Kisah Inspirasi Keluarga Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam Al-Qur’an

Bismillahirrahmanirrahim…

Ketika membahas kisah keluarga Nabi Nuh ‘alaihissalam banyak yang tanpa sadar mendzolimi Nabi Nuh ‘alaihissalam, karena kita menempatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai sosok yg gagal dalam mendidik keluarganya yaitu istri dan anaknya. Sehingga ketika kita gagal maka kita menyamakan diri kita dengan Nabi Nuh dengan dalil Nabi Nuh saja gagal maka kita manusia biasa wajar jika gagal, dan begitu pula ketika sukses mendidik anak maka kita merasa lebih baik dari Nabi Nuh. Inilah bentuk kedzoliman kita kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Padahal seharusnya kita mengambil potret Nabi Nuh ‘alahissalam sebagai Nabi yang sukses dalam keluarga, jangan sampai kita menjadi musuh dari para nabi terutama Nabi Nuh karena kedzaliman kita.

Nabi Nuh ‘alahissalam tidak gagal, tapi justru ia sukses dalam mendidik keluarganya.

Kedzaliman kita dengan memaknai Nabi Nuh gagal dalam mendidik keluarganya adalah dimulai dari kegagalan kita memaknai dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang berisi kisah keluarga Nabi Nuh ‘alahissalam.

Mari kita kembali mentadababburi kisah Nabi Nuh sebagai Nabi yang sukes dalam keluarganya.

Mari kita tengok surat Ali Imran ayat 33,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)

اصْطَفَىٰ :

Fi’il Mazid yang bermakna mubalaghoh (sangat), yang artinya bukan hanya dipilih tapi benar-benar dipilih (benar-benar disaring), jadi Nabi Nuh adalah manusia yang sangat terpilih.

آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ :

Dalam ayat ini Nabi Adam dan Nabi Nuh tidak disebut keluarganya. Sehingga kita menganggap Nabi Nuh gagal dalam mendidik keluarganya, padahal ayat ini bukan untuk menunjukkan kegagalan mereka tapi untuk meninggikan nama-nama mereka yang ada dalam ayat tersebut.


Prestasi Nabi Nuh ‘alaihissalam

Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 33 bahwa Nabi Nuh ‘alahissalam adalah manusia terpilih dari seluruh alam. Istri dan anaknya memang bermasalah namun bukan berarti gagal. Yang perlu kita galih adalah hikmah dibalik kisah tersebut. Karena dibalik setiap peristiwa dan penciptaan pasti ada hikmah yang Allah siapkan agar manusia mentadabburi dan mengambil pelajaran darinya.

Sebagaimana dalam surat Ali imran ayat 190
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

Siapakah ulil albab itu?
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam semua kondisi mereka, baik berdiri,duduk dan dalam keadaan mereka berbaring. Mereka mentadaburi dalam penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ”wahai tuhan kami, Engkau tidaklah menciptakan makhluk ciptaan ini dengan sia-sia. Dan Engkah Maha suci dari hal itu. Maka jauhkanlah dari kami siksaan neraka. (Qs. 3 :91)

Jadi, tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia, tidak ada penciptaan Allah yang bathil. Karena setiap yang Allah ciptakan pasti ada pelajaran di dalamnya.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. 2 :29)
خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا : Maknanya mengadakan seluruhnya dari hal yang bermanfaat di bumi semuanya untuk kalian, agar kalian mengambil manfaat dalam kehidupan kalian.

Ada 3 hikmah dibalik setiap penciptaan :

1. Al intifa : Pengambilan manfaat (memelihara dan mendayagunakan). Berupa semua yang Allah ciptakan yang kita ambil manfaatnya dan dihalalkan oleh Allah.

2. Al I’tibar : Mengambil pelajaran. Memikirkan, mensyukuri, menggali rahasia alam dan ciptaan Allah yang ada di semesta ini.

3. Al Ikhtibar : Ujian. Segala sesuatu yang Allah ciptaan yang menjadi ujian bagi manusia, contohnya : iblis, segala hewan yang Allah haramkan bagi kita, dll.

Nah, berkaitan kisah keluarga Nabi Nuh ‘alahissalam ini,

Allah jadikan Nabi Nuh sebagai intifa‘ bagi kita, dan Allah jadikan Istri dan anaknya sebagai I’tibar bagi kita. Sementara bagi Nabi Nuh sendiri, istri dan anaknya adalah sebagai ikhtibar bagi dirinya.


Keberhasilan Nabi Nuh ‘alahissalam Sebagai Rasul

Saat Nabi Adam ‘alahissalam diutus sebagai Nabi kesyirikan belum terjadi di bumi ini, semua masih menganut agama tauhid yang hanif. Kesyirikan terjadi menjelang diutusnya Nabi Nuh dan kesyirikan sudah benar-benar terjadi ketika Nabi Nuh diutus sebagai Nabi kepada kaumnya.

Kisah awal mula kesyirikan kaum Nabi Nuh

Qs. Nuh ayat 23
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.

Wadd, suwwa’, yaghuts, ya’uq, dan nasr. Ini semua adalah nama-nama orang shalih; Ketika mereka semua meninggal, setan menghiasi dengan membisikkan kepada mereka agar membuat sesuatu yang menggambarkan mereka dengan permisalan yang sama dengan mereka, agar supaya mengingat mereka dan meniru semangat ibadah orang shalih tersebut. Kemudian seiring berlalunya zaman, dan berganti masa ke masa, maka iblis laknatullah menyeru mereka untuk beribadah kepada selain Allah. Berkata manusia dari masa ke masa : Sungguh bapak moyang kalian tidaklah menjadikan bentuk sedemikian rupa, tidak juga menjadikan dengan bentuk yang semisal ini kecuali untuk mengibadahinya. Maka mereka semua taat dan beribadah kepada selain Allah.

Inilah awal kesyirikan itu terjadi, mereka mulai menyembah berhala dan agama tauhid pun dilupakan.

Lihatlah bahwa syaiton mampu bersabar menunggu hasil penyesatan mereka bahkan hingga beberapa generasi. Maka, sebagai orang beriman harusnya kita jauh lebih memiliki kesabaran dan tidak terburu-buru dalam berdakwa dan mendidik generasi.

Nabi Nuh yang telah berdakwah selama 950 tahun, tidak hanya di siang hari namun juga di malam hari beliau tidak berhenti menyeru kaumnya. Selama masa yang panjang itu pula beliau bersabar atas gangguan fisik maupun psikis yang ia terima.

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا

Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, namun seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS. Nuh: 6-7)

Tidak hanya menolak seruan Nabi Nuh, mereka pun mengejeknya dengan menutupi telinga-telinga mereka.

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

“Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (QS. Nuh: 8)

Allah Ta’ala pun menanggapi kaum Nuh yang sangat melampaui batas ini dengan berfirman, mengabarkan kepada Rasulullah Nuh ‘alaihissalam bahwa tidak ada lagi kaumnya yang akan beriman kepadanya.

وَأُوحِيَ إِلَىٰ نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud: 36)

Artinya, tidak akan ada lagi yang akan beriman kepada seruanmu setelah 9 orang yang telah mengikutimu.

Mendengar firman Allah ini, Nuh sadar Allah akan segera menurunkan adzab-Nya kepada kaumnya.

وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا

“(Jika demikian) Rabb-ku, maka jangan engkau sisakan seorang pun orang kafir di atas bumi ini. Jika Engkau membiarkan mereka, pastilah mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu (yang lain), dan mereka pun akan melahirkan keturunan yang senantiasa berbuat dosa dan kekufuran.” (QS. Nuh: 26-27)

Demikianlah syariat terdahulu, ketika sebuah kaum melakukan dosa dan melampaui batas, maka Allah akan menurunkan adzab-Nya langsung di dunia dengan membinasakan mereka.

Nabi Nuh ‘alahissalam berhasil menjadikan seluruh manusia beriman, orang-orang kafir di muka bumi ditenggelamkan. Menyisakan kaum yang beriman sehingga kembali menjadi agama tauhid.

Sehingga tak pantas jika orang ada yang menuduh Nabi Nuh ‘alaihissalam bukanlah seorang Rasul yang sabar menghadapi kaumnya, padahal Allah sendiri menggelarinya ulul azmi di antara para rasul. Alasan orang-orang yang menuduh Nabi Nuh tidak sabar karena Nabi Nuh memintakan adzab kepada Allah untuk kaumnya.

Mari pahami alur kisahnya secara menyeluruh, mengapa Nabi Nuh mengucapkan demikian, sehingga kita tidak berburuk sangka kepada utusan Allah yang mulia.

Bahkan Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk belajar dari kisah Nabi Nuh. Dalam surat Al Ahqaf ayat 35 :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ ۚ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ۚ بَلَاغٌ ۚ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

Pelajaran :
1. Allah mengakhiri surat ini dengan nasihat kepad Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar atas apa yang telah menimpanya dari celaan dan penghinaan dari orang-orang sombong dan dzalim; Dimana Allah memerintahkan bersabar sebagaimana sabarnya Ulul Azmi dan kokohnya para Rasul yang mereka adalah : Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.

2. Agar Menjadikan Nabi Nuh sebagai contoh dalam berdakwah.
Dalam urutan berdakwah, dakwah yang pertama adalah kepada pribadi (diri sendiri), keluarga atau kerabat-kerabat terdekat (Qs. Asy-Syu’ara : 214), kemudian baru kepada lingkungan/masyarakat (Qs. Al-Hijr : 94).
Dan dakwah Nabi Nuh sudah mencakup semuanya, karena dakwah para Nabi selalu melalui proses dan urutan dari Allah Ta’ala.

Dalam islam setiap langkah harus melalui urutan yang tepat dan konsep yang utuh.

Setiap Nabi memulai dakwah dari pribadinya dan tidak punya cacat dari sisi kepribadiannya.
Nabi Nuh tidak memiliki cacat dalam kepribadiannya namun kaumnya tidak mau mengikuti atau mendengarkannya karena mareka menganggap Nabi Nuh hanya manusia biasa sebagaimana mereka dan manusia-manusia lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 27 :

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”.


Nabi Nuh ‘alahissalam sebagai Anak

Apakah Ayah dan Ibu Nabi Nuh beriman?

Mari kita perhatikan doa Nabi Nuh dalam surat Nuh ayat 28,

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”.

Kata ( والد) adalah isim fa’il dari wa-la-da yang artinya melahirkan. Dalam penggunaannya kata waalid hanya merujuk pada satu makna, yaitu bapak secara biologis.

Sedangkan (الاب) dalam arti awalnya bermakna sesorang yang mendidik atau memberi nafkah. Jadi disini bisa dimaknai seorang ayah yang menjalankan fungsi pendidikan
Kata (الاب) dalam AlQur’an merujuk pada ayah, paman dan kakek.
Sehingga bisa menjadi waalid namun belum tentu menjadi ab.

Pada ayat di atas (Qs. Nuh :28) menggunakan kata dengan akar kata (والد) yang artinya yang didoakan oleh Nabi Nuh adalah ayah dan ibu kandungnya.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ayah dan ibu nabu Nuh adalah orang yang beriman karena Nabi Nuh mendo’akan ampunan untuk orangtuanya yang telah meninggal, karena kita tidak boleh memintakan ampunan untuk orang kafir yang telah meninggal. Sebagaimana rasulullah yang mendapat teguran dari Allah ketika mendoakan pamannya yang telah meninggal dan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim sehingga mendapat teguran dari Allah ketika mendoakan ayahnya.

وَمَا كَانَ ٱستِغفَارُ إِبرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوعِدَة وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥٓ أَنَّهُۥ عَدُوّ لِّلَّهِ تَبَرَّأَ مِنهُ إِنَّ إِبرَٰهِيمَ لَأَوَّٰهٌ حَلِيم

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114).

Dapat disimpulkan bahwa kedua orangtua Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang yang beriman, Sehingga bisa dikatakan bahwa Nabi Nuh sukses berdakwa sebagai anak dalam keluarganya.


Nabi Nuh ‘alaihissalam Sebagai Suami

Dalam AlQur’an dan Sunnah tidak dijelaskan Nabi Nuh punya istri yang lain selain yang dikisahkan di dalam AlQur’an. Namun dalam isra’iliyat dikisahkan bahwa Nabi Nuh menikah lagi dengan wanita yang lain.

Mari kita tengok surat At-Tahrim Ayat 10-11,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

Mengapa para wanita tersebut, yaitu istri Nabi Nuh dan Nabi luth dijadikan simbol kekafiran?

Tugas seorang istri adalah mendukung kebaikan bagi suaminya. Lalu pertanyaannya apakah kedua wanita tersebut mendukung dakwah suaminya?

Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun, berdakwa di luar siang dan malam. Namun istrinya tidak bisa menjadi sandarannya di dalam rumah, istrinya malah berkhianat dan tidak mendukung kebaikan suamianya.

Khianat istri Nabi Nuh dan Nabi Luth adalah khianat dalam agama, khianat dengan mengingkari perjanjian secara sembunyi-sembunyi (menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan, munafik).
Ibnu Abbas menyampaikan bahwa khianat para istri Nabi tidak mungkin dalam urusan ranjang. Adapun khianat istri Nabi Nuh adalah khianatnya ia dengan mengatakan kepada masyarakatnya bahwa suaminya gila. Sehingga banyak orang-orang yang ingin beriman tidak jadi beriman. Ia tidak beriman pada nabiNya maka ia juga tidak beriman kepada Allah.

Istri harusnya mampu menjadi sandara bagi suaminya sehingga sebesar apapun masalah yang dibawa suaminya dari luar rumah, masalah itu akan hilang ketika ia bersama dengan istrinya.

Meskipun fitrahnya karakter istri adalah cenderung bercerita setiap ada masalah. Sedangkan suami dipendam dan bercerita jika sudah selesai masalahnya.

Namun kita bisa belajar dari Ibunda Khadijah, saat Rasulullah diangkat menjadi Nabi, Khadijah memberikan dukungan sepenuhnya kepada suaminya. Merelakan semua harta dan hak-haknya untuk Allah Ta’ala.

Sehingga, sesakit apapun Rasulullah di luar, Rasulullah akan masuk rumah dalam keadaan terhibur. Khadijah menjadi tempat Rasulullah merebahkan kepala dan jiwanya, seberat apa pun beban yang dibawa Rasulullah, Khadijah senantiasa ada menjadi sandarannya.

Itulah, meskipun banyak hak-hak pribadinya telah terampas untuk perjuangan dakwah Rasulullah. Khadijah tidak sekalipun mengeluhkan hal tersebut.
Sehingga ketika Khadijah meninggal, Rasulullah mengalami kesedihan yang sangat mendalam.
Khadijah meninggal dunia setelah masa pemboikotan di Makkah, ia ikut tinggal selama 3 tahun di tenda pemboikotan. Hartanya dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin dan kelurga bani hasyim yang di boikot selama 3 tahun tersebut.
Dan selama itu pula tudak ada keluhan sama sekali dari khadijah. Tidak ada sama sekali catatan sejarah tentang keluhan khadijah kepada Rasulullah, yang ada hanyalah senyuman untuk Rasulullah.

Semakin besar tantangan, cobaan dan penderitaan dalam hidup. Khadijah menjadi pribadi yang semakin baik dan semakin baik.

Sehingga sosok khadijah tidak pernah hilang dalam ingatan Rasulullah bahkan sampai membuat Aisyah cemburu.
Banyak wanita yang singgah di hati Rasulullah, namun ruang kosong yang ditinggal Khadijah tak pernah terisi oleh yang lainnya.

Bahkan Khadijah mendapatkan kabar lansung dari malaikat Jibril bahwa ia akan mendapatkan rumah di surga yang dindingnya terbuat dari mutiara yang di dalamnya tidak ada kebisingan dan kelelahan.

Lihatlah bahwa sesungguhnya setiap balasan sejenis dengan amalannya. Balasan bagi khadijah adalah rumah yang tidak ada kebisingan dan kelelahan, karena ketika di dunia ia rela menerima semua pengaduan suaminya. Khadijah mendengarkan dengan penuh kesabaran dan ia pun telah maksimal berlelah-lelahan untuk melayani suaminya. Khadijah lansung yang melayani suaminya. Menyiapkan makanan dengan tangannya sendiri.

Sehingga ketika Rasulullah pulang membawa masalah sebesar apapun, maka akan hilang semua ketika ia bersama khadijah.

Kembali kepada kisah istri Nabi Nuh, berbeda dengan khadijah yang sepenuhnya menjadi sandaran bagi suaminya istri Nabi Nuh sama sekali tidak mendukung kebaikan suaminya. Selama 950 tahun berdakwa tidak ada yang menjadi sandara bagi Nabi Nuh ketika ia berada di dalam rumahnya. Begitu berat jalan dakwah Nabi Nuh.

Nabi Nuh adalah sumber cahaya namun istrinya justru berada dalam kegelapan karena ia tidak mau mengambil cahaya dari suaminya maka inilah yang menjadi awal khianatnya istri Nabi Nuh.

Dengan kondisi demikian Nabi Nuh tetap sukses berdakwa sebagai Rasul selama 950 tahun tanpa istrinya yang dapat dijadikannya sebagai sandaran.


Nabi Nuh ‘alahissalam sebagai Ayah

Sebagaimana dikisahkan bahwa anak dari Nabi Nuh ada yang kafir, dan ini tidak lain juga karena pengaruh dari kekafiran ibunya. Karena ibu memiliki pengaruh yang besar bagi anak.

Ingatkah kita kisah Nabi Ibrahim yang rela melakukan perjalanan jauh dari Palestina ke Makkah, karena Nabi Ibrahim tidak ridho dengan istri anaknya (Ismail) sehingga Nabi Ibrahim rela melakukan perjalanan jauh untuk mengganti istri anaknya. Karena Nabi Ibrahim sadar betul pentingnya peran istri untuk melahirkan generasi terbaik, karena Nabi Ibrahim tahu bahwa dari keturunan ismail nantinya akan lahir generasi terbaik yang lahir dari rahim-rahim wanita yang baik.

Kisah kedua yaitu dari Mimpi Nabi Yusuf yang melihat 11 bintang, bulan dan matahari.
Ditafsirkan bahwa 11 bintang itu adalah saudaranya, bulan adalah ibunya dan matahari adalah ayahnya.

Mari kita tengok surat Al-Baqarah ayat 17 agar kita faham mengapa ibu diibratkan bulan dan ayah sebagai matahari.

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Nuur artinya cahaya (secara umum) contohnya seperti bulan,
Naar artinya cahaya yang ada panasnya,
Dhiya‘ artinya sinar yang ada apinya contohnya seperti matahari.

Orang munafik Allah ambil Nuur-nya, sehingga kondisi mereka seperti berjalan tanpa arah dalam gelapnya kesesatan mereka sedang mereka tidak menyadarinya, dan tidak ada harapan bagi mereka untuk keluar dari kondisi tersebut, menyerupai kondisi sekelompok orang disaat malam gelap gulita.

Sehingga kita tahu bahwa cakupan cahaya nuur itu lebih luas. Maka begitulah ibu pengaruhnya sangat luas dan besar kepada anak, sehingga kehadiran istri tidak dapat digantikan oleh suami.

Banyak ulama-ulama besar lahir dalam keadaan yatim. Tidak ada masalah pengasuhan karena masih ada nuur. Tidak ada orang hebat yang ditinggal ibunya, kecuali ada pengganti ibunya.
Nabi Muhammad shallallahualaihi wa sallam saja memiliki tiga ibu pengganti yaitu Halimah asy sya’diyah, Ummu Aiman, san Fatimah binti Asad. Yang ketiganya adalah wanita pilihan yang beriman kepada Allah Ta’ala.

Disetiap lahirnya ulama besar ada wanita hebat di belakangnya.

Karenanya, kehadiran istri jauh lebih penting dari kehadiran suami namun dengan syarat bahwa cahaya dari suami sudah sampai kepada sang istri.

Wanita yang bermasalah, kemungkinan akan memunculkan anak yang bermasalah.

Pertanyaan selanjutnya, apakah anak-anak Nabi Nuh yang menjadi nenek moyang kita lahir sebelum peristiwa banjir atau setelahnya?

Mari kita buka surat As-Shoffat ayat 77,

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.

هُمُ الْبَاقِينَ :
Artinya bertahan dan memiliki keturunan.

Allah memuliakan Nabi Nuh dengan menjadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan hingga hari kiamat.

Selanjutnya dalam surat Al-Isra’ ayat 3,

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.

Artinya anak-anak Nabi Nuh yang beriman sudah ada di bahtera, artinya mereka audah terlahir sebelum peristiwa banjir besar yang menenggelamkan orang-orang kafir.

Sehingga dari ayat-ayat di atas kita ketahui bahwa hanya satu anak Nabi Nuh yang kafir sedangkan anak-anak yang lainnya beriman.
Betapa berat tugas Nabi Nuh yang ia tidak hanya menjalankan peran sebagai ayah namun juga sebagai ibu ketika berdakwa pada keluarganya.

Sebagai suami yang tak memiliki sandaran di rumahnya, Nabi Nuh menjadi ayah yang sukses menjadi ayah dengan segala kondisi yang tidak ideal. Ia menjadi ayah yang sukses karena banyak anaknya yang beriman.

Lalu apa penyebab satu anak Nabi Nuh menjadi kafir?
Mari kita tengok surat Hud ayat 36-37,
وَأُوحِيَ إِلَىٰ نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.

Allah mengabarkan kepada Nabi Nuh bahwa tidak akan ada yang beriman lagi dari kaumnya setelah mereka (yang telah beriman kepada Nabi Nuh). Ini terjadi setelah beliau mendakwahi kaumnya selama seribu kurang lima puluh tahun (950 tahun). Tidak akan ada yang beriman lagi dari kaum mu, oleh karena itu (فلا تبتئس) jangan gusar dan sedih atas apa yang telah mereka lakukan, berupa keburukan, kerusakan, ingkar, dan maksiat, Aku akan menyelamatkan mu dan orang-orang bersama mu dari kalangan orang-orang beriman, dan Aku akan menenggelamkan mereka.

Firman-Nya (و اصنع الفلك بأعيننا و وحينا) Kami perintahkannya untuk membuat sebuah bahtera di bawah pengawasan dan petunjuk Kami. Karena pada masa ia tidak tahu apa itu kapal dan bagaimana cara membuatnya. Firman-Nya (و لا تخاطبني في الذين ظلموا) Jangan engkau minta kepada-Ku untuk menyelamatkan mereka dari azab, tidak pula engkau memberi pertolongan agar Aku meringankan azab bagi mereka. Karena Kami telah menetapkan kehancuran bagi mereka dengan Ath-Thuufaan (banjir besar) sehingga mereka pasti tenggelam.

Kemudia kita menengok surat Hud ayat 39-40,

فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ

Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ آمَنَ ۚ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.

Yang Allah perintahkan untuk diikutkan ke dalam bahtera adalah :
1. Orang-orang yang beriman dari keluarga Nabi Nuh
2. Hewan-hewan yang berpasangan (jantan dan betina).
3. Kaum Nabi Nuh yang telah beriman.

Kemudian kita tengok surat Hud ayat 42,
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”.

Dari ayat di atas kita bisa mengetahui bahwa salah satu penyebab kekafiran anak Nabi Nuh adalah berkumpulnya ia bersama orang-orang kafir.
Berhati-hatilah ketika orang baik berkumpul dengan orang yang tidak baik karena kerusakan/kejelekannya bisa menular.

Pelajaran bagi kita tentang konsep pentingnya memilihkan teman bagi anak-anak kita. Karena teman yang buruk akan merusak pendidikan yang sudah kita berikan kepada anak kita.

Selanjutnya kisahnya berlanjut dalam surat Hud ayat 43,

قَالَ سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

حَالَ : penghalang
Haal bermakna penghalang, itulah mengapa haul dimaknai sebagai tahun yang menghalangi.

Jika kita tengok Al Baqarah ayat 233 tentang perintah menyusui kita akan menemukan kata حَوْلَيْنِ yang memiliki akar kata yang sama.
Jadi حَوْلَيْنِ bisa dimaknai dua tahun yang menghalangi, seakan ibu terhalangi oleh yang lainnya. Inilah pentingnya menyusui selama dua tahun. Tahun dimana seorang ibu diperintahkan untuk fokus pada menyusui dan pendidikan anak sehingga menghalangi ia dari aktivitas lainnya.
Sehingga yang disorot dalam ayat ini bukan Asinya namun proses menyusuinya, yaitu menyusui secara fokus.

Nabi Nuh tidak menyerah, sampai didetik terakhir ia tetap mendakwai anaknya. Sampai akhirnya anak Nabi Nuh yang kafir teenggelam, setelah itu Nabi Nuh berkata (Nabi Nuh menagih janji Allah tentang nasib anaknya) sebagaimana dalam surat Hud ayat 45 :

وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.

Nabi bertanya kepada Allah karena belum tahu nasib akhir anaknya apakah sudah beriman atau tetap kafir.
Kemudian Allah memberitahukan keadaan putranya sebagaimana firmanNya dalam surat Hud ayat 46,

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.

أَهْلِكَ :
Kata ‘ahlik‘ yang berasal dari kata ‘ahlun‘ mempunyai makna keluarga (dengan ikatan nasab).
Sedangkan jika memakai kata آل (aalun), maka maknanya jauh lebih dalam. Aalun bermakna kelurga dengan bukan hanya hubungan nasab namun juga ikatan keimanan (ada faktor keimanan).
Jika diayat 46 tersebut Allah berfirman dengan menggunakan kata ahlun maka maknanya hanya berhenti pada sekedar hubungan nasab saja, dan anak nabi Nuh tetap dalam keadaan kafir hingga akhir hayatnya.

Pelajaran :
1. Tidak ada manfaat ikatan nasab jika tidak ada ikatan iman, karena ikatan nasab kita di dunia adalah ikatan tanah maka ketika kita meninggal dunia selesailah ikatannya.

2. Di akhirat nanti tidak ada hubungan nasab yang ada adalah hubungan iman. Ikatan iman akan bertahan hingga di akhirat, maka jika kita ingin tetap berkumpul dengan keluarga kita hingga di akhirat maka pastikan semua anggota keluarga kita kokoh keimanannya.
Sebagaimana dalam surat At-Thur ayat 21, bahwa setelah meninggal kita bisa berkumpul dengan keluaga kita dengan ikatan iman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Kesimpulan :
Sebagai Rasul Nabi Nuh sukses berdakwa 950 tahun tanpa istri yang menjadikannya sebagai sandaran.
Nabi Nuh tanpa kehadiran istrinya ia pun sukse menjadikan anak-anaknya beriman. Adapun satu anak yang kafir karena pengaruh Ibu dan teman-teman berkumpulnya.

Maka setelah ini jangan sampai ada anggapan bathil dan sikap dzolim kita kepada Nabi yang mulia sang Ulul Azmi, bahwa Nabi Nuh adalah Nabi yang gagal dalam mendidik keluarganya.

Allahu a’lam…


Materi ini disampaikan oleh ustadz Ali Markasan, Lc dalam Kajian Dhuha Ramadhan di Masjid Darussalam Griya Tuga Asri Depok (07 Mei 2019).

**Catatan ini ditulis oleh Ambi Ummu Salman, jika ada kesalahan pencatatan murni kesalahan dari saya pribadi.

Add Comment