Bismillahirrahmanirrahim…
Muqadimah
Tema kita kali ini masih tentang kebahasaan, melanjutkan pembahasan pada kajian sebelumnya. Pembahasan kita masih dalam tahapan belajar bahasa, dan kita akan membahas bagaimana mengajarkan bahasa kepada anak.
Pada pembahasan kita kali ini, kita tidak sedang berbicara tentang lafadz namun mempelajari bagaimana filosofi berbahasa. Sehingga nanti kita akan membahas teori-teori dalam berbahasa.
Tahapan belajar Bahasa
Uslub dalam bahasa indonesia dimaknai cara. Namun sebenarnya maknanya jauh lebih dalam dari itu. Uslub dalam berbahasa adalah hal paling mendasar karena bahasa itu komunikasi.
Jika diterjemahkan secara bebas,uslub adalah cara Anda menggiring sebuah makna dengan lafadz-lafadz yang mudah dipahami sehingga menghasilkan sketsa atau gambaran dalam pikiran lawan bicara setelah itu lafadz-lafadz tersebut memberikan pengaruh ke dalam hati lawan bicara.
Ketika kita bicara yang ingin kita sampaikan bukan tutur kata(lafadz) kita tapi makna dari tutur kata kita.
Dari pengertian tadi ada tiga bagian penting dari uslub yang harus kita perhatikan:
- Menggunakan lafadz-lafadz yang mudah dimengerti oleh lawan bicara
- Memberikan gambaran dalam benak/pikiran lawan bicara
- Lafadz-lafadz yang dipakai bisa bekerja pada lawan bicara (berefek pada jiwa orang tersebut).
Sehingga dengan memperhatikan hal ini tentunya ketika kita berbicara kita menjadi tidak asal bicara, tidak asal ngomong. Karena berbahasa adalah bagian dari seni maka orang yang berbahasa bisa dianalogikan dengan seorang pelukis, jika pelukis menggunakan kuas maka berbahasa itu menggunakan lisan. Jika pelukis menggunakan cat dengan warna-warninya maka orang yang berbahasa itu menggunakan lafadz dengan semua dimensi penggunaannya. Karena satu kata bisa memiliki warna yang berbeda apabila kita sampaikan pada orang yang berbeda. Jika pelukis menggunakan kanvas maka orang yang berbicara adalah benak atau pikiran lawan bicara. Ini semua hal yang mendasar, dan betapa butuhnya kita untuk mengetahui ini supaya kita tidak mis komunikasi ketika kita berbicara dengan keluarga atau anak-anak kita, dan agar ketika kita bersosialisasi tutur kata kita tidak menimbulkan perpecahan anatara kita dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, karena seringkali permasalahan-permasalahan yang muncul di sekitar kita muaranya adalah komunikasi. Dan alat komunikasi itu adalah bahasa, sehingga ini menjadi penting bagi kita untuk belajar bahasa.
Uslub itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi ataupun sesuai dengan keadaan dan dimana kita berbicara, sebagiamana dalam peribahasa arab:
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ
“Tiap-tiap tempat ada kata-katanya yang tepat, dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat.”
Kalau orang jawa bilang harus tahu “empan papan” harus tahu dalam kondisi dan tempat seperti apa kita bicara. Atau filosiofi jawa “Ajining diri dumunung aneng lathi” yang artinya harga diri seseorang ada pada lisannya. Ukurannya ada pada lisan dan lisan itu digunakan untuk berbicara.
Klasifikasi Uslub ada tiga, yaitu:
- Al-uslub al- ‘ilmi (Uslub ilmiah)
Seseorang yang menyampaikan segala sesuatu dengan cara ilmiah, menyajikan data-data yang kuat. Ada kaidah-kaidah dan teori-teori ilmiah yang disampaikan dan menjauhi khayalan-khayalan dan imanjinasi. Contoh dalam tulisan-tulisan karya ilmiah inilah yang masuk dalam uslub ini.
- Al-uslub al- adabi (uslub adabi/sastra)
Sebagaimana ketika kita bicara sastra maka kita akan mendekatkan sesuatu dengan hayalan-hayalan dan majaz-majaz tertentu. Hal ini dikarenakan memang lawan bicaranya memang ingin menikmati sastra.
- Uslub Khithobi
Pembicaraan/Obrolan sehari-hari yang biasa kita lakukan dengan keluarga, teman, saudara atau lainnya. Uslub khithobi, hujjah-hujjahnya dikuatkan terkadang memilih rima yang baik tapi tidak meberatkan atau terlalu dipaksakan. Hujjahnya dikuatkan tapi tidak dipaksakan. Contohnya adalah perkataan Luqman al hakim kepada anaknya, kalimat-kalimat yang dipakai luqman menunjukkan hujjah yang kuat.
“(Luqman berkata) “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Qs. Luqman: 16]
Ini kalimat yang hujjahnya kuat sekali, sehingga logika sang anak terpuaskan ketika berbicara dengan ayahnya.
Kata dan Kalimat
Dalam pemilihan kata harus selamat dari aib, kata itu bisa memiliki aib karena bermacam-macam penyebab. Diantara penyebabnya adalah:
- Huruf yang menyusun kata makhorijul hurufnya terlalu jauh (kata yang berantakan). Karena makhorijul hurufnya berjauhan sehingga menyebabkan dua masalah yaitu susah diucapkan dan tidak enak didengar. Sehingga jika kata ini masuk dalam kalimat maka kkalimatnya pun menjadi memiliki aib.
- Menyelisihi kaidah morfologi (ilmu shorof). Contoh kata ‘diubah’ yang kadang salah diucapkan menjadi ‘dirubah’.
Berbicara itu merangkai kata sehingga kata-kata itu harus tidak memiliki aib, dan dalam rangkaian kata itu tidak boleh memiliki aib. Aib dalam rangkaian kalimat ini salah satunya adalah merangkai kata dengan huruf-huruf yang berdekatan.
Setelah merangkai kalimat, lanjut pada tahap berbicara. Nah dalam tahap ini ketika kalimat kita sudah benar lalu ada pembahasan balaghoh, yaitu bagaimana agar apa yang kita omongkan itu sampai kepada pendengar. Pembahasan balaghoh ini didominasi oleh kesesuaian kalimat tersebut dengan lawan bicara. Sehingga bisa jadi kalimat itu benar tapi tidak efektif penggunaannya. Contoh: kalimat alhamdulillah yang diucapkan saat berbelasungkawa, kalimatnya benar tapi menjadi bermasalah karena tidak sesuai penggunaannya.
Mengajarkan Bahasa Pada Anak
Teladan kita dalam berbahasa adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, karena Rasulullah adalah manusia yang paling fasih bahasanya. Maka kita bisa menengok bagaimana dialog-dialog Rasulullah dengan anak-anak. Karena dalam dialog itu banyak sekali inspirasi dan faedah yang memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana kita berdialog dengan anak-anak. Mengajarkan bahasa pada anak ini masuk dalam pembahasan pendidikan. Dan tidak ada metode pendidikan yang paling mujarab selain dengan keteladan. Maka kita harus menghadirkan keteladan sebagai orangtua yang memperhatikan masalah bahasa. Karena jika anak tumbuh di lingkungan yang tidak memperhatikan bahasa maka akan sulit mengajarkan bahasa yang baik kepada anak. Maka lingkungan yang memperhatikan keindahan kata itu yang harus kita ciptakan diawal, dan itu dimulai dari keluarga kita.
Karena Rasulullah mengkaitkan kefasihan bahasanya itu dengan lingkungan sosilal tempat beliau tumbuh.
Abu Bakar Ash shidiq radiyallau ánhu berkata kepada rasulullah shallallahu álaihi wa sallam, “Wahai rasulullah aku tidak pernah melihat ada orang yang bahasanya sefasih engkau“, Maka rasululullah mengatakan, “Iya, karena aku dari Quraish, dan aku disusui di perkampungan bani sa’ad”.
Dari hadits di atas kita mendapati bahwa Rasulllah mengakaitkan kefasihan bahasanya dengan dua lingkungan sosial dimana beliau tumbuh. Dua lingkungan yang sangat memperhatikan kefasihan bahasa, yaitu lingkungan Quraish karena masyarakat Quraish memiliki perhatian besar terhadap bahasa, kedua perkampungan bani sa’ad yang fasih bahasanya.
Kemudian dari hadits ini pula kita akan mendapatkan jawaban kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan bahasa pada anak. Yaitu usia dimana Rasulullah dibesarkan di lingkungan bani sa’ad, ditahun awal kita memiliki anak.di usia 1-5 tahun.
Ini lebih penting daripada kita belajar struktur kata dalam kalimat, karena ada orang yang mengerti struktur kalimat yang baik namun ia tidak merasakan keindahan bahasa dikarena ia tumbuh dilingkungan yang tidak menghargai keindahan bahasa. Beda antara orang yang konsen terhadap bahasa, ia membaca Al-Qur’and dan tahu artinya dengan orang yang baca Al-Qur’an dan ia mengerti artinya namun ia tidak mengerti keindahan bahasa, tahu arti tapi tidak memiliki cita rasa bahasa.
Orang yang memiliki cita rasa atau kepekaan dalam bahasa ketika membaca Al-Qur’an ia akan dapat menghadirkan kaidah-kaidah dan gambaran-gambaran dalam ayat yang dibaca.
Lingkungan bahasa sangat penting dan hal yang paling penting adalah keluarga. Dengan cara keteladanan. Karena cara yang utama dalam mengajarkan apa pun adalah melalui keteladan.
Dari Anas bin malik radhiyallau ‘anhu, “Rasulullah datang menemui anak-anak yang sedang bermain kemuadian Rasulullah mengucapkan salam kepada mereka.”
Salam itu memiliki aspek pendidikan bahasa, kita dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita bertemu dengan anak-anak di sekitar kita mengucapkan salam kepada mereka, kemudian memanggil mereka dengan panggilan manja mereka. Jadi ucapan salam saja itu sudah menjadi pengajaran bahasa tersendiri bagi anak.
Kita harus belajar dari Rasulullah bagaimana cara mengajarkan bahasa dan berkomunikasi dengan anak-anak.
Tanya jawab
- Bagaimana cara memperbaiki pola kata, struktur dan cara berbahasa pada anak karena anak sudah terlanjur masuk pada lingkungan yang tidak memperhatikan kaidah dalam berbahasa?
Jawab: kita harus membuat iklim dalam rumah kita yang sangat memperhatikan iklim kebahasaan. Sehingga ketika anak salah dalam berbahasa kita tegur kesalahan tersebut. Begitu muncul kesalahan kita beri tahu yang benar seperti apa. Sehingga dari situ akan muncul nilai-nilai adab, karena mengajarkan bahasa itu juga mengajarkan adab. Sehingga yang harus kita lakukan adalah dengan menciptakan suasana rumah dengan iklim kebahasaan yang kental sekali, sehingga jika ada kesalahan dalam berbahasa maka kita luruskan.
- Apakah kepekaan bahasa berhubungan dengan budaya, bagaimana jika ada dua budaya berbeda bertemu dalam satu rumah (berkaitan dengan komunikasi)?
Jawab: Bukankan Nabi itu orang Arab dengan budaya Arab padang pasir yang jika berbicara keras (teriak-teriak) dan bukankah Nabi itu sangat lemah lembut. Maka standart kebaikan kita itu bukan budaya kita dalam berbahasa, melainkan Rasulullah yang menjadi standart kebaikan kita. Kalau masalah intonasi dan dialek silahkan sesuai dengan budaya, tapi kalau bab kasar kemudian menjadikan latar belakang sukunya sebagai pembenaran dalam kekasarannya dalam berbahasa maka ini yang tidak boleh. Semua harus menengah kepada sosok Rasulullah. Bedakan mana yang babnya kasar, intonasi, atau cara melafadzkan sesutau,dst. Memadukan gaya-gaya budaya tidak masalah selama babnya tidak berkaitan dengan kekasaran dalam berbahasa. Perhatikanlah Nabi yang tinggal di masyarakat arab yang kasar namun nabi hadir sebagai sosok yang lemah lembut dan menghargai perasaan. Kasar itu bukan keras dalam suara namun dalam konteks pemakaian dan isinya.
Bahasa itu menunjukkan karakter kita dan berharganya diri kita ada dalam keahlian kita dalam menata bahasa.
Allahu a’lam
Peresume : Ambi Ummu Salman (Jika ada kesalahan dalam penulisan murni dari saya pribadi dan silahkan memberikan masukan, semoga bermafaat)
Depok, 25 Juni 2020
silahkan dibaca juga : Tahapan Belajar Bahasa Dalam Islam (Bagian 1)