AYAH YANG DIRINDUKAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Ayah hebat adalah ayah yang dirindukan oleh anaknya. Anak merindukan ayahnya bukan hanya di saat jauh, namun juga ingin selalu nempel di saat dekat dengan sang ayah.

Sebagaimana kisah Nabi Yusuf dengan ayahnya Nabi Ya’kub, dalam surat Yusuf ayat 4 :

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku“.

Ada panggilan khusus dari Yusuf kepada ayahnya dengan memakai kata يَا أَبَتِ (yaa abati).
Panggilan Yusuf kepada ayahnya dengan memakai kata ‘ya abati’ seolah-olah orang yang dipanggil (Ya’kub) berada di tempat yang jauh padahal dia ada di depannya. Orang yang ada di depannya dibuat seakan-akan berada di tempat yang jauh yang dinantikan kehadirannya, karena yang dimaksudkan adalah menghadirkan pikiran dan hatinya kepada ayahnya.
(hiwarul abaa ma’al abna, sarah bin halil al muthoyri).

Ayah yang hebat dengan kesibukannya tetap mampu menggaransi bahwa anaknya akan selalu rindu terhadapnya.
Ibu juga harus membanty agar anak selalu rindu dengan ayahnya.

Inilah perbedaan islamic parenting dengan parenting barat. Apabila di parenting barat ayah harus ada dalam pengasuhan, ayah harus senantiasa hadir. Namun di islamic parenting ayah bisa saja tidak hadir secara fisik, bahkan berjauhan. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim dengan Ismail, Ya’kub dan Yusuf, Umar bin Abdul Aziz dengan ayahnya. Ayah tak selalu hadir namun kehadirannya selalu dirasakan dihati anak. Nah, inilah yang menjadi PR ayah hari ini bagaimana agar ia dapat tetap hadir di hati anak meskipun fisik tidak bersama.

Mengapa Harus Ayah?

1. Penyimpangan anak terutama dipengaruhi ayahnya

Fenomena lgbt yang terjadi saat ini tentunya tak lepas dari andil dari para orangtua terutama ayah.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua ibu-bapaknyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau seorang Majusi”.

Kata “menjadikannya” tidak hanya bermakna berpindah keyakinan atau murtad dengan memeluk selain islam.
Namun juga bermakna menjadikan sifat atau karakter seseorang seperti yahudi, nasrani, dan majusi. Jadi si anak tetap beragama islam namun karakter/sifatnya tidak islami.

Contoh sebagaimana yang banyak terjadi pada fenomena ‘anak zaman now’ yang memiliki sifat :
1. Mementingkan wanita dan kehidupan dunia
2. Narsis
3. Ngeyel dan suka berbohong
Padahal ketiga karakter itu adalah karakter yahudi

Kemudian di dalam hadist tersebut Rasulullah memakai kata فَأَبَوَاهُ ‘abawahu’ tidak memakai kata ‘waladu’ yang sama-sama bermakna orangtua.
Kata ‘waladu’ bermakna orangtua yang merujuk pada fungsi kelahiran, sehingga yang dominan adalah ibu. Sedangkan ‘abawahu’ bermakna orangtua dengan peran ayah yang lebih dominan.

Jadi berkaca dari hadist di atas maka dalam masalah penyimpangan anak, ayah yang disebut oleh Rasulullah dengan memakai kata ‘abawahu’ karena kelak di akhirat yang dimintai pertanggung jawaban pertama kali adalah ayah.

2. Anak Punya Hak Terhadap Ayahnya

Mari kita simak kisah pendek di zaman khalifah Umar bin Khattab berikut :
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Pelajaran dari kisah tersebut :
1. Terdapat 3 hak anak atas ayahnya :
√ Mendapatkan ibu yang baik
√ Mendapatkan nama yang baik
√ Diajarkan AlQur’an.
Maka orangtua wajib memenuhi hak anaknya sebelum menuntut hak atas dirinya terhadap anaknya.

2. Ketika menjadi orangtua Evaluasilah diri kita sebagai ayah dan ibu, bukan sebagai anak.
Jangan menyalahkan atau mengkoreksi orangtua kita atas apa yang terjadi dengan diri kita sekarang sebagai orangtua. Kalau kita merasa dulu orangtua kita belum sempurna dalam mengasuh kita maka cukuplah itu sebagai pembelajaran bagi kita agar tidak melakukan hal yang sama terhadap anak kita. Tetap muliakan dan hormati mereka, karena birul walidain itu wajib. Tidak ada hubungannya antara birul walidain dengan pengasuhan kita terhadap anak.

Jika ada kesalahan dalam mengasuh diri kita, cukup evaluasi diri kita pribadi. Jangan menyalahkan orangtua kita.

3. Islam Mewajibkan Ayah untuk Menjaga Diri dan Keluarganya dari Api Neraka

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Ayah adalah orang yang akan dihisab atas kepemimpinannya dalam keluarganya.

Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Al Qur’an Berbicara tentang Ayah Lebih Banyak Dibandingkan Ibu

Dialog pengasuhan dalam Al-Qur’an :
Terdalat 17 dialog pengasuhan yang tersebar dalam 9 surat. 14 dialog antara ayah dan anak, 2 dialog antara ibu dan anak, 1 dialog antara orangtua tanpa nama dan anaknya.
(sumber : Hiwarul aba ma’al abna fiil qur’anil kariim wa tathbiqotuhut tarbawiyah)

5. Tokoh Hebat Tak Lepas dari Sosok Ayah

Peran atau sosok ayah di usia dini sangat penting. Jika ada tidak ada atau tidak hadir maka harus ada sosok pengganti.

Rasulullah yatim namun ia memiliki sosok ayah pengganti. Sosok ayah pertama bagi Rasulullah adalah suami Halimah Asy Sya’diyah, sosok yang dapat menyelamatkan Rasulullah di tengah rusaknya masyarakat Makkah saat itu. Kemudia hadir sosok kakeknya Abdul Munthalib dan pamannya Abu Thalib yang senantiasa menjaga dan melindungi Rasulullah ketika di Makkah.

Maryam ia lahir dalam keadaan yatim karena Imran meninggal saat maryam dalam kandungan. Sebelum meninggal Imran menunjuk Nabi Zakaria sebagai pengganti dirinya.

Imam Syafi’i seorang yatim yang sejak kecil dididik oleh Iman Waki’i (guru yang menggantikan sosok ayahnya). Ibunda Imam Syafi’i membawa Inam Syafi’i hijrah dari Gaza ke Makkah.

Maka kehadiran Ayah bukan hanya secara biologis namun juga secara psikologis.

6. Anak itu Milik Ayahnya

أَنْتَ ومَالُكَل لأَِبِيْكَ

“Kamu dan hartamu milik bapakmu” (Hadits Riwayat Ibnu Majah)

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

“Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah” (Qs. al Ahzab : 5)

Anak bernasab pada ayah bukan ibunya. Dan nasab menunjukkan hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Bahkan ketika telah bercerai seorang ayah tetap berkewajiban menafkahi anak-anaknya. Maka tugas seorang ibu ketika telah bercerai dengan suaminya adalah tidak menjelak-jelekkan mantan suaminya di hadapan anaknya, jangan melupakan kebaikan suami agar anak tidak melupakan kebaikan ayahnya. Dan kelak ia tetap memuliakan ayahnya.

7. Ketiadaan Ayah Berakibat Rusaknya Anak

Ibnu Qayyim memberikan nasihat bagi para orangtua:

Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.”(Tuhfatul Maudud hal. 351).

Beliau juga mengatakan,

Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.” (Tuhfatul Maudud hal. 337).

Ketiadaan Ayah dalam didi anak :
1. Cuek dan tidak peduli dengan urusan anak
2. Tidak mendidik anak dalam urusan adab
3. Memfasilitasi syahwat anak (yang sama saja artinya dengan kita mendzolimi diri anak kita)

Dampak Ketiadaan Ayah (Father Hunger)

Yaitu kerusakan psikologis yang diderita anak-anak yang tidak mengenal ayahnya.
Akibatnya :
1. Rendahnya harga diri anak
2. Bertingkah kekanak-kanakan
3. Terlalu bergantung
4. Kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hipermaskulin)
5. Kesulitan dalam belajar
6. Kurang bisa mengambil keputusan
7. Bagi anak perempuan, tanpa model peran ayah setelah dewasa sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya, salah memilih pria yang layak.

Allahu a’lam bisowab..

Ambi Ummu Salman

(Resume KAP masjid ukhuwah islamiyah UI, Tema Ketahanan Keluarga. Disampaikan oleh Ustadz Bendri Jaisyurrahman)

Add Comment