, Mahmud Mahdi al-Istanbuli,dkk, AT-Tibyan
- 35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al-Mishri, Al-I’tishom
- 66 Muslimah Pengukir Sejarah, Ummu Isra’ binti Arafah, Aqwam