Surat ini dinamakan dengan nama Al-Qadr karena surat ini berbicara seputar malam Qadr dan penjelasan keutamaannya. Pembahasan utama surat ini adalah penjelasan keutamaan malam Al-Qadr.
Pembahasan Ayat
Ayat 1
إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Ayat ini dimulai dengan huruf taukid (penegas/penekanan) yaitu إنّ (sesungguhnya), artinya ada yang meragukan atau bahkan metolak sehingga Allah berikan kata penegas. Ketika ayat ini turun orang-orang musyrikin lisan mereka menolak namun hati mereka terpaksa mengakui. Pernyataan mereka Allah runtuhkan dengan permulaan surat ini.
Lalu bagaimana dengan kita, apakah kita sudah betul-betul mengimani Al-Qur’an dan memberikan perhatian yang besar terhadapnya?. Ini adalah Surat yang dikirim oleh Sang Pencipta kita, Sang Penguasa alam semesta. Sudahkan kita berikan perhatian yang lebih besar dari selainnya?
Kata أَنزَلْنَٰهُ yakni Allah menurunkan Al-Qur’an. Allah tidak secara langsung menyebutkan objek yang diturunkannya, melainkan memakai dhamir (kata ganti) ‘nya’. Apa hikmah dari hal ini?
Walaupun tempat kembali dari dhamir tersebut (Al-Qur’an) belum disebutkan sebelumnya pada surat ini, namun maknanya sangat jelas, karena memang sebuah riwayat juga telah menyebutkan bahwa seluruh isi Al-Qur’an itu seperti satu surat saja (satu kesatuan).
Hal ini menunjukkan agungnya Al-Quran dari segala sisi. Seakan apa yang Allah turunkan di malam Qadr sudah diketahui oleh setiap yang hadir pada saat itu. Hati siapapun yang mendengar ayat ini dibaca akan secara langsung tergambar dan terhubung padanya yaitu Al-Quran. Dan begitulah yang terjadi ketika Al-Quran disampaikan di awal kemunculan. Ia menjadi buah bibir di setiap kalangan.
Maka seharusnya kita sebagai muslim pun demikian. Menjadikan Al-Quran terhubung erat dengan hati dan akal pikiran kita. Sehingga berbagai permasalahan yang datang akan selalu memunculkan solusi dengan Al-Quran.
Kata أَنزَلْنَ yang mengikuti wazan (pola) أفعل memiliki makna lansung. Allah menurunkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, pada lailatul qadar, pada malam yang penuh keberkahan, dari sisi Allah sekaligus, yanh dibawa dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur sebagaimana di dalam surat Ali Imran ayat 3, memakai kata نزّل yang memakai wazan فعّل yang mengandung makna berproses, jadi maknanya menurunkan secara bertahap. Sehingga setelah di baitul Izzah malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur atau bertahap, sesuai konteks realitasnya dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian firman Allah فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ pada malam kemuliaan, ada beberapa pendapat mengenai makna lailatul qadar ini. Diantaranya:
- Lalilatul Qadar adalah malam ditetapkannya ketentuan-ketentuan. Atau dapat disebut pula dengan sebutan lailatu at taqdir (malam takdir). Dinamakan seperti itu (lailatul qadar) karena pada saat itu Allah menetapkan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, dari malam itu hingga malam yang sama di tahun berikutnya, semua hal yang menyangkut dengan kematian, jodoh, rezeki, dan lain sebagainya.
- Beberapa ulama berpendapat bahwa penamaan malam itu dengan sebutan lailatul qadar karena keutamaan, keagungan, dan kadar yang tinggi, yang dimiliki oleh malam tersebut. Seperti pada ungkapan: li fulaan qadr, yang artinya si fulan memiliki kedudukan dan kehormatan tinggi.
- Bahwa sebab penamaan itu adalah karena ketaatan yang dilakukan pada malam itu memiliki kadar yang sangat tinggi dan pahala yang sangat besar.
- Abu Bakat al Warraq berpendapat bahwa sebab penamaan itu adalah karena orang yang tidak memiliki kadar atau nilai pada waktu-waktu sebelumnya, pada malam itu akan diangkat kadarnya apabila ia menghidupkan malam itu (dengan melakukan dzikir kepada Allah)
- Penamaan lailatu qadar disebabkan karena pada malam itulah diturunkannya sebuah Kitab suci yang memiliki kadar yang tinggi, kepada Rasul yang juga memiliki kadar yang tinggi, kepada umat yang dianugerahkan kadar yang tinggi.
- Lalu ada juga yang berpendapat, hal itu dikarenakan pada malam itu banyak sekali para malaikat yang memiliki kadar dan kehormatan yang tinggi pada malam tersebut.
- Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu karena pada malam itu Allah menurunkan banyak sekali kebaikan, keberkahan, dan juga ampunan.
- Sahal berpendapat bahwa sebab penamaan itu karena pada malam itu Allah menetapkan kadar rahmat-Nya kepada orang-orang yang beriman.
- Sementara Khalil berpendapat bahwa makna qadar adalah sempit, yakni: bumi menjadi sempit karena disesakkan oleh para malaikat yang turuna dari langit. Kata تَنَزَّلُ bermankan bukan sekedar menurunkan namun menurunkan secara terus menerus.
Ayat 2 dan Ayat 3
وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Setiap ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan kalimat مَآ أَدْرَىٰكَ maka pertanyaan itu akan dijawab pula dengan pemberitahuan. Namun jika yang disebutkan adalah kalimat مَايُدرِيكَ maka jawabannya tidak diberitahukan. Sehingga di surat ini Allah lansung memberikan pemberitahuan di ayat 3, Allah menjelaskan tentang keutamaan dan keagungan yang dimiliki oleh lailatul qadar.
Banyaknya waktu yang diberikan dalam hidup ini, sebenarnya hanya berpengaruh jika waktu-waktu itu digunakan untuk mencari fadhilah. Dan pada lailatul qadar, kebaikan yang tidak terhitung jumlahnya disebarkan ke seluruh pelosok bumi, dan banyaknya fadhilah tersebut pada malam itu tidak akan ditemukan walaupun seseorang hidup seribu bulan lamanya.
Terkait ayat 3 ini ada beberapa pendapat mengenai penjelasannya.
Abu Aliyah berpendapat: Sebuah perbuatan baik yang dilakukan pada lailatul qadar itu akan diganjar dengan pahala perbuatan baik selama seribu bulan yang dilakukan di hari-hari biasa.
Namun sebagian ulama ada yang juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan seribu bulan pada ayat ini adalah seumur hidup, karena orang-orang Arab terbiasa mengucapkan jumlah seribu unguk menyatakan jumlah yang tak terhingga. Seperti halnya dalam surat Al-Baqarah ayat 96, يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍالعربيةmasing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun. Yakni selama-lamanya.
Beberapa ulama meriwayatkan, bahwa pada zaman dahulu seseorang tidak akan dikatakan dengan sebutan ‘abid (hamba/penyembah) apabila ia belum menyembah Allah selama seribu bulan, yaitu delapan puluh tiga tahun empat bulan. Namun, untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi keistimewaan, mereka dapat dianggap seorang ‘abid apabila beribadah satu malam saja di lailatul qadar, karena nilai ibadah mereka di lailatul qadar sama nilainya dengan ibadah orang-orang terdahulu dalam seribu bulan.
Abu Bakar Al Warraq berpendapat: Dahulu, kerajaan yang dipimpin oleh Nabi Sulaiman berlansung lima ratus bulan, dan begitu juga dengan kerajaan yang dipimpun oleh DzulQarnain. Jumlah masa kepemimpinan kedua kerjaan ini menjadi seribu bulan. Dan inilah hadiah yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang beribadah dan melakukan kebaikan pada lailatul qadar , yaitu lebih baik dari dua kerajaan teragung sepanjang sejarah.
Ibnu Ma’ud meriwayatkan: Pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita kepada para sahabat beliau mengenai seorang pria dari keturunan Bani Israil yang menghunuskan pedangnya selama seribu bulan untuk berperang di jalan Allah, dan para sahabat pun terkagum-kagum mendengar hal itu, Allah lalu menurunkan ayat, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an pada malam Qadar. Dan tahukah kami apalah malam kemuliaan itu? Malam kemuloaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” Artinya, lebih baik dari seribu bulan yang dihabiskan oleh laki-laki itu dalam berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Riwayat ini disampaikan pula oleh Ibnu Abbas.
Ali dan Urwah meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan empat orang shalih dari keturunan bani Israil, yaitu Ayyub, Zakaria, Harqil bin Ajuz, dan Yusya bin Nun. Lalu beliau berkata, “Mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun lamanya, tanpa berbuat maksiat sekejap (sedikit) pun.” Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub mendengar hal itu.
Beberapa saat kemudian malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata, “Wahai Muhammad, umatmu merasa takjub dengan ibadah yang dilakukan oleh orang-orang itu selama depalan puluh tahun, tanpa sekejap pun berbuat maksiat, padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kamu dan umatmu lebih baik dari itu.” Lalu malaikat jibril melantunkan firman Allah pada ayat 1. Lalu Nabi dan para sahabat pun merasa gembira mendengarnya.
Dalam kitab Al Muwatha’, Imam Malik meriwayatkan: Aku pernah mendengar sebuah riwayat dari orang yang aku percayai, ia berpendapat: Sesungguhnya Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diberitahukan tentang umur-umur yang dimiliki oleh umat sebelum beliau. Mendengar hal itu beliau khawatir apabila umatnya nanti tidak mampu melakukan perbuatan baik seperti yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu karena umur mereka yang lebih panjang. Namun akhirnya beliau merasa tidak khawatir lagi, karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikannya dan umatnya lailatul qadar yang dapat menggandakan perbuatan baik hingga seribu bulan lamanya.
Ayat 4
تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata وَٱلرُّوحُ pada ayat ini maknanya adalah malaikat Jibril. Yakni, seluruh malaikat termasuk malaikat Jibril turun dari semua langit, dari mulai sidratul muntaha (langit yang paling tinggi) hingga kediaman malaikat Jibril yang menempati langit yang berada di tengah. Mereka semua turun ke bumi dan mengaminkan seluruh doa yang dipanjatkan oleh manusia, hingga waktu fajar tiba.
Ada juga yang berpendapat bahwa makna ar ruh adalah ar rahmah (rahmat/wahyu), yang dibawa oleh malaikat Jibril dan para malaikat lainnya ketika turun ke bumi pada lailatul qadar, untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Dalilnya ada pada surat an-Nahl ayat 2.
Firman Allah فِيهَا Pada malam itu, Yakni pada lailatul qadar.
بِإِذْنِ رَبِّهِم Dengan izin Tuhannya. Yakni, dengan perintah Allah.
مِّن كُلِّ أَمْرٍ Untuk mengatur segala urusan. Yakni, dengan membawa ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk satu tahun ke depan. Kata مِّن seharusnya bermakna ‘dari’ namun disini maknanya berbeda. Makna katanya pada ayat ini adalah على atas.
Nabi pernah bersabda, “Apabila telah datang lailatul qadar, maka malaikat Jibril akan turun ke bumi bersama rombongan malaikat lainnya, untuk menyampaiman shalawat dan menyampaikan salam kepada setiap hamba yang mendirikan shalat atau sedang duduk sambil berdzikir kepada Allah.”
Ayat 4
سَلَٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Lailatul qadar itu bertaburkan keselamatan dan kebaikan sepanjang malam, tidak ada keburukan saat itu. Malam itu adalah malam kebaikan hingga terbitnya fajar.
Asy-Sya’bi menafsirkan makna ayat ini adalah para malaikat memberi salam kepada kaum muslimin yang berada di masjid, dari mulai matahati terbenam hingga terbit fajar. Para malaikat itu berlalu di hadapan seluruh kaum muslimin dam berkata: assalaamu alaika ayyuhal mu’min (keselamatan bagimu wahai orang yang beriman).
Lalu ada yang menafsirkan bahwa malam itu adalah malam yang dipenuhi keselamatan hingga syetan tidak dapat memberi pengaruh buruk terhadap kaum beriman, laki-laki ataupun perempuan. Syetan tidak mampu untuk menunjukkan aksinya dengan keburukan apapun.
Kapan Terjadi dan Tanda-tanda Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)
Lailatul qadar dicari pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, carilah pada malam-malam ganjil.” (HR. Bukhari, no. 2027 dan Muslim, no. 1167)
Lailatul qadar hanya terbatas pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, yang diharapkan terjadi pada malam ke-21, 23, atau 27. Lailatul qadar bisa terjadi pada malam ke-21 sebagaimana disebutkan riwayatnya dari Abu Sa’id Al-Khudri. Lailatul qadar bisa terjadi pada malam ke-23 sebagaimana disebutkan riwayatnya dari ‘Abdullah bin Unais. Dalam hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencari lailatul qadar pada malam ke-25, 27, 29. Dalam hadits Mu’awiyah disebutkan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam 27.
Abu Bakar Al Warraq bependapat: Sesungguhnya Allah mewakilkan malam-malam bulan ini (yakni bulan Ramadhan) pada setiap kata pada surat ini, lalu sampai pada kata ke dua puluh tujuh Allah mengisyaratkannya dengan kata هِيَ (itulah dia). Dan juga, kalimat lailatul qadar pada surat al Qadr disebutkan sebanyak tiga kali, dan huruf-huruf pada kalimat lailatul qadar itu berjumlah sembilan huruf, dan apabila keduanya (tiga dan sembilan) dikalikan maka hasilnya adalah dua puluh tujuh.
Dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa malam lailatul qadar itu tersembunyi di antara bulan Ramadhan, agar setiap orang dapat beramal dan beribadah pada setiap malam di bulan Ramadhan, dan berusaha untuk mendapatkannya. Tersembunyinya malam ini sama seperti tersembunyinya shalat whusta (yang harus dijaga lebih baik) di antara shalat-shalat wajib lainnya, atau seperti nama Allah yang paling agung di antara nama-nama-Nya yang agung lainnya (asmaul husna), atau seperti saat mustajab (pasti terkabulnya sebuah doa) di antara saat-saat di hari Jum’at atau saat-saat di malam hari, atau seperti maksiat yang paling dimurkai oleh Allah di antara semua maksiat yang memang dilarang untuk melakukannya, atau seperti ketaatan yang paling dicintai Allah di antara semua ketaatan yang memang diperintahkan kepada manusia, atau seperti seorang hamba yang shalih di antara hamba-hamba-Nya yang lain, atau juga seperti tersembunyinya hari kiamat atau juga hari kematian seseorang di antara hari-hari yang dianugerahkan Allah kepada seluruh manusia. Semua rahasia ini tentu penuh dengan rahmat-Nya dan penuh dengan hikmah.
Mengenai tanda-tandanya (lailatul qadar), di antaranya adalah matahari pada keesokan harinya terbit hanya berwarna putih dsja, tidak bersinar terang seperti biasanya.
Al-Hasan meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitahukan tentang tanda-tanda lailatul qadar, beliau bersabda, “Sesungguhnya tanda-tanda lailatul qadar itu adalah: malam itu sejuk dan terang, tidak panas dan tidak juga dingin, matahari terbit di pagi harinya tidak bersinar terang seperti biasanya.” (HR. Ath-Thabrani)
Allahu a’lam..
Ambi Ummu Salman (Depok, 31 Maret 2024)