Bismillahirrahmanirrahim…
Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari adalah seorang imam dunia, amirul mukminin dalam bidang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemilik kitab hadits yang paling shahih di penjuru dunia sejak (kitab itu) ditulis dan akan tetap seperti itu sampai Allah mewarisi bumi dan seluruh isinya.
Siapakah sosok ibu yang melahirkan orang hebat ini? Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan-keutamaan besar yang melekat kepada anak itu adalah petunjuk terhadap keutamaan ayah dan ibunya, atau menunjukkan kesungguhan keduanya sebagai orangtua, atau paling tidak keduanya juga memiliki perhatian yang besar terhadap agama. Kelebihan yang menjadikan keduanya pantas mempunyai anak seorang Al-Bukhari dan pantas menjadi kedua orangtuanya.
Itulah yang sesungguhnya, rumah tempat Al-Bukhari lahir adalah rumah yang penuh ilmu, keistimewaan, dan pendidikan. Ismail (ayahanda Al-Bukhari) termasuk ulama hadits. Beliau sibuk mempelajari ilmu hadits dan berkeliling ke beberapa negara untuk mempelajarinya. Diceritakan bahwa ayah Al-Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Anas dan Hammad bin Zaid, sebagaimana beliau melihat Abdullah bin Al-Mubarak dan menjabatnya dengan kedua tangan beliau. Dari Ishaq bin Ahmad bin Khalaf, dia mendengar Al-Bukhari berkata, “Ayahku mendengar dari Malik bin Anas, melihat Hammad bin Zaid, serta menjabat Ibnu Mubarak dengan kedua tangan beliau.”
Ismail terkenal sebagai orang yang bagus penampilannya dan bekerja dengan sikap wara’. Beliau seorang pedagang yang melandasi perdagangannya dengan ilmu dan mengedepankan sikap wara’-nya, sehingga harta yang diperolehnya adalah harta yang bersih dan baik.
Kehidupan Ismail bersama sang putra, Muhammad, tidak berlansung lama karena Ismail meninggal dunia sedangkan sang putra baru berusia beberapa tahun. Tatkala beliau berada di ranjang kematian, beliau memanggil putranya lalu berkata kepadanya, “Aku tinggalkan untukmu sejuta dirham. Aku tidak mengetahui adanya satu dirham yang haram dan tidak pula yang syubhat.” Kita bisa membayangkan ilmu yang dimiliki oleh Ismail, ayah Al-Bukhari, sehingga bisa menegaskan hal demikian. Bukan saja harta beliau tidak dimasuki satu dirham pun yang haram, bahkan yang syubhat.
Kita patut menjadikan ucapan ini sebagai inspirasi dan menjadikan kalimat ini sebagai bagian dari penentu keunggulan Al-Bukhari. Harta yang halal dan jernih membuat keajaiban pada tubuh; jasmani maupun rohani. Kemudian, harta ini semuanya diproyeksikan oleh sang ayah untuk mengajarkan ilmu kepada anaknya. Dan benar, ayah Al-Bukhari membelanjakan harta itu untuk membiayai perjalanan Al-bukhari ke berbagai negeri untuk mendengar hadits Rasulullah dan mempelajarinya.
Itulah peranan ayahanda Al-Bukhari. Pantaslah orang semisal beliau mempunyai putra yang berkedudukan seperti Al-Bukhari. Hal serupa akan kita jumpai dalam lembaran kehidupan sang ibu yang hebat.
Kekuatan Doa Ibunda Al-Bukhari
Al-Bukhari tumbuh dalam keadaan yatim, dalam pengakuan sang ibu yang memperhatikan pengasuhan dan pendidikannya, lantas Al-Bukhari bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia 7 tahun. seakan-akan telah menjadi sunnatullah yang berlaku bagi para ulama, bahwa mereka tumbuh dalam keadaan yatim, begitu juga pada orang-orang hebat, bahkan pada para nabi.
Ahli sejarah menyebutkan hal yang menakjubkan yang terjadi pada Al-Bukhari rahimahullahu ketika kecil. Mereka menyebutkan bahwa penglihatan Al-Bukhari kecil terkena musibah hingga mengalami kebutaan. Kemudian ibunya bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim Al-Khalil alaihissalam yang berkata kepadanya, “Wahai ibu, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengembalikan penglihatan putramu karena banyaknya tangis dan doamu.” Ahmad bin Al-Fadlal Al-Bakhi perawi kisah ini berkata, “Paginya kami mendapati Allah telah mengambalikan penglihatannya.”
Inilah Ibunda Al-Bukhari, sudah tentu anugerah Al-Bukhari berupa ilmu dan pengalamannya, rezeki beliau berupa hadits dan adab, tidak diragukan lagi bahwa kejadian yang semisal yang dialami oleh Al-Bukhari kecil bisa menghilangkan akal sehat seorang laki-laki yang teguh dan pintar, lalu bagaimana kiprah seorang perempuan yaitu ibunya? Padahal luka di wajah saja sudah cukup menjadikan para ibu berduka, lalu apa harapan yang bisa dilakukan ketika mata ang putra buta dan hilang penglihatannya dalam keadaan seperti ini?
Akan tetapi, ibunda Al-Bukhari (yang memang pantas menjadi ibu untuk Al-Bukhari) tidak mengeluh dan putus asa. Dia bangun memintakan keperluannya kepada Zat yang mengijabahi semua hajat orang-orang yang meminta kepada-Nya. Dia merendah diri, berdoa dengan sepenuh hati, menangis, dan mengetuk pintu Rabb-Nya, berbisik, berdoa, dan menyeru, sampai Allah mengijabah doanya dan mendengar tangisnya.
Terkadang sang ibu yang pengasih ini mengantuk atau bahkan tertidur pulas karena usaha kerasnya, merasakan capek sehingga tertidur. Lalu dia bermimpi mendapat kabar gembira kesembuhan putranya dan Allah mengembalikan penglihatannya, dia tidak hanya melihatnya sembuh dan putranya bisa melihat, padahal itu sudah cukup menjadi kabar gembira untuknya, akan tetapi dia juga bertemu dengan Nabi Allah dan kekasih-Nya, Nabi Ibrahim.
Dalam hal ini, terdapat pelajaran untuk siapa saja bahwa doa dan harapan itu bermanfaat, didengar, dan diijabahi. Begitu juga pelajaran tentang keutamaan merendah diri dan menangis di hadapan Zat yang kepada-Nya semua wajah tertunduk sujud. Semua perkara berada dalam kekuasaa-Nya dan semua urusan tergantung perintah-Nya; semua kekuasaan adalah kekuasaa-Nya, dan sungguh apabila Dia menghendaki sesuatu, cukup dengan berkata “jadilah!” maka jadilah sesuatu.
Inilah beberapa kemuliaan yang menyelimuti pibadi Ibunda Al-Bukhari,
- Kemuliaan dari Allah karena berkenan mengembalikan penglihatan sang putra.
- Kemuliaan bersandar serta merendahkan diri pada Rabbnya
- Kemuliaan bermimpi berjumpa kekasih Allah
- Kemuliaan didatangi utusan Allah dalam mimpi untuk memberi kabar kembira kesembuhan putranya
- Kemuliaan menyingkap tentang kesempurnaan karir ukhrawi dengan kesuksesan langkahnya dan langkah putranya sejak awal. Ini semua merupakan gambaran kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Kilau cahaya yang kami dapatkan dalam biografi ayahnya mendorong kami untuk mengatakan, pantaslah ayah yang demikian memiliki anak laki-laki seperti Al-Bukhari. Maka kemuliaan Ibunda Al-Bukhari mendorong kami untuk mengulang kesimpulan ini tentang pribadi ibunya, kami mengatakan, “Pantaslah ibu yang demikian memiiki seorang putra seperti Al-Bukhari.”
Ibunda Al-Bukhari memainkan perannya sebagai ibu dan ayah sekaligus dalam membesarkan dan mengajarkannya. Dia membesarkan dan mendidik dengan pengasuhan dan pendidikan yang baik. Dia juga mendampinginya mencari ilmu. Ketika Ummu Al-Bukhari melihat bahwa putranya telah mengumpulkan pengetahuan yang diperoleh dari para ulama di negerinya. Dia pergi ke Makkah untuk memperluas samudera keilmuannya dan meneguk sungainya. Maka Ibunda Al-Bukhari pun mengajak putranya yang berusia enam belas tahun pergi ke Mekkah. Mereka menunaikan kewajiban berhaji bersama Al-Bukhari dan seorang saudaranya. Kemudian Ibunda Al-Bukhari dan saudaranya pulang, sedangkan Al-Bukhari ditinggalkan untuk menuntut ilmu.
Marilah kita simak Al-Bukhari menuturkan kisahnya, seperti yang ditanyakan oleh Muhammad bin Abi Hatim kepadanya, dia berkata, “Bagaimana awal kisahmu menuntut ilmu?”
Al-Bukhari berkata, “Saya terinspirasi untuk menghafal hadits saat saya berada di kuttab.”
“Berapa umurmu waktu itu?”
“Sepuluh tahun atau kurang.” Jawab Al-Bukhari.
“Kemudian saya meninggalkan kuttab itu setelah usia sepuluh tahun. setelah itu saya belajar kepada Al-Dakhili dan lainnya. Pada suatu kesempatan Ad-Dakhili membacakan hadits kepada kami, beliau berkata, ‘Dari Sufyan, dari Abu Zubair, dari Ibrahim.’ Saya katakan padanya, ‘Abu Az-Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.’ Beliau agak marah kepadaku. Maka saya berkata kepadanya, ‘Kembalilah ke asal sanadnya.’ Beliau pun masuk dan memastikannya. Lalu keluar dan dia berkata kepadaku, ‘Bagaimana sanad yang benar, Nak?’
Saya berkata, ‘Dia adalah Az-Zubair bin Adidari Ibrahim’. Beliau lantas mengambil pena dari saya mengoreksi bukunya, dan berkata, ‘Kamu benar’.”
Dikatakan kepada Al-Bukhari, “Berapa usiamu pada waktu bertanya kepadanya?”
Al-Bukhari berkata, “Ketika itu saya berumur sebelas tahun. ketika saya memasuki usia enam belas tahun, saya telah menghafal kitab-kitab Ibnu Mubarak dan Waki’. Saya memahami ungkapan-ungkapan mereka. Kemudian setelah itu saya pergi bersama ibu dan saudara laki-laki saya, Ahmad ke Makkah. Usai menunaikan ibadah haji, saudara laki-laki saya kembali bersama ibu, sedangkan saya tetap tinggal untuk mempelajari hadits. Ketika saya memasuki usia delapan belas tahun, saya mulai menyusun kitab tentang para sahabat dan tabiin beserta pendapat mereka. Itu di zaman Ubaidillah bin Musa. Setelah itu saya menyusun kitab tarikh di samping kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam-malam terang bulan. Hampir tidak ada peristiwa bersejarah kecuali saya memiliki kisah tentangnya. Hanya saja saya khawatir kitabnya menjadi terlalu tebal.”
Pada usia itu Al-Bukhari sudah berkeliling dunia untuk mencari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengumpulkannya. Al-Bukhari melakukan perjalanan ke Madinah, Iraq, Marw, Naisabur, Balkh, Ray, dan Mesir hingga berguru pada 1080 syeikh. Dia menulis ilmu dari mereka, semuanya adalah ahli hadits dan sunah.
Ibu yang Tidak Kikir
Kita kembali mengingat bahwa hal yang membantu Al-Bukhari bisa keliling dunia ke berbagai negari adalah harta yang ditinggalkan ayahnya rahimahullah. Ayahnya meninggalkan istri, anak-anak, dan harta, maka sang ibulah yang mengatur uang, lalu mengarahkan anak-anaknya untuk mencari ilmu dan membelanjakan uang itu untuk mereka. Ia jadikan uang itu sebagai sarana pendidikan anak-anaknya dan ia tidak merasa sayang pada hartanya. Jika kita memperhatikan hal ini, kita akan melihat dalam dari ibu yang terhormat ini ada karakteristik kebaikan dan kesempurnaan. Dia tidak hendak menyimpan kekayaannya, atau takut uang itu habis tak tersisa di jalan ilmu.
Ibunda Al-Bukhari tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang sekarang, “Saa menyimpannya untuk masa depan mereka, jika kelak merea dewasa, atau aku tidak akan menghabiskannya sekarang.” Akan tetapi ia mengeluarkan semua biaya yang dibuthkan saat itu juga untuk pendidikan anaknya di dalam negeri, bahkan ibunya membawa Al-Bukhari ke sumber ilmu dan tempat berkumpulnya para ulama, Makkah Al-Mukarramah agar ia bisa belajar lansung dari pemilik lisan bahasa Arab. Bagaimana tidak? Dia adaah orang yang memotivasi, membersamainya dalam perjalanan, memperhatikan, dan mengiringi semua harapannya. Harapan itupun telah terpenuhi. Bahkan mungkin Ibunda Al-Bukhari akan terkejut dengan anugerah besar itu jika dia msih hidup. Atau mungkin beliau sudah melihat tanda-tanda kegemilangan itu sejak awal perjalanan.
Apa yang dilakukan oleh Ibunda Al-Bukhari, tak setiap ibu mampu dan kuat melakukannya. Kecuali ibu yang benar-benar tulus dan berbakti, yang menyerahkan anaknya kepada Allah dan memberi dorongan untuk menempuh jalannya.
Membaca biografi Ibunda Al-Bukhari meskipun sangat singkat mengingatkan kita pada satu hal yang sangat penting, bahkan merupakan pilar fundamental dalam mencetak kadar ulama dan para pemimpin, yaitu kesalehan seorang ibu, komitmen, dan kedekatannya dengan Rabb-nya. Maka kesalehan kedua orangtuanya itu berpengaruh besar untuk anak-anak mereka. Allah berkalam tentang alasan menyelamatkan harta anak yatim,
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا
“… Dan orangtua keduanya itu adalah orang sholeh…” (Qs. Al-Kahfi: 82)
Sangat menarik untuk ditatat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menjaga harta orangtua yang sholeh itu melalui dua nabi mulia, Musa dan Khidir.
Poin penting lainnya adalah penggunaan “senjata” berupa doa; sang ibu memohon kepada Allah agar menolongnya merealisasikan cita-cita, memohon jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Tak ada jalan yang lebih singkat dan mudah tatkala Allah “turun tangan” dalam pertolongan. Tak ada yang lebih berliku dan rumit tatkala Allah menghalangi. Seperti dikatakan dalam peribahasa.
“jika pertolongan Allah tiada bersama seorang pemuda, maka yang ia dapatkan hanyalah kepayahan belaka.”
Oleh sebab itu, para ibu yang ingin meraih cita-cita yang tinggi dalam mendidik dan mengajari anak-anaknya hendaknya tidak meremehkan doa yang penuh kerendahan dan terus menerus kepada Allah, dengan memohon bimbingan, kebenaran dan ketepatan.
Kisah tentang kebutaan Al-Bukhari kemudian Allah menjadikannya bisa melihat kembali berkat doa ibunya dan merendah diri kepada Allah adalah bukti paling nyata tentang kemuliaan sang ibu di sisi Allah. Dan pertanda bahwa senjata para ibu yang paling ampuh untuk mencapai tujuannya, yang dengannya ia mampu mengubah wajah dunia dan jalan hidup adalah doa.
Tentang kemuliaan kedudukan Al-Bukhari tidak seorang pun yang tidak mengakuinya. Kita bisa menceritakannya. Tidak perlu banyak pembuktian untuk menjelaskan kedudukannya, karena orang yang sudah terkenal tidak perlu diperkenalkan.
Sebagai penutup, kami sebutkan beberapa pelajaran yang sudah disinggung sekilas, mudah-mudahan para ibu kaum muslimin bisa mengambil pelajaran sebagai bekal untuk mendidik anak-anak mereka,
- Dalam komentar Al-Bukhari tentang “kuttab”, tempat dia menghafal Al-Qur’an, di sana ia terilhami kecintaan pada sunah dan hadits dalam dirinya. Jangan pernah meremehkan lembaga tradisional ini. sebaiknya para ibu mempercayakan masa depan anak kesana untuk mendapatkan keberkahannya. Betapa mumpuni, penuh berkah dan hebat lembaga macam ini. semoga Allah melimpahkan berkah pada orang-orang yang masih melestarikannya, orang-orang yang masih mempercayakan putra-putrinya, dan memperbarui perjanjian dan kepercayaan mereka bersama.
- Al-Bukhari sudah menyelesaikan halafan Al-Qur’an pada usia 7 tahun. Sudah mulai mempelajari As-Sunnah dan menghapalnya dalam usia kurang dari 10 tahun. memulai perjalanan mencari ilmu ke luar wilayah, bahkan ke luar negeri pada usia 16 tahun. lalu menulis buku karya perdananya dua tahun kemudian, ketika dia berusia 18 tahun. perhatikanlah deretan usia ini, minat anak-anak dan remaja, serta pencapaian mereka. Abaikan segala ungkapan-ungkapan aneh yang sering diperdengarkan sebagian orang, seperti, “Jangan menekan anak-anak! Jangan menyia-nyiakan bakat mereka dengan sibuk menghafal saja!” Kalimat-kalimat semacam ini adalah kebiasaan Barat yang melatih orang untuk terbiasa melakukan sesuatu tanpa pemahaman atau kesadaran. Prestasi yang ditorehkan oleh Imam Al-Bukhari pada usia ketika itu, jika dibandingkan dengan saat ini, maka hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah berumur dua kali lebih tua untuk memperoleh gelar ilmiah yang mentereng, itupun baru seper seratus dari apa yang telah dicapai oleh Al-Bukhari.
- Terakhir, tentang perhatian dan cita-cita para ibu yang mulia pada masa itu. sehingga dari cita-cita mulia itu lahirlah generasi dan alumni seperti yang kita ketahui. Lihatlah, wahai ibu yang beriman, berapa banyak kebaikan yang mereka dapatkan? Berapa banyak pahala yang bisa mengangkat derajat mereka karena manfaat sang anak bagi manusia seluruh dunia, tentu selain dari menjadi manusia yang dikenang di seluruh alam. Mahasuci Allah. Mereka membumbung tinggi di dunia dan akhirat. Semoga Allah merahmati Imam Bukhari dan Ibundanya. Keselamatan untuk keduanya dalam kekekalan. Aamiin.
Ambi Ummu Salman (Depok, 19/01/2022)
Sumber: Syeikh Ahmad Al-Jauhari Abdul Jawwad, Ibunda Para Pengubah Wajah Dunia (Kisah Kebanggaan Pendidikan Islam), Zaduna