Peran Shahabiyah Dalam Ekonomi
Ini adalah catatan Dauroh Shahabiyah sesi ke-2 dengan tema Peran Shahabiyah dalam Ekonomi, untuk catatan sesi 1 bisa dibaca di sini. Materi ini disampaikan oleh pakar sejarah islam, Ustadz Asep Sobari , Lc.
Pandangan Umum
“…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)”.
Qs. Hud :61
Ayat ini berlaku umum baik untuk laki-laki maupun perempuan, yaitu bagaimana peran aktif manusia dalam memakmurkan bumi dan membangun dalam segaka aspek.
Ekonomi dan aktivitas yang terkait merupakan bagaian dari unsur elementer dalam peradaban yang merupakan bagian dari risalah islam, yang disebut alQur’an sebagai isti’mar (Hud :61).
Semua manusia dalam konsep islam memiliki peran dan kesempatan untuk memakmurkan bumi baik dia dalam keadaan kaya maupun dalam keadaan miskin.
Ekonomi termasuk dharuriyat untuk memenuhi hajat dasar hidup dan berkembang. Aktivitas ekonomi sangat dipertimbangkan sebagai penyeimbang dharuriyat hidup lainnya termasuk ibadah, kesehatan dan jihad (Qs. Al-Muzammil : 20)
“...Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Muzammil : 20)
Ekonomi adalah fasilitas dari Allah bagi hamba-hambanya sehingga menjadi bidang yang dimudahkan dan banyak jalan untuk mendapatkannya. (Qs. al-Mulk : 15)
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Qs. al-Mulk :15)
Islam tidak menganggap dunia ekonomi kotor, namun menjadi bagian penting dari islam.
Harta tidak menodai keshalihan, karena sebaik-baik harta adalah ditangan orang yang shalih.
Ekonomi Keluarga
Islam membebankan kewajiban ekonomi keluarga atau nafkah kepada suami sebagai kepala rumah tangga. Suami wajib memenuhi kebutuhan ekonomi seluruh anggota keluarga.
Isteri sebagai pihak yang berhak menerima nafkah. Tapi di sisi lain, isteri juga punya hak kepemilikan (tamalluk) atas harta baik yang didapat dari suami mapun dari pihak lain dengan berbagai jalur yang dibenarkan.
Tamalluk adalah harta pribadi istri dan beberapa shahabiyah juga memiliki tamalluk. Beberapa shahabiyah juga memiliki tamalluk contohnya Khadijah bintik Khuwailid, Hindun Binti Utbah, dll.
Peran Shahabiyah
Wanita berkerja atau berbisnis hukumnya mubah. Khadijah radhiyallahu ‘anhu adalah pengusaha dan mengelola bisnis pribadi. Aktivitas usaha Khadijah berlansung sejak masa Jahiliyah hingga islam. Tidak ada pandangan negatif Rasulullah terhadap aktivitas Khadijah sebagai pengusaha, dan tidak ada keterangan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menyalahkan apalagi melarang aktivitas Khadijah.
Beberapa shahabiyah aktif dalam bidang ekonomi baik secara lansung atau tidak lansung. Zainab binti Khuzaimah berinteraksi di pasar, Hindun binti ‘Utbah berdagang, asy-Syifa’ diangkat sebagai pengawas aktivitas pasar di masa KhalifahUmar bin Khattab, dll.
Kepemilikan dan Shadaqah
Syari’at islam memberikan hak kepemilikian harta kepada wanita melalui banyak jalur, waris salah satunya. Ketika wanita dibenarkan akan kepemilikan harta, wanita diberi peluang yang sama untuk mengembangkan ekonomi.
Harta harus dijaga dan dikembangkan agar tidak berkurang atau nilainya menyusut. Syari’at islam mengurus harta anak yatim, terlebih perempaun sebagai contohnya ada dalam Qs. an-Nisa ayat 3.
Kepemilikan harta bagi wanita menjadi peluang untuk menunjang ekonomi dan membangun keseimbangan sosial melalui sedekah, wakaf, dll.
Sejak masa Umar, negara memberikan tunjangan uang kepada seluruh rakyat per kepala. Kaum wanita punya nodal yang cukup besar di masa itu dan di masa-masa berikutnya.
Sedekah menjadi unsur terpenting dalam hubungan wanita dengan harta. Rasulullah saw menegaskan sedekah sebagai jalan terbaik kaum wanita agar terhindar dari ancaman neraka.
Karena itu materi pertama yang Rasulullah berikan kepada Shahbiyah adalah tentang sedekah,
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah beristighfar (mohon ampun kepada Allâh) karena sungguh aku melihat kalian sebagai penghuni neraka yang paling banyak.” Berkatalah seorang wanita yang cerdas di antara mereka, ‘Mengapa kami sebagai penghuni neraka yang paling banyak, wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Karena kalian sering melaknat dan sering mengingkari kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih mampu mengalahkan laki-laki yang berakal dibandingkan kalian.’Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasûlullâh, apa (yang dimaksud dengan) kurang akal dan agama?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kurang akal karena persaksian dua orang wanita setara dengan persaksian satu orang laki-laki, inilah makna kekurangan akal. Dan seorang wanita berdiam diri selama beberapa malam dengan tidak shalat dan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan (karena haidh), inilah makna kekurangan dalam agama.’” (HR. Muslim)
Wanita cenderung memegang harta untuk kepentingan pribadinya sehingga urusan akhirat menjadi berat karena tergantung pada dunia. Maka Rasulullah mengajarkan wanita sedekah untuk mengurangi ketergantungan wanita terhadap wanita. Karena tidak ada kewajiban menanggung nafkah sehingga membuat wanita cenderung pada dunia.
Mari kita simak kisah indah dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan istinya Zainab ats Tsaqafi radhiyallahu ‘anha.
Zainab adalah wanita bangsawan yang kaya, ia menikah dengan Abdullah bin Mas’ud yang miskin. Sebagai seorang istri zainab selalu Ridho terhadap berapapun pemberian suaminya meskipun ia memiliki harta yang lebih banyak dari suaminya.
Zainab bersedia dinikahi Ibnu Mas’ud, karena ia menyadari kekayaan dan kebangsawanannya belum tentu bisa menjamin keselamatannya di akhirat kelak. Tetapi dengan menjadi istri dan pendamping seorang sahabat yang begitu dimuliakan Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, ia yakin akan memperoleh kemuliaan, asal dengan ikhlas mengabdi pada suaminya.
Suatu ketika Zainab mendengar Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai kaum wanita, bersedekahlah kamu sekalian, walaupun harus dengan perhiasanmu…!!”
Ketika tiba di rumah dan bertemu dengan suaminya, Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan sabda Nabi tersebut dan berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang tidak mampu, tolong datang dan tanyakan kepada Nabi , apa boleh aku bersedekah kepadamu, jika tidak boleh, aku akan memberikannya kepada orang lain…!!”
Tetapi Ibnu Mas’ud merasa tidak enak dan malu menanyakan hal tersebut kepada Nabi , karena ia dalam posisi berhak tidaknya menerima sedekah dari istrinya sendiri. Apalagi ia mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Karena itu ia berkata kepada istrinya, “Kamu sendiri saja yang datang kepada beliau dan menanyakannya…!!”
Dengan perintah atau ijin suaminya tersebut, Zainab datang ke rumah Nabi, ternyata di sana telah ada seorang wanita Anshar menunggu Nabi hadir untuk menanyakan hal yang sama dengan dirinya. Seperti telah memperoleh isyarat, Rasulullah memerintahkan Bilal keluar menemui dua wanita tersebut, dan Zainab berkata, “Wahai Bilal, sampaikan kepada Rasulullah , dua orang wanita menanyakan kepada kepada beliau, apa boleh kami memberikan shadaqah kami kepada suami dan anak-anak yatim yang kami asuh? Tetapi, tolong jangan dijelaskan siapa kami!!”
Bilal masuk kembali menemui beliau dan menyampaikan pertanyaan mereka berdua. Tetapi Nabi justru menanyakan identitas mereka berdua sehingga Bilal tidak mungkin menyembunyikannya, ia berkata, “Seorang wanita Anshar dan Zainab, ya Rasulullah!!”
“Zainab yang mana?” Tanya Nabi.
“Istri Abdullah bin Mas’ud…!!”
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika itu yang dilakukannya, kedua wanita tersebut akan mendapat dua macam pahala, pahala membantu kerabatnya, dan pahala shadaqah….!!”
Bilal menyampaikan jawaban Nabi , dan tentu saja Zainab beserta wanita Anshar tersebut sangat gembira. “Ijtihad” mereka tentang shadaqah ternyata dibenarkan beliau, bahkan memperoleh pahala berlipat.
MasyaaAllah sungguh islam sangat memuliakan kaum wanita.
Allahu a’lam
Ambi Ummu Salman.
(Bersambung ke cacatan sesi ke-3…)
tulisan yang bagus