Bismillahirrahmanirrahim…
Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada hamba-Nya untuk mencintai Rasul-Nya; menutup semua jalan menuju surga-Nya kecuali dengan mengikuti jalan yang dilalui beliau, yang dadanya telah dilapangkan dan dihilangkan bebannya oleh-Nya, yang niscaya Dia menghinakan siapa saja yang menyelisihinya.
Para Sahabat yang mulia mengamalkan segala konsekuensi cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; meskipun mereka harus mengorbankan ayah, ibu, dan anak-anak sendiri demi melindungi beliau. Mereka bersedia berperang demi membela beliau, mengibarkan setinggi-tingginya panji Islam, memuliakan sunnah serta mempertahankan syari’at beliau.
Di saat Nabi wafat, agama Islam sudah tersebar ke hampir seluruh Jazirah Arab. Bendera tauhid berkibar di seluruh wilayah tersebut. Para Sahabat yang mulia serta para Tabi’in meneruskan dakwah dan perjuangan Nabi itu, menaklukkan negeri-negeri dan membuka hati para hamba Allah dengan kalimat la ilaha illallah. Maka tampak jelas tanda-tanda kejujuran (ketulusan hati) dan kecintaan para Sahabat ini, juga generasi setelah mereka.
Sungguh kaum muslimin perlu menunjukkan beberapa sikap yang mencerminkan keimanan yang mengukuhkan tekad kuat dalam upaya meneladani Rasulullah, yang bisa bersegera mengikuti sunnahnya dan melaksanakan syari’at-Nya
Cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari keimanan. Bukti cinta kepada Rasulullah adalah dengan mengikuti sunnah dan melaksanakan syari’at-Nya sebagaimana itu juga termasuk bagian terpenting dari cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Banyak dalil dari al-Qur’an serta sunnah Nabi yang menunjukkan kewajiban mencintai Rasulullah melebihi cinta kita kepada orang tua, anak-anak, dan seluruh manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
Katakanlah: “jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At-Taubah: 24)
Kini kita akan menyelami dan/atau menyusuri kehidupan Sahabat yang istimewa. Seseorang yang kecintaan dan kepercayaannya kepada Rasulullah mencapai taraf yang luar biasa.
Sahabat mulia ini bernama Khuzaimah bin Tsabit bin al-Fakih bin Tsa’labah bin Sa’idah. Ia seorang yang faqih yang dikenal dengan julukan Abu Ammarah al-Anshari al-Khathami al-Madani, yang kesaksiannya sebanding dengan dua orang saksi.
Ada yang berpendapat bahwa dia sempat mengikuti Perang Badar; namun yang benar hanya mengikuti perang uhud dan perang-perang setelahnya. Ia pernah menjadi salah seorang komandan pasukan Ali, lalu mati syahid para Perang Shiffin.
Khuzaimah, pembawa panji Perang Bani Khathmah dan ikut andil dalam Perang Mu’tah, terbunuh pada tahun 37 H.
Kemuliaan Yang Hakiki
Standar penilaian para pecinta dunia itu berbeda dengan standar penilaian orang-orang beriman. Kalau pecinta dunia membanggakan kenikmatan duniawi yang fana, kita mendapati orang-orang beriman membanggakan sesuatu yang lebih utama yang tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak para pecinta dunia.
Dari sini, saya hendak mengajak para pembaca meraih kemuliaan hakiki melalui kisah berikut.
Anas menceritakan: “Dua suku terbesar dari kaum Anshar saling membanggakan diri masing-masing. Suku Aus berkata: ‘Di pihak kami ada orang yang jenazahnya dimandikan Malaikat, yaitu Hanzhalah bin ar-Rahib; ada yang ketika meninggal dunia Arsy Allah bergetar, yaitu Sa’id; ada juga yang jenazahnya dijaga sekawanan lebah, yaitu Ashim bin Abul Aqlah; dan di antara kami ada yang kesaksiannya sebanding dengan kesaksian dua orang, yaitu Khuzaimah ibnu Tsabit.”
Kesaksiannya Sebanding Kesaksian Dua Orang
Berikut kisah yang mengagumkan itu, agar Anda bisa mengetahui bagaimana kesaksian Khuzaimah dapat sebanding dengan kesaksian dua orang laki-laki.
Dari az-Zuhri, dia bercerita: “Umarah bin Khuzaimah al-Anshari berkata kepadaku bahwa pamannya-salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan kepadanya; Bahwa Rasul pernah membeli seekor kuda dari seorang Badui, kemudian beliau memintanya supaya si Badui itu mengikuti guna menyelesaikan pembayarannya. Nabi mempercepat langkah kakinya sementara orang Badui itu memperlambat jalannya. Kemudian beberapa orang datang kepada si Badui untuk bertransaksi (tawar-menawar harga) atas kudanya, mereka tidak mengetahui kalau Nabi telah membelinya, sampai salah seorang dari mereka memberi tawaran melebihi harga pembelian Nabi.
Orang Badui itu pun memanggil Nabi dan berkata: ‘Kalau engkau ingin membeli kuda ini, silahkan beli; apabila tidak, aku akan menjualnya.’ Ketika mendengar panggilan si Badui itu, Nabi bersabda: ‘Bukankah aku telah membelinya darimu?’ Orang Badui itu berkata: ‘Tidak, demi Allah, aku tidak menjualnya kepadamu.’ Nabi bersabda: ‘Ya, aku telah membelinya darimu.’ Orang-orang mengerumuni Nabi dan orang Badui yang saling menyanggah itu, lantas di Badui berkata: ‘Datangkan satu saksi jika benar aku telah menjualnya kepadamu.’
Orang-orang dari kaum muslimin yang datang ke tempat itu berkata kepada si Badui: ‘Celakalah kamu, sesungguhnya Nabi tidak pernah mengatakan sesuatu kecuali kebenaran.’ Hingga akhirnya datanglah Khuzaimah dan mendengar perdebatan antara Nabi dan orang Badui tadi. Saat orang Badui itu berkata: ‘Ayo, datangkanlah seorang saksi jika aku benar-benar telah menjual kepadamu!’ Khuzaimah berseru: ‘Aku bersaksi bahwa kamu telah menjualnya kepada beliau!’
Mendengar penyataan demikian, Nabi menghampiri Khuzaimah dan bertanya: ‘Atas dasar apa kamu memberi kesaksian?’ Khuzaimah menjawab: ‘Atas dasar pembenaranku atas engkau, wahai Rasulullah.’ Lalu Rasulullah menjadikan persaksian Khuzaimah sebagai persaksian dua orang.”
Diriwayatkan dari beberapa jalur tentang hadits ini; Bahwa Nabi bertanya kepada Khuzaimah: ‘Atas dasar apa kamu memberikan kesaksian, padahal saat itu kamu tidak hadir bersama kami?’ Dan ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku membenarkan segala berita dari langit yang engkau sampaikan, lalu mengapa aku tidak membenarkan apa yang engkau katakan selainnya?”
Al-Khaththabi mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi memutuskan perkaranya dengan orang Arab Badui itu berdasarkan pengetahuan beliau. Nabi adalah orang yang selalu berkata benar dan senantiasa berbuat baik. Kesaksian Khuzaimah di sini kedudukannya sebagai penguat perkataan Nabi, sekaligus sebagai bentuk pembelaan atas lawan bicara beliau. Hingga, kesaksian Khuzaimah berdasarkan sabda Nabi seperti kesaksian dua orang laki-laki dalam semua perkara; semoga Allah merahmatinya.
Melaksanakan Perintah Nabi
Ketika para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Nabi menjadikan kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang, maka mereka lansung menerapkan ketetapan beliau itu.
Zaid bin Tsabit saat mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, dia tidak menetapkan suatu ayat pun kecuali dengan kesaksian dua orang adil dari Sahabat Nabi. Ketika mengetahui bahwa kesaksian Khuzaimah sama dengan dua orang saksi, dia lansung menerima ayat al-Qur’an darinya, cukup sengan kesaksian dirinya sendiri.
Dsri Kharijah bin Zaid, dia menceritakan Zaid bin Tsabit berkata: “Kami kehilangan satu ayat dari surah Al-Ahzab saat menyalinnya. Aku mendengar ayat itu lansung dari Rasulullah ketika dibacanya, namun aku tidak mendapatinya kecuali pada Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari yang kesaksiannya dijadikan oleh Rasulullah sama dengan kesaksian dua orang. Ayat tersebut adalah:
مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا۟ مَا عَٰهَدُوا۟ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا۟ تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (Qs. Al-Ahzab: 23)
Terwujudnya Impian Mati Syahid
Khuzaimah radhiyallahu ‘anhu menjalani kehidupannya dengan banyak menunaikan ibadah, puasa, dan jihad di jalan Allah. Ia selalu mencari mati syahid di setiap peperangan yang diikutinya supaya menjadi akhir (penutup) yang baik bagi hidupnya. Dan akhirnya cita-citanya itu tercapai pada perang Shiffin.
Pada perang itulah ia meraih mati syahid menyusul Nabi dan para Sahabat di Surga dengan penuh persaudaraan, di atas dipan-dipan dan saling berhadapan.
Semoga Allah meridhoi Khuzaimah bin Tsabut dan Seluruh Sahabat.
Allahu a’lam…
Ambi Ummu Salman
Sumber: Ensiklopedi Sahabat Jilid 3, Mahmud Al Mishri, Pustaka Imam Syafi’i