Keteladan Orangtua dalam Konsep Pendidikan Islam

Bismillahirrahmanirrahim…

Keteladanan merupakan sarana pendidikan yang paling penting. Hal ini terjadi karena secara naluriah dalam diri anak ada potensi untuk meniru hal-hal yang ada di sekitarnya. Pada usia dini keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak. Segala yang dilakukan orang tua dianggapnya selalu benar dan paling baik. Maka secara otomatis anak akan mudah menirunya.

 

Proses peniruan biasanya terjadi pada anak usia dua tahun. Proses ini mengalami perkembangan yang luar biasa ketika anak berusia lima atau enam tahun. Akan tetapi proses itu akan berjalan seimbang ketika anak sampai pada akhir masa kanak-kanak. Peniruan ini bersumber dari kecintaan anak yang murni kepada orang tuanya. Berdasarkan kenyataan ini maka tidak benar konsep Freud dengan Oedypus Complex-nya yang menyatakan bahwa di dalam diri anak (laki-laki) terdapat kebencian dan kemarahan terhadap ayahnya karena dia sangat memuja ibunya. Pendapat Freud ini bertentangan dengan fitrah anak yang masih suci. Konsep-konsep sejenis konsep Freud ini hendaknya tidak dipakai sebagai pedoman oleh orang tua dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Karena konsep ini hanya mengantarkan orang tua pada proses pendidikan yang tidak benar.

 

Anak-anak belajar melalui keteladanan dan peniruan jauh lebih banyak daripada yang diperkirakan oleh orang tua. Anak terpengaruh terhadap perilaku ayahnya; mulai dari komunikasi dengan tetamgga, teman sejawat; yang biasanya tidak disadari oleh orang tuanya. Di samping itu kecenderungan-kencerungan psikologis orang tua juga menjadi kecenderungan anak. Oleh karena itulah, keteladanan yang baik sejak dini merupakan metode yang tepat dalam mendidikan Islam. Hal ini sejalan dengan akidah Islam yang tidak cukup diyakini dalam hati, akan tetapi harus juga direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Allah mencela orang yang berbeda antara perkataan dan perbuatan.

 

يـاَيـُّهَا الَّذَيـْنَ امَنُوْا لِمَ تَـقُوْلُـوْنَ مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. كَـبُرَ مَقْتـًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَـقُوْلُـوْا مَا لاَ تَـفْعَلُـوْنَ. الصف:2-3

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [Ash-Shaff : 2 – 3]

 

Dalam Shahih Bukhari-Muslim diriwayatkan dari Usamah ibn Zaid, dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ فَيَطْحَنُ فِيْهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ: أَيْ فُلَانٍ مَاشَأْنُكَ، أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَاآتِيْهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ

“Pada hari Kiamat, didatangkanlah seorang laki-laki kemudian dilemparkan ke dalam neraka hingga terburai isi perutnya. Lalu ia berputar-putar dalam neraka seperti keledai mengitari penggilingannya. Para penduduk neraka pun mengerumuninya seraya bertanya: ‘Wahai fulan, ada apa denganmu, bukankah engkau dahulu menyuruh kami berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan mungkar?’ Ia menjawab: ‘Aku menyuruhmu berbuat makruf, tetapi aku tidak mengerjakannya dan aku melarang engkau dari perbuatan mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya’.” (Muttafaq ‘Alaih)

 

Itulah peringatan Allah melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terhadap orang yang berlainan antara perkataan dan perbuatan. Kelak pada hari kiamat orang yang seperti itu akan ditunjukkan kejelekannya oleh Allah dihadapan orang yang mengikutinya, tentu juga termasuk anaknya.

Dalam kitab Musykilaatul Aabaa’i wal Ummahat disebutkan bahwa anak yang tumbuh dalam kondisi ayah yang munafik dan riya’ dalam beribadah dan bermal, maka kelak anak itu akan menjadi anak yang sulit untuk diarahkan ke jalan yang baik (Islam). Oleh karena itulah dalam mendidik anak secara dini yang diperlukan adalah keikhlasan, karena sesungguhnya tidak akan ada perbuatan yang lepas dari mata-mata syaiton kecuali dilandasi dengan keikhlasan.

 

Pada usia enam tahun anak akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan atas dasar perintah. Pada anak usia ini, nasehat saja tidak akan membuahkan hasil, tanpa diikuti dengan keteladanan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya keteladanan merupakan terjemahan lansung dari konsep yang bersifat abstrak. Yang terjadi di masyarakat kita saat ini adalah kesenjangan antara keyakinan dan nilai-nilai Islam dengan perbuatan sehari-hari. Agaknya, kondisi inilah yang menjadi tantangan orang tua dalam mendidik anaknya menjadi anak yang sholih. Setiap hari anak mendengar pelajaran yang baik dari gurunya, tetapi yang tertanam dalam diri anak bukan apa yang didengar tetapi gambaran yang ada di depan matanya. Pola perilaku anak merupakan cermin dari pola perilaku orangtuanya. Apabila perilaku orang tuanya baik, maka akan baik pula perilaku anaknya. Sebaliknya bila perilaku orang tua tidak baik, maka akan tidak baik pula perilaku anaknya.

 

Para ulama salaf seperti Umar bin Uthbah memperingatkan masalah ini terhadap guru anaknya. Beliau mengatakan bahwa pembenahan awal bagi seorang pendidik merupakan pembenahan awal juga bagi anak. Alasannya bahwa mata (hati) anak tertuju pada apa yang ada dihadapannya. Apa yang baik bagi anak adalah apa yang dikerjakan oleh pendidik, dan apa yang buruk bagi anak adalah apa yang ditinggalkan oleh pendidik. Anak-anak tidak dapat memahami konsep abstrak dengan mudah. Mereka tidak dapat menerima begitu saja nasihat dari gurunya tanpa ada contoh yang dapat dilihat lansung.

Maka demikian, jelaslah bahwa dalam pendidikan Islam yang dibutuhkan adalah keteladanan lansung, bukan hanya sekedar perintah dan larangan semata.

 

Sumber: Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, Adnan Hasan Shalih Baharits.

 

Depok, 27/02/2021

Ambi Ummu Salman

Add Comment