Kaidah Kedua dalam Kitab Qawaidul Hisan, Ibroh itu Diambil dari Keumumam Lafadz Bukan Kekhususan Sebab

Bismillahirrahmanirrahim…

Ibroh (Pelajaran) Itu Diambil dari Keumuman Lafadz Bukan Kekhususan Sebab

Kaidah ini bermanfaat sekali dalam memahami tafsir Al-Qur’an. Dengan memperhatikannya, seorang hamba akan mendapatkan kebaikan yang banyak dan ilmu yang melimpah. Sebalikanya jika ia mengabaikan kaidah ini maka akan luput darinya ilmu yang banyak (untuk membuka ilmu yang melimpah itu pintunya ada pada kaidah ini), ia akan jatuh pada kesalahan (salah dalam memahami ayat, salah dalam menerapkan ayat) dan juga ia akan mengalami keruwetan dalam pemahamannya (ia akan masuk dalam masalah yang ia sulit keluar dari masalah tersebut).

Kaidah ini telah disepakati oleh ulama peneliti dan ahli ushul fiqih dan lainnya, bahwa kaidah ini adalah kaidah yang pokok/baku.

Contohnya adalah dalam surat Al-Maidah ayat 28,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Asbabun nuzul ayat ini yaitu kisah seorang wanita dari bani mahzum yang mencuri kemudian sampai beritanya kepada Rasulullah maka perempuan itu dipotong tangannya sampai pergelangan.

Ayat ini berlaku umum untuk semua manusia baik laki-laki maupun perempuan yang mencuri, bukan hanya untuk perempuan yang menjadi sebab turunnya ayat ini.

Makanya dalam ayat ini ada kata السَّارِقُ yang bentuknya mudzakar (laki-laki) dan وَالسَّارِقَةُ yang bentuknya muannats (perempuan). Ini mengindikasikan bahwa ayat ini berlaku umum.

Bahwa ayat ini berlaku umum, tidak berlaku khusus dengan nuzulul ayat, dan ini adalah ijma’ ulama.

Lafadznya umum, sebabnya khusus, dan difahami umum secara ijma’.

Kembali kepada kaidah pada kitab ini.

Kapan saja kita memperhatikan kaidah ini dengan benar-benar memperhatikan dan berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, maka disitulah kita akan mengetahui bahwa apa yang dikatakan para mufassirin tentang asbabun nuzul itu hanyalah contoh untuk menjelaskan ayat itu. Jadi bukan sama sekali untuk menjelaskan makna-makna dari lafadz-lafadz dan ayat-ayat yang tercakup. Maka jika mereka mengatakan : “ayat tersebut diturunkan tentang masalah ini atau itu dan sebagainya,” maksudnya bahwa hal itu termasuk dalam kandungan ayat tersebut dan merupakan sebagian dari apa yang dimaksudkan dengan diturunkannya ayat itu.

Karena sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan sebagai petunjuk untuk generasi awal dan generasi akhir umat ini (berlaku umum untuk semua umat islam), dimanapun dan kapan pun mereka hidup di dunia ini.


(Jadi jika ada asbabun nuzul ayat antara satu mufassir dengan mufassir lainnya berbeda kita tidak akan bingung jika berpegang pada kaidah ini, karena apa yang disebutkan oleh masing-masing penafsir tadi hanya bentuk-bentuk contoh saja untuk menerangkan lafadz ayat tadi, bukan untuk menunjukkan lafadz ayat itu terbatas pada sebab turunnya ayat tersebut. Bahwa apa yang disebut para mufassir itu benar zemua sebagai contoh penafsiran ayat karena demikianlah pengamalan yang dicontohkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).


Allah memerintahkan kita untuk mentafakuri dan metadabburi Al-Qur’an. Kemudian ketika kita mentadabburi lafadz-lafadz yang umum dan memahami bahwa makna lafadz tersebut mengandung pengertian yang banyak, maka selayaknya tidak mengesampingkan sebagian makna-maknanya ini, sebab maknanya sepadan dan sepertinya tercakup / semisal dengannya.

Oleh sebab itu berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu : “Ketika kamu mendengar Allah Ta’ala berfirman : ‘Hai orang-orang yang beriman’…”.

(Ayat panggilan ini pertama kali turun untuk para sahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang beriman yang dimaksud disini adalah para sahabat. Lalu apakah panggilan ini khusus untuk para sahabat?, sehingga generasi seperti kita ini tidak termasuk yang dimaksud dalam panggilan ini?, tentu saja tidak demikian).

Maka selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata, “Maka simaklah baik-baik ayat itu dengan pendengaranmu, boleh jadi itu adalah kebaikan yang kamu diperintahkan padanya atau bisa jadi ada kejelekan yang kita dilarang darinya.

(Dengarkan baik-baik seakan kita termasuk yang dipanggil dalam ayat tersebut meskipun kita tidak menyaksikan sebab turunnya, seakan-akan kita menjadi khitob ayat tersebut).

Apabila kita menemukan Al-Qur’an bercerita tentang sifat dan asma Allah, yang berkaitan dengan kesempurnaanNya dan kebebasan-Nya dari segala kekurangan, maka tetapkanlah bagiNya segala pengertian yang sempurna itu sesuau dengan ketetapannNya dan sucikanlah Ia dengan segala tindak pensucianNya.

Jika kita menemukan keterangan dalam AlQur’an tentang rasul-rasul, hari kiamat, kitab-kitab dan tentang segala perkara yang telah dan akan terjadi, maka mantapkanlah keyakinan bahwa semuanya itu benar adanya sesuai hakikatnya, bahkan hal itu termasuk kebenaran yang paling tinggi nilainya. (“Dan siapa lagi yang lebih benar perkataannya selain Allah?”).

Dan apabila Al-Qur’an memerintahkan tentang sesuatu hal, perhatikan maknanya, tentang apa-apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam maknanya. Dengan demikian, kita akan mengetahui bahwa perintah dan larangan ditujukan kepasa seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, mengetahui ketentuan-ketentuan (batasan-batasan) yang diturunkan Allah kepada para RasulNya adalah sumber kebaikan dan keberuntungan. Sebaliknya, jika tidak mengetahuinya adalah sumber keburukan dan kerugian.

Maka, dengan memperhatikan kaidah ini, sangat membantu untuk mengetahui batasan-batasan wahyu yang diturunkan Allah kepada RasulNya, dan kemudian melaksanakannya. Sesungguhnya, Al-Qur’an telah menghimpun makna-makna dengan menggunakan lafadz yang paling jelas dan paling baik.

Allah Ta’ala berfirman :

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa ungkapan-ungkapan ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya. (Qs. Al Furqon : 33)

Mengenai hal tersebut akan lebih diperjelas cara penggunaannya pada kaidah selanjutnya.

Allahu a’lam

Depok, 01 Februari 2020