Peran Shahabiyah dalam Keluarga dan Pendidikan, Ekonomi, dan Politik (Sesi-1)
Muqodimah
Dalam dauroh shahabiyah ini akan dibahas peran para sahabiyah dalam keluarga, pendidikan, ekonomi dan politik.
Mereka adalah model generasi wanita terbaik sehingga para wanita muslimah tahu bagaimana berpolitik, berekonomi, pendidikan, dan berkeluarga dengan model yang jelas dan mendapatkan garansi kebaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan mengambil sumber dari para sahabat wanita, maka akan ada acuan yang jelas dalam teori, konsep, sekaligus praktiknya.
Generasi pada masa Nabi, sahabat, dan tabiin merupakan acuan bagi umat Islam dalam semua bidang. Setidaknya pada masa 100 tahun yaitu generasi sahabat hingga pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Permasalahnnya, selama ini kaum muslimin kurang menggali acuan itu sehingga menjadi meraba-raba dalam praktik kehidupannya.Padahal itu adalah acuan yang bukan sekadar teori, sudah jelas praktiknya, jelas prestasinya, dan jelas garansinya.
Namun yang menjadi catatan bahwa acuan tersebut tak bisa ditepakan seperti foto kopi dalam tataran teknisnya. Sebab, ada hal-hal yang ada di zaman dulu tapi belum tentu ada di zaman sekarang, dan sebaliknya ada di zaman sekarang belum tentu ada di zaman dulu. Segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai aturan dan mempunyai pijakan, dan pijakan inilah yang harus kita ambil.
A. PERAN SHAHABIYAH DALAM PENDIDIKAN DAN KELUARGA
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Ahzab :33-34)
Menurut sebagian ulama ayat ini hanya berlaku untuk istri-istri Nabi.
Jika dilihat dari segi bahasa, ada kata ganti كُنَّ “kunna, bermakna jamak” yang berarti ayat uni diarahkan pada kaum wanita pada umumnya.
Jika dilihat dari konteks ayat ini ditujukan untuk istri-istri Nabi karena melihat pada ayat sebelumnya, yaitu di ayat 32
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ…..
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,…”
Kemudian berlanjut ayat 33 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ…
Nah, pada bagian ini ada penekanan yang lebih untuk istri-istri Nabi.
Namun dikalimat-kalimat setelahnya berlaku umum, jadi di level-level tertentu ada penegasan dan kekhususan untuk ummahatul mukminin.
Dua ayat diatas berisi tentang adab, akhlak dan ibadah. Serta mengandung isyarat peran keluarga dan pendidikan yang mesti dimainkan sekaligus oleh ummahatul mukminin.
Kata “udzkurna” dapat berarti perintah agar mengingat dan atau menyampaikan (Ibn ‘Ayur, at-Tahrir). Makanya, Allah memerintahkan kepada isteri-isteri Nabi agar mengingat AlQur’an dan hikmah yang diturunkan di dalam rumah mereka dan mengajarkannya kepada manusia.
Jadi perintahnya adalah “tetaplah dalam rumah tapi sampaikan”.
Tetaplah di rumah seakan-akan bersifat pasif (hanya tingga di rumah). Kata sampaikan bersifat aktif dan ada interaksi dengan lingkungan. Berada dalam rumah dan menyampaikan adalah dua hal yang nyambung bukan berlawanan.
Fokusnya adalah tinggal di rumah dan rumah sebagai basis/pusat kegiatan. Rumah menjadi basis pendidikan bukan hanya untuk keluarga namun juga lingkungan. Menjadikan rumah sebagai pusat dari semuanya.
Sehingga tugas kita adalah menyelaraskan dengan praktek para shahabiyah, bukan parsial seperti yang terjadi saat ini. Bahwa jika di rumah wanita tidak bekerja, dan jika wanita bekerja di luar bahwa kiprahnya di rumah hilang, dan seterusnya.
Apa yang dilakukan para shahabiyah dalam rumah dan dalam masyarakat tentu prakteknya tidak akan keluar dari ayat ini karena mereka sangat mafhum dengan isi ayat ini. Itulah mengapa kita harus melihat bagaimana praktek kehidupan para shahabiyah.
Poin selanjutnya yang terdapat dalam ayat ini adalah tentang materi pendidikan yang diajarkan dalam ayat ini yaitu Al-Qur’an dan Hikmah.
1. Mengajarkan AlQur’an
Ummahatul mukminin diperintahkan untuk menyampaikan ayat-ayah Allah yang turun dalam rumah mereka. Karena para isteri-isteri Nabi melihat bagaimana reaksi dan ekspresi Nabi setiap kali ayat turun. Ada gabungan antara pemahaman dan emosi, ini menjadi modal bagaimana Adab isteri Nabi dalam memahami ayat-ayat tersebut. Serta bagaimana ayat ini dipahami dan dirasakan oleh Rasulullah ketika ayat-ayat itu turun di rumah mereka.
2. Hikmah, efek dari pengamalan ayat dan penempatan kebenaran dalam suatu amalan.
Contoh : kemunculan khawarij di zaman para sahabat adalah sebagai pembelajaran penting bagi kita karena apa yang dilakukan para sahabat menjadi standart atau patokan bagaimana kita bersikap dengan fenomena yang terjadi di zaman ini.
Munculnya khawarij karena mereka melepaskan hikmah dari AlQur’an. Kekeliruan mereka saat itu adakah meletakkan ayat-ayat AlQur’an secara makna yang harusnya berlaku untuk orang kafir namun mereka berlakukan kepada orang-orang beriman.
Dan kita akan mulai membedah bagaimana peran para shahabiyah dalam keluarga dan pendidikan
1. GURU BESAR ISLAM (Aisyah)
“Aisyah mengahafal banyak sekali riwayat dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dan hidup hampir 50 tahun setelah Nabi wafat. Selama itu para ulama banyak belajar kepadanya dan meriwayatkan banyak sekali hukum dan adab darinya. Sehingga, ada yang mengatakan, seperempat hukum syari’at islam diambil dari Aisyah radhiyallahu anha.” (Ibn Hajar, Fath al-Bari)
Ibunda Aisyah adalah sosok yang sangat cerdas yang melahirkan banyak ahli ilmu. Urwah bin Zubair generasi tabiin, ia adalah satu dari tujuh fuqoha’ di madinah yang dididik lansung oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka beliau adalah sosok ‘gurunya ulama’, maka wajib bagi kita menjaga adab terhadap ahli ilmu sebagaimana generasi tabi’in saat itu sangat menghormati dan memuliakan ibunda Aisyah ra yang menjadi sumber ilmu dan rujukan untuk menyelesaikan permasalah yang muncul saat itu, berkat keluasan ilmu dari Ibunda Aisyah dan upaya besar yang dilakukannya untuk menyampaikan ilmunya yang diperoleh dari Nabi.
Adab adalah penghayatan seseorang terhadap ilmu sehingga termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Kita taqlid pada ulama karena kita faqir ilmu (ilmu kita rendah), mereka telah mengeluarkan upaya untuk memahami apa yang diajarkan oleh Nabi.
2. PRAKTISI PENDIDIKAN
Ummahatul Mukminin secara keseluruhan adalah praktisi pendidikan dan begitupun para sahabat wanita lainnya. Tanpa diminta pun mereka akan menyampaikan ilmu, dan mereka sangat aktif mengajarkan ilmu yang mereka miliki.
Seluruh ummahatul mukminin menjalankan peran dan fungsi meraka sebagai pendidik, dan para sahabat wanita banyak sekali yang meriwayatkan hadits.
Mari kita lihat contoh peran yang diambil oleh beberapa shahabiyah :
a. Ummu Salamah
Ummu Salamah ra mengikuti dan mendukung proses pendidikan anak-anak di Kuttab sejak zaman khalifah Umar bin Khattab, pembelajaran dikuttab dimulai dari usia 4-12tahun.
Ummu salamah meminta kepada guru kuttab agar diwaktu istirahat anak-anak kittab dibawa ke rumahnya untuk bermain dan belajar bersama di dalam rumahnya. Karena Ummu Salamah ra adalah muslimah yang cerdas dan ia pandai baca tulis, sebagaimana yang kita tahu membaca dan menulis adalah keahlian yang masih langkah di zaman itu.
b. Ummu waraqah al-Anshariyah (mengajar dan mengimami keluarganya di rumah)
Ketika masih hidup ia sudah digelari “AsSyahidah” oleh Rasulullah saw.
Ummu Waraqah menjadikan rumahnya sebagai masjid. Dan ia sebagai imam khusus bagi kaum muslimah.
Ia menekuni ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla dengan sungguh-sungguh. Ummu Waraqah tidak hanya pandai membacanya, melainkan juga memahami dan menghafalnya dengan baik.
Ummu Waraqah binti al-Harits bukan hanya seorang ahli ‘ibadah. Ia pun seorang mukminah yang mencintai jihad dan merindukan syahid di jalan Allah. Ketika ia mengetahui bahwa Rasulullah saw menganjurkan sahabatnya untuk ikut perang Badar maka ia pun menjumpai Rasulullah saw dan berkata, ”Wahai Rasulullah, izinkanlah aku ikut perang bersamamu untuk merawat tentara yang terluka dan sakit. Mudah-mudahan Allah memberiku mati syahid dengan cara itu.”
Rasulullah SAW bersabda, ”Tinggallah di rumahmu, karena sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberimu anugerah sebagai orang yang mati syahid.” (HR Abu Dawud)
Mukminah ahli ibadah itu pulang mentaati saran Rasulullah saw. Dengan sebuah pengharapan besar yang membuncah di dada, yaitu menjemput syahid di rumahnya sendiri.
Akhirnya kerinduan dan pengharapan panjang itu pun datang, Ummu Waraqah menerima penghargaan tertinggi tersebut. Dalam Riwayat Abu Dawud dikisahkan sebagai berikut ,
“Ummu Waraqah memiliki seorang budak laki-laki dan budak perempuan. Kedua budak itulah yang membunuhnya dengan menutup wajah Ummu Waraqah dengan kain hingga meninggal. Kemudian mereka melarikan diri. Keesokkan harinya Umar mengumumkan kasus tersebut seraya berkata, ”Siapa yang mengetahui keberadaan budak tersebut, atau pernah melihatnya, maka tangkap dan bawalah kepadaku.” Akhirnya kedua budak itupun tertangkap, lalu dibunuh dan diikat ditiang. Inilah kasus pertama di kota Madinah orang yang dihukum dengan cara dibunuh dan diikat di tiang. “
Seluruh penduduk Madinah dicekam duka yang dalam, atas meninggalnya Ummu Waraqah mukminah mulia, yang zuhud, ahli ibadah, dan perindu syahid di dadanya.
c. Asy-Syifa’ binti Abdullah al-‘adawiyah, mengajar ilmu pengobatan di masa Nabi saw.
Nama sebenarnya adalah Laila, tetapi lebih dikenal sebagai Asy-Syifa’ karena dari zaman sebelum islam ia sudah pandai ilmu pengobatan. Sedangkan beliau memiliki nama julukan, yaitu Ummu Sulaiman.
Ummu Sulaiman sangat mahir dalam membaca dan menulis. Selain mahir dalam membaca dan menulis, beliau juga mahir dalam bidang ruqyah (berobat dengan memohon doa). Setelah masuk Islam, Ummu Sulaiman berhenti melakukan ruqyah.Namun, Rasulullah SAW mengizinkan untuk meneruskannya kembali, bahkan menyuruh Ummu Sulaiman untuk mengajarkan kepada salah satu istri beliau, yaitu Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Rasullah mendorong wanita terjun dalam bidang pendidikan, padahal di zaman itu sangat jarang wanita menjadi pengajar.
Ummu Sulaiman sangat dihormati oleh rasulullah saw dan para sahabat. Pada saat Umar bin Khattab ra menjadi khilafah, beliau memberikan kepercayaan kepada Ummu Sulaiman untuk menjadi qadhi hisbah di Madinah (orang yang bertugas mengawasi masalah pasar). Selain itu, Ummu Sulaiman turut menyebarkan Islam dan memberikan nasihat kepada umat. Umar bin Khathtab sangat mendahulukan pendapat Ummu Sulaiman.
Ummu Sulaiman (Asy-Syifa’) juga sangat peduli terhadap persoalan budaya dan sosial. Abu Khaitsamah menuturkan bahwa, ketika melihat sekelompok anak muda berjalan perlahan dan berbicara dengan suara terlalu rendah, asy-syifa’ mempermasalahkannya. Ketika dijawab bahwa hal tersebut dianggap sebagai sifat orang saleh, ia membantah: “Umar, demi Allah, adalah orang yang apabila berkata, suaranya jelas terdengar; apabila berjalan, dia bergegas; dan apabila memukul, akan terasa menyakitkan. Dan, dialah orang saleh sesungguhnya.”
d. An-Nawar binti Malik
An-Nawar binti malik ra adalah pendorong terbesar puteranya, Zaid bin Tsabit untuk menjadi sekertaris pribadi Rasulullah saw di usia 13 tahun dan berperan besar dalam aspek intelektual Islam dan administrasi pemerintahan.
Begitu besar peran kedekatan, dorongan, serta disikan sang Ibunda kepada Zaid bin Tsabit ra. Sebelum hijrah ke Madinah ia telah hafal 17 surat dari AlQur’an dengan sangat baik dibawah bimbingan sang ibu.
Ibu yang baik tentu tahu kualitas, potensi, bakat dan keunggulan anaknya. Begitulah an-Nawar binti Malik, ia tahu bahwa putranya memiliki potensi intelektual yang menjanjikan. Zaid bin Tsabit adalah seorang anak yang cerdas. Oleh karena itu, ia mengarahkan anaknya untuk lebih mengembangkan potensinya sekaligus sebagai hiburan bagi anaknya yang tengah kecewa karena belum diizinkan bergabung di dalam sebuah peperangan. Negara Madinah tentu membutuhkan orang-orang yang cakap beretorika dan lihai bernegosiasi, belum lagi kemampuan baca-tulis masih merupakan barang langka waktu itu. An-Nawar binti Malik tahu bahwa putranya sangat mungkin menguasai kedua kemampuan penting itu. Ia lalu meyakinkan putranya seraya berkata,
“Engkau menguasai Al Qur’an dengan sempurna juga bisa menuliskannya, ini jarang terjadi pada saat ini. Engkau telah banyak menghafal Al Qur’an dengan hafalan yang baik. Oleh karena itu, mari kita pergi kepada Rasulullah Saw dan kita akan melihat bagaimana kita bisa menentukan potensi-potensi ini untuk membela Islam dan kaum muslimin.”
Tidak hanya memberikan motivasi, pada hari yang telah ditentukan bersama beberapa orang dari kabilahnya, an-Nawar binti Malik mengantarkan Zaid untuk bertemu Rasulullah Saw untuk melihat apa yang bisa dilakukan anak itu dengan potensi yang dimilikinya. Mereka berkata,
“Ya Rasul, anak kami Zaid bin Tsabit ini hafal 17 surah dari Al Qur’an dan dia membacanya dengan benar sebagaimana ketika wahyu itu diturunkan kepadamu. Terlebih lagi, ia pandai membaca dan menulis. Ia (Zaid bin Tsabit) ingin agar dengan kemampuannya tersebut ia bisa dekat dan menetap denganmu. Jika engkau mau, simaklah bacaannya.”
Rasulullah Saw pun mempersilakan Zaid menunjukan kemampuannya, setelah mendengarnya beliau Saw terpukau dan mengakui kehebatan hafalan Zaid. Tidak cuma itu, beliau juga sangat menghargai kecakapan baca-tulis yang dimiliki remaja belasan tahun itu. Tanpa mempermasalahkan lagi umurnya yang belia, Rasulullah Saw kemudian memberikan amanah pertama kepada Zaid, amanah yang menjadi tonggak jihad pena yang tetap dia laksanakan bahkan setelah Rasulullah Saw wafat.
Sehingga di usia 13 tahun Zaid bin Tsabit telah menjadi sekertaris pribadi Rasulullah. Dalam 5 minggu ia mampu menguasai bahasa ibrani dengan sangat baik. Ia menguasai 7 bahasa asing dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan.
Ketika Rasul wafat ia berusia 20 tahun. Dan diusia 22 tahun ia menjadi ketua penghimpun AlQur’an di masa khalifah Abu Bakar ra.
Abu Bakar mengemukakan alasannya menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai penghimpun AlQur’an kepada diri Zaid : “Engkau masih muda, cerdas, engkau pernah menulis wahyu sebagai sekertaris Rasulullah dan kami tidak pernah meragukan keshalihanmu.”
Peran an-Nawar binti Malik di dalam kegemilangan karir, amal, dan jihad intelektual Zaid bin Tsabit tentu sangatlah besar. An-Nawar lah yang mampu membaca potensi anaknya, mengarahkannya dan mendukung anaknya semaksimal mungkin. Ia bahkan mengajak beberapa anggota kabilahnya menghadapkan anaknya kepada Nabi Muhammad Saw, seorang kepala negara, pemimpin ummat untuk menunjukan kemampuan anaknya. Tentu hal itu membangkitkan kepercayaan diri putranya. An-Nawar binti Malik adalah seorang single parent, tetapi itu tidak menjadi alasan baginya untuk menelantarkan anaknya demi mencari uang. Seorang Ibu yang mampu melahirkan generasi gemilang dari dalam rumahnya, lalu bagimana dengan kita hari ini?
3. RUMAH; BASIS PERADABAN
Ummahatul Mukminin menjadikan rumah mereka sebagai basis pendidikan.
√ Kita bisa mulai dari Ummul mukminin Aisyah ra melahirkan Abdullah bin Zubair, Amrah binti Abdurrahman, ‘Aisyah binti Thalhah dan dan banyak guru besar generasi tabi’in yang lahir dari didikan Ibunda ‘Aisyah ra, semua di lakukan dari dalam rumahnya. Ia menjadi gurubesar dengan menjadi rumah sebagai basisnya.
√ Rumah Ummu Salamah ra melahirkan al- Hasan al-Basri. al-Hasan al-Basri adalah anak dari pelayan ummul mukminin Ummu Salamah, dan dia dididik lansung oleh Ummu Salamah serta menjadi ibu susuan dari al-Hasan. al-Hasan biasa diajak berkeliling dari satu rumah ke rumah para istri-istri Rasulullah. Ia juga banyak berguru kepada para sahabat Nabi, al-Hasan menemui para sahabat yang mulia untuk berguru kepada mereka dan duduk mendengarkan mereka di masjid nabawi.
√ Rumah Ummu Sulaim ra melahirkan Anas bin Malik. Ummu Sulaim adalah seorang ibu pendidik yang sadar sehingga ia memasukkan anaknya ke dalam madrasah yang agung, madrasah nabawiyah dibawah bimbingan sang Rasul. Dunia pun mengenal bahwa anaknya masuk ke madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada kemudian hari menjadi seorang ulama di antara ulama Islam, dialah Anas bin Malik ra. Saat itu Ummu Sulaim menemui Rasulullah saw yang dicintai dengan rasa malu, kemudian beliau mengajukan buah hatinya yakni Anas untuk dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah pun menerimanya, dan Anas bin Malik pun kemudia menjadi pelayan Rasulullah hingga Rasulullah wafat.
√ Rumah Ummu ‘Umarah melahirkan hubaib bin Zaid dan Abdullah bin Zaid.
Nama beliau Nusaibah binti Ka’ab ra, peristiwa keteguhan Nusaibah, ketegarabnya, suami dan anak-anaknya di sekeliling Rasulullah ketika pasukan Muslin terdesak di perang Uhud, satu indikator dari beberapa indikator sumbangsih perempuan Muslinah dalam kadar yang besar terhadap perjuangan di jalan dakwah Islam.
Ummu ‘Umarah berkata pada sang anak (Abdullah bin Zaid) ketika terluka di perang Uhud, “Nak bangkitlah!, aku balut lukamu agar engkau terus berjuang melindungi Rasulullah.”
Nusaibah membawa 13 luka dari perang Uhud. Sedangkan putranya Hubaib bin Zaid, ia mendapat tugas menyampaikan pesan Rasulullah saw kepada Musailamah al-Kadzab, dan iapun disiksa agar mebgakui kenabian Musailamah namun putra Ummu Umarah ini telah terbiasa dididik bersabar tatkala berperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian di jalan Allah. Sehingga kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga beliau syahid dalam peperangan itu.
Lalu bagaimanakah rumah kita wahai ummahat?Adakah rumah-rumah kita melahirkan orang-orang besar di zamannya?.
Sungguh ini adalah tugas bagi setiap ibu agar dari rahimnya, agar dari rumahnya lahir generasi-generasi besar pengukir sejarah di zamannya.
4. RUMAH; AKTUALISASI DIRI
Rumah dapat menjadi manifestasi puncak aktualisasi diri bagi kaum wanita.
Sebagaimana pernyataan Rasulullah saw kepada Asma binti Yazid bin as-Sakan ra yang mewakili kaum wanita agar diberi kesempatan menjalankan kebaikan yang sama dengan kaum laki-laki.
Pada suatu ketika Asma mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan membai’at anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum lelaki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang mengandung anak-anak mereka, akan tetapi kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat jum’at, mengantarkan jenazah dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Pernahkah kalian mendengat pertanyaan seorang wanita tenteng dien yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!”
Kemudian Rasulullah bersabda :
“Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukanlah kepada para wanita yang dibelakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya (yakni bergaul dengan baik dalam kehidupan suami istri), dan meminta keridhaan suaminya, mengikuti persetujuan suaminya atau tunduk kepada persetujuan suaminya, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki.”
Dalam lafadz yang lain :
“Menempatkan diri sebagai sebaik-baik isteri bagi suami, berusaha mendapatkan ridha suami, dan mengikuti arahan suami adalah setara dengan semua yang engkau sebutkan tadi.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi & an- Nasa’i)
Maka dari itu wahai para istri..!
Doronglah para suami kalian untuk menjadi laki-laki yang shalih dan jadilah engkau wanita yang shalih, sehingga dari kebaikan-kebaikan suamimu itu engkau mendapatkan pahala darinya.
5. BERBAGI DAN SALING MENGISI
Dalam hubungan suami dan isteri, pada dasarnya para sahabat berbagi peran, tapi tidak menutup untuk saling mengisi.
Fatimah ra mengerjakan kebutuhan rumah tangga karena kondisi Ali ra yang tidak mungkin mengerjakannya.
Asma’ bin Abu Bakar mengambil makanan kuda milik Zubair bin Awwam dari kebun yang berjarak beberapa kilometer dari rumahnya.
Hindun Binti ‘Utbah berdagang di masa Umar bin Khaththab.
Pasa situasi tertentu kehadiran wanita di ranah publik menjadi mutlak/keharusan. Ada situasi dimana wanita fardhu kifayah dibutuhkan diluar misal untuk profesi dokter kandungan, perawat,dll.
Namun tetap jadikan rumah sebagai basisnya. Letakkan semua pada posisinya terlebih dahulu (fiqih prioritas, lihat kondisi, darurat dan tidaknya,dll).
Allahu a’lam..
(bersambung sesi ke-2…)
(Catatan Dauroh Sirah Shahabiyah dengan tema “Peran Shahabiyah dalam keluarga dan pendidikan, Ekonomi dan Politik (Ahad, 26 November 2017), Ustadz Asep Sobari, Lc).
Ditulis oleh Ambi Ummu Salman