Tadabbur Surat Al hijr Ayat 9 (Cara Allah Menjaga Kemurnian Al-Qur’an)

Bismillahirrahmanirrahim..

Surat al Hijr adalah surat makiyyah, dimana salah satu pokok pembahasan dalam surat makiyyah adalah tentang pengokohan akidah.

Surat ini diturunkan di tengah tindakan intimidasi yang membabi buta yang dilancarkan oleh orang-orang kafir terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin (para sahabat). Diturunkannya surat ini dimaksudkan untuk memberikan ketenangan atau ketentraman pada jiwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan mereka semua dipelihara oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Surat ini dinamakan dengan al-Hijr karena ia menjaga segala sesuatu yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, surat ini berbicara tentang penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap agama dan makhluk-makhluk-Nya.

Al-Hijr dalam surat ini maksudnya adalah tempat tinggal kaum Tsamud; sebagaimana dalam ayat 80. Pembahasan utama dari surat al-Hijr ini adalah pemeliharaan Allah terhadap agama-Nya. Ketika kita mentadabburi surat ini, maka kita akan dapati bahwa bahasan awal, pertengahan, dan akhir ayat dari surat ini berbicara tentang penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Surat ini dimulai dengan penyebutan Al-Qur’an diayat pertama, kemudian surat ini diakhiri dengan perintah untuk senantiasa kokoh dalam beribadah hingga datang kematian, karena salah satu hal yang paling menunjang seorang hamba untuk selalu menjaga kekokohan beribadah adalah berpegang teguh dengan Al-Qur’an.

Al-Hijr Ayat 9

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Tadabbur

Ayat ini diawali dengan huruf taukid (penguat/ penegas) yaitu إِنَّ. Adanya huruf inna ini bertujuan untuk menghilangkan keraguan pada diri hamba-Nya dan juga penegasan bahwa sungguh Allah benar-benar yang memelihara Al-Qur’an hingga yaumil akhir.

Dalam ayat ini Allah menggunakan نَحْنُ. Di antara uslub bahasa Arab adalah bahwa seseorang dapat menyatakan tentang dirinya dengan kata ganti ‘nahnu’ (kami) untuk menunjukkan penghormatan. Atau dia menyebut dirinya dengan dhamir (kata ganti) أنا (saya) atau dengan kata ganti ketiga seperti هو (dia). Ketiga metode ini terdapat dalam Al-Quran dan Allah Ta’ala menyampaikan kepada bangsa Arab apa yang dipahami dalam bahasa mereka. (Fatawa Lajnah Daimah, 4/143)

Allah Subhanahu wa Ta’ala terkadang menyebutkan dirinya dengan sighoh mufrad (sendiri) secara nampak atau mudhmar (tersembunyi). Terkadang dengan shigoh jama’. Dan tidak pernah menyebutkan nama-Nya dengan shighoh tatsniyah (bentuk dua). Karena shigoh jama’ mengandung pengagungan yang layak bagi-Nya. Terkadang menunjukkan makna nama-nama-Nya. Sementara sighoh tatsniyah (bentuk dua) menunjukkan bilangan tertentu. Dan Dia tersucikan dari itu. (‘Al-Aqidah At-Tadmuriyah karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 75).

Lafaz (إنا) dan (نحن) atau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat pula disampaikan mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami tetapkan…” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan. Maka yang paling berhak diagungkan oleh setiap orang adalah Allah Azza wa Jalla. Maka jika Allah mengatakan dalam Kitab-Nya, (إنا), sesungguhnya Kami, atau (نحن), kami, itu adalah bentuk pengagungan, bukan menunjukkan bilangan.

Maka, seluruh bentuk kata ganti jamak yang Allah sebutkan untuk menyatakan diri-Nya adalah sebagai penjelas keagungan diri-Nya, serta banyaknya nama-nama dan sifat-sifat-Nya, juga banyaknya tentara-tentara-Nya dari kalangan malaikat.

Ibn al-Jauzi dalam Zād al-Masīr, sebelum masuk pada penafsiran tentang makna ‘menjaga’, terlebih dahulu ia menyinggung tentang penggunaan kata ‘nahnu’. Dikaitkan dengan konteks penjagaan Al-Quran, kata naḥnu yang bermakna “Kami” pada ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah melibatkan makhluk-Nya dalam misi penjagaan Al-Quran ini.

Kemudian kata نَزَّلْنَا yang memiliki makna diturunkan secara berproses, sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur. Dan dalam proses ini pun Allah sudah melakukan penjagaan-Nya terhadap kitab-Nya.

Kemudian kata ٱلذِّكْرَ yang berbentuk ma’rifah, alif lam disini menunjukkan kejelasan makna yang dimaksud. Dan yang dimaksudkan disini adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an disebut sebagai az-Dzikr dalam surat al-Hijr ini sebanyak dua kali yaitu pada ayat 6 dan 9. Kata az-Dzikr itu secara bahasa adalah bentuk dasar dari kata “Dzakara” (ذكر) – yazkuru (يذكر) yang berarti “mengingat.” Jadi, kata az-Dzikr (الذكر) berarati “peringatan.” Penamaan Al-Quran dengan az-Dzikr bukanlah hal yang kebetulan. Penamaan seperti ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi Al-Qur’an yang memberi peringatan kepada seluruh umat manusia agar bertauhid, beriman kepada Allah dan melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang.

Al-Qur’an memperingatkan seluruh umat manusia akan segala hal yang berkaitan dengan manusia dan kehidupannya. Semua ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan akidah, syari’at, dan akhlak, baik yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian, baik yang berkaitan kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, menjadi peringatan bagi manusia. Dengan peringatan-peringatan itu, manusia akan memahami keberadaan dirinya, memahami eksistensi dirinya, dan memahami peranan dirinya, dan memahami kehidupan lain yang berada di balik kehidupan yang sekarang ini. 

Ibn al-Jauzi melanjutkan bahwa mayoritas mufasir merujukkan kata al-Dzikr kepada Al-Quran. Sedangkan kata ganti hu ada dua pendapat. Pendapat pertama merujuk kepada al-Dzikr (Al-Quran) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua merujuk kepada Nabi Muhammad sehingga maknanya menjadi “dan Kami (pula) yang menjaga Nabi Muhammad dari para setan dan musuh-musuhnya”. Maksudnya adalah orang-orang yang menuduh gila pada Nabi Muhammad

Makna Menjaga Al-Qur’an dan Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Qur’an

Kata الحفظ ini memiliki makna yang lebih dalam dan luas daripada kata الرعاية.  Lawan dari الحفظ (memelihara) ada kata الْإِضَاعَة (menghilangkan), maka الحفظ memalingkan/menolak makar dari segala sesuatu yang bertujuan untuk membinasakan dan kata الحفظ (memelihara) mengandung makna الاستمرار yaitu berkesinambungan. Dan bermakna pemeliharaan yang tidak ada mengabaikan atau melupakan.

Kata الرعاية (memelihara) adalah lawan kata أهْمَلَ (mengabaikan). Kata أهْمَلَ yaitu apa-apa yang mengarahkan kepada keluputan/kesia-siaan, dan الرعاية adalah perbuatan yang menjauhkan/manghindarkan makar dari suatu hal tersebut.

Al hafidzh adalah salah satu asma Allah. Kata dasarnya, hifzh, berarti menjaga segala sesuatu agar tidak berubah. Kata al-hafizh dan semua turunannya, menunjuk kepada makna memelihara, menjaga. (Musu’ah Wa Lahu al-Asmaul Husna: 1/210)

Ibnu manzur mengatakan, “Al Hafizh termasuk sifat Allah. Tak satu partikel atom pun terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya. Allah telah memelihara makhluk dan hamba-Nya atas apa yang mereka lakukan, burukkah atau baik. Dan Dia juga memelihara langit dan bumi dengan segala kuasa-Nya.”

Jadi sifat pemeliharaan Allah terhadap Al-Qur’an bersifat terus menerus dan berkesinambungan serta secara menyeluruh.

Allah menyebut Al-Qur’an dengan sejumlah nama, di antaranya adalah Al-Qur’an, Al-Kitab, Al-Furqon, Adz-Dzikr, dan At-Tanzil, serta nama-nama lain yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Nama yang dominan dipakai adalah Al-Qur’an dan Al-Kitab. Dr.Muhammad Abdullah Darraz berkata, “Disebut Al-Qur’an karena ia dibaca banyak lisan, dan disebut Al-Kitab karena ditulis dengan pena. Dengan demikian, kedua kata ini menyebut sesuatu dengan makna yang berlaku pada sesuatu tersebut. Di balik kedua sebutan ini terdapat sebuah isyarat bahwa Allah berkewajiban untuk menjaga Al-Qur’an di dua tempat, bukan hanya pada satu tempat. Maksud saya, Allah berkewajiban menjaga Al-Qur’an di dalam dada dan juga di dalam tulisan secara bersamaan, karena jika salah satu di antara keduanya keliru, maka akan diingatkan oleh yang lainnya. Untuk itu, hafalan seorang hafidz hanya disebut tsiqah(kuat) manakala sesuai dengan tulisan yang disepakati para sahabat, yang dinukil dari generasi ke generasi hingga sampai ke tangan kita sesuai dengan bentuk tulisan pertama. Tulisan seorang penulis juga hanya dikatakan tsiqah manakala sesuai dengan hafalan para hafizh dengan sanad yang sahih dan mutawatir.

Dengan perhatian ganda yang Allah turunkan ke dalam jiwa umat karena mengikuti nabi mereka inilah, Al-Qur’an tetap terjaga dalam perlindungan yang ketat, sebagai bentuk nyara atas janji Allah untuk menjaga Kitab ini melalui firman-Nya, ‘Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.’ (Al-Hijr:9). Dan Al-Qur’an sama sekali tidak mengalami penyelewengan, pengubahan, dan putus rangkaian sanad seperti yang dialami oleh kitab-kitab sebelumnya.”

Rahasia perbedaan ini menjelaskan bahwa seluruh kitab-kitab samawi sebelumnya hanya diturunkan hingga batas waktu tertentu, bukan untuk selamanya. Sementara Al-Qur’an didatangkan sebagai bukti kebenaran sekaligus sebagai ujian bagi kitab-kitab sebelumnya. Untuk itu, Al-Qur’an menyatukan hakikat-hakikat yang tertera di dalam kitab-kitab sebelumnya, juga tambahan-tambahan seperti yang dikehendaki Allah. Al-Qur’an meniti jalan yang sama seperti yang ditempuh kitab-kitab sebelumnya, dan tidak ada satu pun kitab sebelumnya yang menghalangi jalannya, sehingga Allah menetapkannya sebagai hujjah dan tetap berlaku hingga Kiamat nanti. Manakala Allah menentuman suatu persoalan, maka Allah akan mempermudah sebab-sebabnya. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Tidaklah Allah menurunkan Al-Quran kecuali dengan membawa banyak keistimewaan. Salah di antaranya adalah keterjagaan (mahfûdz) dari cacat dan ketidaksempurnaan. Bagaimana tidak, Allah sendiri yang menjaganya. Dia tidak menyerahkan penjagaan Al-Quran kepada siapapun sebagaimana yang Dia lakukan terhadap kitab-kitab suci yang lain.

Bahkan, penjagaan Allah untuk Al-Quran bukan hanya satu atau dua lapis. Allah Ta’ala hadirkan penjagaan yang berlapis-lapis. Bukan sekadar saat setelah diturunkan, akan tetapi Dia menjaganya sebelum Al-Quran diturunkan (QS ‘Abasa, 80:11-16), pada saat diturunkan (QS Al-Isrâ’, 17:105), dan tentu saja setelah diturunkan (QS Al-Hijr, 15:9).

Hal yang tidak kalah penting bagi keterjagaan Al-Quran, Allah Ta’ala telah mempersiapkan sejumlah kondisi untuk Kitabullah yang mulia ini. Satu hal yang tidak akan kita temui pada kitab-kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Prof. Dr. Ali Ash Shallabi dalam Al-Imânu bil Qur’ân menyebutkan kondisi-kondisi tersebut, antara lain:

  1. Allah mempersiapkan umat (bangsa Arab) yang memiliki kekuatan hapalan saat Al-Quran diturunkan.
  2. Allah telah membuat Al-Quran mudah dihapal (QS Al-Qamar, 54:17,22,32,40)
  3. Allah mengevaluasi hapalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setahun sekali melalui Jibril ‘alaihissalam
  4. Allah telah persiapkan umat yang memiliki hapalan, pemahaman, dan amanah yang stabil lagi mumpuni dari setiap generasi. Hapalan mereka bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  5. Setelah Al-Quran dibukukan, tidak ada lagi celah untuk mempermainkannya. Para penghapal yang mumpuni terus mengevaluasi setiap salinan atau cetakan mushaf dengan saksama.

Menurut As-Sa’di dalam Tafsir al-Karim al-Raḥman, Allah menjaga Al-Quran pada masa penurunannya dan setelah masa penurunannya. Pada masa penurunannya Allah menjaga Al-Quran dari pencurian setan sedangkan pada masa sesudah penurunannya, Allah menjaga Al-Quran dari perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafad dan penggantian maknanya. Cara Allah menjaga Al-Quran salah satunya dengan menyimpannya di dalam dada utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad, dan kemudian di dalam dada umat Nabi Muhammad.

Penjagaan Al-Quran ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah dan anugerah dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dititipi Al-Quran. Sementara menurut al-Mawardi, ada tiga makna terkait makna kata “menjaga”: 1) Allah menjaga Al-Quran hingga hari kiamat, 2) Allah menjaga Al-Quran dari setan yang ingin membuat kebatilan di dalamnya atau menghilangkan kebenaran Al-Quran, dan 3) Allah menjaga Al-Quran di dalam orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang baik dan menghilangkan Al-Quran dari hati orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang yang buruk.

Ibn ‘Asyur dalam al-Taḥrir wa al-Tanwir mengutip ‘Iyadh menceritakan bahwa Isma’il ibn Ishaq ditanya mengenai rahasia alasan kitab-kitab terdahulu yang mengalami banyak perubahan, sedangkan Al-Quran tidak.

Beliau menjawab “sesungguhnya Allah memasrahkan kepada ulama-ulama mereka untuk menjaga kitab-kitab mereka sendiri. Allah berfirman ‘sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah’ (QS. Al-Maidah:44) sedangkan Allah menjaga Al-Quran dengan dzat-Nya sendiri.

Hal ini berarti ketika Allah menurunkan kitab-kitab sebelum Al-Quran, Allah memasrahkan penjagaannya kepada para ulama mereka sedangkan terhadap Al-Quran, Allah sendiri yang benar-benar menjaganya.

Fakhrudin al-Razi dalam Mafatiḥ al-Ghaib merinci cara Allah menjaga Al-Quran. Pertama, Allah menjadikan Al-Quran sebagai mukjizat sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menambah dan mengurangi Al-Quran. Hal ini karena ketika ada makhluk yang mengurangi Al-Quran, maka akan mengubah susunan Al-Quran itu dan orang-orang yang berakal akan segera menyadari bahwa perubahan itu bukan bagian dari Al-Quran.

Kedua, Allah menjaga Al-Quran dari siapapun yang ingin memalingkan makna Al-Quran. Ketiga, Allah melemahkan semua makhluk untuk merusak Al-Quran dengan melestarikan orang-orang yang terus menghafal, mengkaji, dan mempopulerkan Al-Quran. Keempat, ketika ada yang mengubah satu huruf atau satu titik dari Al-Quran, maka orang-orang akan berkata kepadanya “ini adalah kebohongan bagi kalam Allah”. Bahkan orang tua yang disegani sekalipun ketika melakukan laḥn (kesalahan) pada sebuah huruf maka anak anak akan berkata padanya “Anda salah wahai orang tua, yang benar adalah demikian dan demikian”.

Al-Qurṭubi dalam tafsirnya al-Jami’ Li Aḥkam al-Qur’an menceritakan kisah dari Yaḥya ibn Aksam. Khalifah al-Makmun, dia adalah seorang amir (pemimpin) ketika itu. Dia memiliki sebuah majelis diskusi. Masuklah di antara orang banyak seorang Yahudi dengan pakaian yang bagus, tampan yang rupawan dan aroma yang semerbak, dia berkata, ‘Dia menyempurnakan perkataannya dengan perkataan dan ungkapan yang bagus.

Ketika majelis telah selesai, dia dipanggil oleh Al-Makmun lalu ia berkata kepadanya ‘Israil?’. Dia menjawab, ‘Ya’. Ia berkata kepadanya, ‘Masuklah ke dalam Islam sehingga aku akan lakukan dan perbuat sesuatau kepadamu.’ Dia memberikan janji kepadanya. Maka dia berkata, ‘Ini agamaku dan agama nenek moyangku!.’ Lalu dia pulang

Setelah setahun berlalu dia datang kepada kami sebagai seorang muslim. Maka dia berbicara berkisah pada fikih dengan pembahasan yang sangat bagus. Ketika majelis telah usai dia dipanggil oleh Al Makmun, lalu ia berkata ‘Bukankah engkau adalah teman kami yang kemarin?.’ Dia menjawab, ‘Benar’. Ia berkata, ‘Apa yang menjadi sebab keislamanmu?.’ Ia menjawab, ‘Aku pulang dari hadapan engkau lalu aku ingin menguji semua agama ini. Engkau melihat aku adalah orang yang bagus tulisannya. Maka dengan sengaja aku menulis Taurat lalu aku menulisnya tiga kali dengan memberikan tambahan di dalamnya dan pengurangan. Lalu aku memasukkannya ke dalam rumah ibadah sehingga semuanya dibeli dariku. Lalu dengan sengaja aku menulis Injil sebanyak tiga kali dengan memberikan tambahan di dalamnya dan pengurangan. Lalu aku memasukkannya ke rumah ibadah sehingga semuanya dibeli dariku. Lalu aku dengan sengaja menulis Al-Qur’an lalu aku menuliskannya sebanyak tiga kali dengan memberikan tambahan dan pengurangan di dalamnya. Kemudian aku serahkan kepada para penulis lalu mereka menerimanya. Setelah mereka menemukan penambahan dan pengurangan di dalamnya, maka mereka membuangnya dan mereka tidak membelinya. Maka aku tahu bahwa ini adalah sebuah Kitab yang terjaga. Inilah yang menjadi sebab aku masuk islam’.”

Berdasarkan keterangan yang diberikan para mufasir dapat disimpulkan bahwa Al-Quran itu senantiasa dijaga oleh Allah dan dijamin keotentikannya oleh Allah hingga hari kiamat. Penjagaan itu juga melibatkan pihak lain, yaitu melalui peran para pembaca, penghafal, pengkaji, dan orang-orang yang selalu melestarikan ajaran-ajaran Al-Quran.

Allahu a’lam…

Ambi Ummu Salman

Add Comment