Bismillahirrahmanirrahim..
.
Sewaktu tinggal di perkampungan Bani Sa’ad, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami peritiwa pembelahan dada. Peristiwa ini terpapar secara gamblang di hadits yang diriwayatkan oleh Abu Na’aim dan kemudian di kutip Ibnu Katsir di kitab Tafsirnya. Adapun riwayat itu adalah sebagai berikut:
“Pengasuhku (saat masih kanak-kanak) adalah seorang perempuan dari Bani Sa’ad ibn Bakar. Suatu ketika, aku pergi bersama anak pengasuhku itu untuk menggembalakan kambing-kambing kecil kami. Saat itu kami tidak membawa bekal sama sekali. Maka aku pun berkata kepada anak pengasuhku, ‘Saudaraku, pulanglah ke rumah dan kembalilah ke sini dengan membawa bekal dari ibu kita.’
Saudaraku itu pun kembali ke rumah, sementara aku menggembalakan kambing-kambing kami. Baru saja saudaraku berlalu, tiba-tuba datang dua ekor burung berwarna putuh seperti burung elang. Satu diantara keduanya berkata, ‘Apakah ini orang yang kita maksud?’
‘Benar,’ jawab kawannya.
Lalu, keduanya menghampiriku, memegang tubuhku, dan menelentangkan diriku. Setelah itu, mereka membedah perutku, mengeluarkan hatiku dan membelahnya. Dari hatiku, keduanya mengeluarkan dua gumpal darah berwarna hitam. Lalu satu dari mereka berkata kepada yang lain, ‘Ambil air es.’
Sekejap kemudian keduanya telah sibuk mencuci perutku dengan air es. Sesudah itu, salah satu dari keduanya berkata lagi, ‘Ambil air dingin!’
Lantas keduanya pun mencuci hatiku dengan air tersebut. Setelah selesai yang satu berkata, ‘Ambil Sakinah!’
Maka, sesaat kemudian keduanya sibuk membelah hatiku. Setelah itu, satunya berkata, ‘Sekarang jahitlah kembali!’
Maka yang satunya segera menjahit hatiku dan menstempelkan tanda kenabian di atasnya. Berikutnya, yang seorang berkata kepada kawannya, ‘Taruhlah hati itu di piring neraca dan taruhnya seribu umatnya di piring neraca yang lain.’
Ketika melihat seribu orang itu berjungkit di atasku, aku merasa khawatir hatiku akan jatuh menimpa sebagian dari mereka. Namun, ia berkata, ‘Bila umatnya ditimbang dengannya, niscaya ia akan mengalahkan mereka.’
Lalu, keduanya pergi meninggalkanku. Setelah tersadar dengan apa yang terjadi, aku merasa sangat takut. Aku segera menemui ibuku (Halinah as-Sa’diyyah) dan mengabarkan kepadanya tentang peristiwa yang baru saja kualami. Mendengar ceritaku, ia malah menyangka bahwa aku telah kerasukan jin sehingga ia berkata, ‘Semoga Allah melindungimu…’
Setelah itu, ia bergegas-gegas mengeluarkan binatang tunggangannya dan menaikkanku ke atasnya. Ia pun naik dan duduk di belakangku hingga kami berjumpa dengan ibuku (Aminah). Sesampainya di hadapan ibu kandungku, ia berkata ‘Aku telah menunaikan seluruh amanat Anda dan tanggung jawabku terhadap anak ini.’
Setelah itu, ia menceritakan apa yang terjadi pada diriku. Namun, semua itu ternyata tidak membuat ibuku terkejut. Ibu kandungku bahkan berkata, ‘Ketika aku mengandungnya, aku bermimpu dari perutku ini keluar cahaya yang menerangi istana-istana di syam’.”
Imam muslim dalam kitab shahihnya juga pernah meriwayatkan kisah ini secara ringkas tanpa menyebutkan tempat terjadinya. Teksnya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan bunyinya sebagai berikut, “sesungguhnya Rasulullah telah didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam pada saat beliau bermain dengan anak-anak sebayanya. Lalu Jibril mengangkat tubuhnya, menelentangkannya, kemudian membedah tubuhnya untuk mengambil hatinya. Jibril mengeluarkan segumpal darah dari dalamnya seraya berkata, ‘Ini adalah tempat bersarangnya setan dalam tubuhmu.’
Setelah itu, Jibril mencuci hati itu di dalam baskom yang terbuat dari emas berisikan air zamzam. Kemudian ia merapatkannya kembali dan mengembalikannya ke tempat semula di tubuh Muhammad. Kemudian, ketika melihat tubuh Muhammad dibedah, kawan-kawan bermainnya bergegas pulang menemui ibu asuhnya. Mereka berkata kepadanya, ‘Muhammad telah dibunuh seseorang.’ Maka mereka pun pergi mencari Muhammad dan menemukannya dalam keadaan pucat pasi.”
Anas menuturkan, “Aku benar-benar pernah melihat jahitan di dada beliau.”
Beberapa rujukan peristiwa ini tidak menjelaskan usia Rasulullah pada saat peristiwa tersebut terjadi untuk pertama kalinya. Beberapa ulama yang menyebutkannya pun masih berselisih pendapat. Dari riwayat yang disampaikan Ibnu Ishaq misalnya, diketahui bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat rasulullah berusia 2 tahun lebih beberapa bulan. Alasannya, Halimah sempat berkata, “(Ia kami susui) sejak umurnya belum genap 2 tahun sampai usia kanak-kanaknya. Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun sebenarnya kami lebih senang bila ia tetap tinggal bersama kami… maka kami pun membawanya pulang kembali bersama kami.”
Adapun di dalam riwayat Ibnu Sa’ad disebutkan peristiwa tersebut terjadi pada saat Muhammad berusia 4 tahun. Pendapat serupa dilontarkan oleh Abu Nu’aim pula. Akan tetapi, ada ulama lain mengatakan bahwa peristiwa tersebut dialami Muhammad pada saat berusia 5 tahun atau lebih.
Adapun para penganut aliran rasionalis baik dari kalangan orientalis maupun kalangan Islam yang mendukungnya cenderung menakwilkan peristiwa pembedahan dada Rasulullah ini. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memandangnya sebagai mitos, perumpamaan, dan ungkapan-ungkapan lain yang semakna.
Pandangan yang paling tepat tentang peristiwa pembedahan dada adalah perkataan Ibnu Hajar, “Semua hal yang terkait dengan peritiwa tersebut, pembedahan dada rasulullah, pengambilan hati beliau, dan sebagainya, merupakan perkara-perkara luar biasa yang harus diterima apa adanya tanpa melontarkan komentar apa pun yang meragukan kebenarannya. Sebab, semua hal itu adalah kekuasaan Allah, sedangkan di dalam kekuasaan Allah tidak ada hal yang mustahil.”
Hikmah Pembelahan Dada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
- Pada dasarnya, peristiwa ini merupakan pengumuman atas kerasulan Muhammad Shalallahu alaihi wasallam dan penyiapan beliau untuk menjadi manusia yang terpelihara dari dosa dan penerima wahyu sejak kecil dengan hal-hal yang nyata (kasat mata). Ini untuk mempermudah manusia dalam mengimaninya dan mempercayai ajaran-ajaran yang disampaikannya. Jadi, peristiwa ini pada hakekatnya merupakan proses penyucian spiritual yang dilakukan secara fisik dan kasat mata. Tujuannya tak lain adalah agar unsur pengumuman Tuhan yang tersirat di balik peristiwa itu bisa dilihat dan didengar oleh manusia.
Dr. Al-Buthiy telah menjelaskan tentang hikmah dalam hal itu, beliau mengatakan, “Tampaknya hikmah dalam hal itu adalah pemberitahuan perkara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan persiapannya untuk menerima kemasuman dan wahyu dari kecilnya degan perantara materi agar hal itu menjadi lebih mudah bagi orang-orang untuk mempercayai beliau dan membenarkan risalah beliau. Jadi, itu adalah proses pembersihan maknawi, tetapi mengambil bentuk fisik yang kasat mata agar ada di dalamnya pegumuman ilahi di antara banyak pendengaran dan penglihatan manusia.”
2. Di balik peristiwa tersebut terkandung maksud untuk menjelaskan bahwa Allah telah mempersiapkan hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dini untuk menerima wahyu dari-Nya.
3. Peristiwa tersebut melambangkan janji Allah kepada nabi-Nya untuk senantiasa memeliharanya dari berbagai dosa manusia dan godaan setan. Itu adalah bentuk pemeliharaan yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Tidak diragukan lagi bahwa pembersihan dari bagian setan adalah titik awal kenabian dan persiapan untuk pencegahan dari keburukan dan dari menyembah selain Allah. Maka tidak bersemayam dihatinya selain tauhid yang murni. Kejadian-kejadian pada masa kanak-kanak beliau telah menunjukkan pembenaran hal itu. Beliau tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah bersujud kepada berhala, meskipun itu tersebar di kalangan Quraish.
4. Dalam cuplikan riwayat di atas kita mendapati kalimat “Lantas keduanya pun mencuci hatiku dengan air tersebut. Setelah selesai yang satu berkata, ‘Ambil Sakinah!’”. Sakinah (ketenangan) selalu berada di jalan menuju kemenangan dalam sebuah perjuangan. Kata sakinah ini muncul dalam dalam ayat Al-Qur’an dan juga dalam hadits. Dimana itu berkaitan dengan perjuangan Rasulullah dan kemenangan yang beliau peroleh. Diantaranya sakinah disebutkan dan Al-Qur’an dan hadits ketika peristiwa hijrah Nabi, ketika perang badar, perang ahzab, perjanjian hudaibiyah, perang khaibar, dan seterusnya. Allah hadirkan kemenangan setelah Allah hadirkan sakinah dalam hati kaum muslimin, karena dengan hadirnya sakinah semakin meneguhkan ketaatan orang-orang mukmin. Itulah pentingnya mengapa sakinah itu harus kita hadirkan dalam setiap rumah-rumah kaum muslimin, sehingga dengan itu kita akan mampu melahirkan generasi pemenang.
5. Dari sini pula kita mendapatkan pelajaran penting bahwa dalam proses pendidikan, tazkiyatun nafs adalah bagian yang sangat penting yang perlu dilakukan di awal agar jiwa mereka siap menerima ilmu yang akan disampaikan, dan terbebas dari pengetahuan yang menjauhkan kepada Allah Ta’ala.
6. Mengeluarkan gumpalan darah dalam hati beliau adalah dalam rangka membersihkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari keadaan masa kanak-kanak yang sifatnya suka bermain, melakukan hal yang tidak berguna, dan mengikuti hawa nasfu. Selain itu juga memberikan beliau sifat-sifat kesungguhan, keteguhan, ketelitihan, dan kejantanan yang tulus lainnya. Sebagaimana telah ditunjukkan kepada kita melalui pertolongan Allah dan penjagaan-Nya baginya, sehingga tidak ada jalan bagi setan untuk menggoda beliau.
7. Dalam kisah pembedahan terdapat pelajaran tentang keterbatasan akal, tentang bagaimana akal kita berinteraksi dengan nash-nash yang ada, bahwa masalah apa saja yang berlandaskan dengan Al-Qur’an dan hadits, maka kewajiban kita adalah menerima dan tidak perlu membuka peluang diskusi untuk mengarahkan ke pengertian yang jauh dari hakikatnya.
Dalam masalah seperti ini, banyak orang yang tersesat karena telah mengagungkan akal, lalai dari kewajiban seorang muslim terhadap nash-nash syar’i. Pandangan yang paling tepat tentang peristiwa pembedahan dada adalah perkataan Ibnu Hajar rahimahullah, “Semua hal yang terkait dengan peritiwa tersebut, pembedahan dada rasulullah, pengambilan hati beliau, dan sebagainya, merupakan perkara-perkara luar biasa yang harus diterima apa adanya tanpa melontarkan komentar apa pun yang meragukan kebenarannya. Sebab, semua hal itu adalah kekuasaan Allah, sedangkan di dalam kekuasaan Allah tidak ada hal yang mustahil.”
Ibnu Qoyyim dalam Bait Nuniyah-nya berkata, “Celaka bagimu, wahai sang akal, demi Allah, kamu telah mengotori badanmu, celaka lah bagi yang terburu-buru mengutamakannya atas atsar, khabar, dan Al-Qur’an.”
Akal dalam urusan ibadah dan masalah syar’i selalu tidak biasa bekerja sendirian, tetapi dia mesti bekerja di bawah naungan nash. Ibnu Taimiyah berkata, “Jalan menuju keselamatan adalah mengikuti riwayat dan nukilan, kerena tidak hanya sebatas akal, tetapi sebagaimana bola mata tidak bisa melihat, kecuali dengan cahaya, begitu pula dengan cahaya akal, tidak bisa sang akal mendapat hidayah, kecuali setelah dibantu dengan cahaya mentari risalah.”
Ambi Ummu Salman (Depok/ 05/06/2021)
Sumber:
- Biografi Rasulullah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, Qisthi Press
- Fiqih Sirah Nabawiyah, Prof. Dr. Zaid Abdul Karim Az-Zaid, Darus Sunnah
- Sirah Nabawiyah, Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Insan Kamil
- Sirah Nabawiyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Rabbani Press