Bismillahirrahmanirrahim…
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”.
Tadabbur Ayat
Kata ضَرَبَ merupakan fi’il madhi atau kata kerja lampau. secara makna umumnya ضَرَبَ bermakna memukul namun bisa menjadi memiliki makna yang lain ketika digambungkan dengan kata lainnya, seperti pada ayat ini, ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا. alimat ضرب المثل diambil dari kalimat ضرب الدراهم yaitu menyebutkan sesuatu yang mana bekas atau pengaruhnya tampak pada sesuatu yang lainnya. Dan biasa dimaknai dengan perumpamaan. Sehingga makna ayat tersebut adalah, Allah memberi perumpamaan untuk orang-orang kafir dan semua makhluk berupa kisah istri Nabi Nuh dan Istri Nabi Luth ‘alaihimassalam, yang keduanya berada dalam bimbingan صَالِحَيْنِ “dua orang hamba yang shalih,” yaitu Nuh dan Luth, tapi justru mereka mengkhianati suami-suami mereka.
Mengapa yang diangkat sebaga permisalan adalah wanita?
Allah membuat permisalan bagi orang kafir dan wanita karena menyesuaikan dengan tema besar surat ini yaitu teguran untuk istri Rasulullah Hafsah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma yang kisahnya pun menjadi asbabun nuzul dari surat ini.
Kemudian dalam ayat ini digunakan kata امْرَأَتَ yang diartikan istri. Secara umum, arti istri dalam bahasa Arab adalah zaujah (زوجة). Tapi pada beberapa kasus, Al Qur`an menyebutnya imroah (امرأة) dan shohibah (صاحبة). Imroah sendiri arti aslinya adalah perempuan. Sedang shohibah berarti kawan perempuan.
Jika hubungan antara lelaki dan perempuan yang berpasangan sebatas kontak fisik, tanpa adanya kesesuain fikrah (agama) dan termasuk juga cinta, maka perempuan itu disebut imroah (امْرَأَتَ).
Jika hubungan antara lelaki dan perempuan tak sekedar kontak fisik, tapi juga ada kesesuaian fikrah (syariat) dan juga saling mencintai, maka perempuan tersebut disebut zaujah (زوجة) .
Perhatikanlah ketika Allah menyebut istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam; imroatu Nuh, imroatu Luth. Sebab Nuh dan Luth adalah orang yang beriman kepada Allah. Sedang istri mereka tidak beriman. Begitu juga dengan Asiyah, istri Fir’aun, Allah juga menyebutnya imroatu Fir’aun. Sebab istrinya beriman, sedang Fir’aun kafir.
Selanjutnya mari kita lihat ketika Allah menyebut istri Nabi Adam ‘alaihissalam dan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam,, Allah menyebutnya zaujah atau azwaj (أزواج) dalam bentuk jamak. Disebut zaujah karena istri Nabi Adam dan istri-istri Rasululllah sama-sama beriman sebagaimana suami mereka.
Ada lagi cerita tentang istrinya Abu Lahab. Suami-istri ini sama-sama tidak beriman. Maka Al Qur`an menyebutnya imroah. “Wa imroatuhu hammalatal hathob.”
Berikutnya mari kita perhatikan, kapan Al Qur`an memanggil istri kita dengan sebutan shohibah? Itu ketika sudah lepas hubungan lelaki perempuan; cinta dan fikrah. Oleh karena itu pada hari kiamat kelak, sebagian besar Al Qur`an menyebutnya shohibah. “Yauma yafirrul mar`u min akhihi wa ummihi wa abihi wa shohibatihi wa banihi.” Itu karena hubungan mereka telah dipisahkan oleh kematian. Berikutnya pada hari kiamat kelak, mereka juga harus berpisah karena setiap diri hanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak sempat lagi ngurus orang lain. Termasuk juga yang dulu di dunia adalah istrinya.
Kemudian kita berlanjut pada kata فَخَانَتَاهُمَ (lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya). Yang dimaksud dengan pengkhianatan di atas bukan dalam fahisyah (zina) tetapi pengkhianatan dalam masalah agama, karena istri-istri Nabi itu terpelihara dari perselingkuhan atau perzinaan demi menjaga kehormatan para Nabi, sebagaimana yang dapat kita dapati dalam pembahasan surat An-Nur ayat 26.
Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam memerankan qowwamahnya dengan baik, karena posisi kedua istrinya tidak bergeser. Akan tetapi keduanya tetap melakukan khiyanat.
Ibnu Abbas meriwayatkan: “Tidak ada istri nabi yang pernah melakukan pembangkangan. Ini merupakan ijma’ dari kalangan mufassiri. Sesunguhnya penghianatan yang dilakukan oleh keduanya adalah dalam bidang agama, dan keduanya adalah orang yang musyrik.”
Adapun istri Nabi Nuh bentuk khiyanatnya adalah ia mengatakan kepada masyarakatnya bahwa suaminya gila sehingga banyak orang-orang yang ingin beriman tidak jadi beriman. Ia tidak beriman pada nabi-Nya maka ia juga tidak beriman kepada Allah.
Sedangkan istri Nabi Luth, khiyanatnya dengan isyarat bukan dengan kalimat seperti istri Nabi Nuh. Pada suatu malam, nabi Luth didatangi oleh dua malaikat yg menyamar sebagai manusia tampan. Kesepakatan kaum nabi luth saat itu adalah, jika sebuah rumah didatangi oleh tamu laki-laki, jika malam maka maka nyalakanlah api, jika siang hari maka gunakan isyarat asap sebagai tanda bahwa di situ ada laki-laki yang bisa mereka datangi dengan syahwat. Istri Luth mengetahui kedatangan kedua tamu Luth dan dia lah yang memberi tanda/isyarat tersebut kepada kaumnya. Lalu kaum nabi Luth berbondong-bondong mendatangi rumahnya untuk meminta tamunya.
Apa yang dilakukan istri Nabi Nuh dan Luth tampak sederhana, hanya dengan kata-kata dan isyarat, tapi sesuatu yang sederhana itulah yang menyatakan kekufuran mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Berhati-hatilah, tidak selalu hal yang besar yang dapat menjerumuskan kita. Khianat berwujud hal sepele seperti perkataan atau bahkan hanya dengan isyarat dijadikan oleh Allah sebagai permisalan orang-orang yang kafir kepada Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat peristiwa Isra Mi’raj diperlihatkan neraka dan surga oleh Allah subhanahu wata’ala. Beliau mengatakan yang paling banyak menghuni neraka adalah wanita. Dan mereka adalah wanita yang kufur kepada suaminya dan mengingkari kebaikan pada suami.
“Diperlihatkan Neraka kepadaku dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita, mereka kufur.” Para sahabat bertanya: “Apakah disebabkan kufurnya mereka kepada Allah?” Rasul menjawab: “(Tidak), mereka kufur kepada suaminya dan mereka kufur kepada kebaikan. Seandainya seorang suami dari kalian berbuat kebaikan kepada istrinya selama setahun, kemudian istrinya melihat sesuatu yang jelek pada diri suaminya, maka dia mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu sekalipun”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara ibadah wanita bisa jadi lebih banyak sholatnya daripada suami, rajin berpuasa, rajin tilawah Al-Qur’an, rajin bersedekah, namun wanita banyak masuk neraka bukan karena kurang ibadahnya melainkan karena kalimat sederhana: “Aku tidak pernah melihat kebaikan pada suamiku”. Dan begitulah fenomena yang banyak terjadi sekarang, wanita hari ini lebih banyak ibadahnya namun ia juga kufur (mengingkari kebaikan suaminya).
Mengapa Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak mengetahui istrinya berkhianat? Karena istrinya di depan Nabi Nuh terlihat baik, begitu juga istri Nabi Luth. Kedua nabi itu baru mengetahui bahwa istri mereka berkhianat saat datangnya azab Allah.
Percayalah kepada apa yang dilakukan suami. Jangan sampai menjadi seperti Istri Nabi Nuh ‘alaihissalam. Karena kesalahannya dimulai dari tidak mempercayai suaminya.
Yang menggelincirkan kita bukan hanya perkara besar dan dosa besar tapi bisa jadi karena kalimat atau isyarat sederhana yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah dan menjerumuskan kita ke dalam neraka, seperti yang dilakukan kedua istri nabi tersebut.
Kalimat selanjutnya adalah فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”).
Artinya adalah, Nabi Nuh dan Luth tidak bisa menyelamatkan istri mereka masing-masing dari siksa Allah atas pengkhianatan mereka. Posisi mereka sebagai istri para nabi sama sekali tidak berpengaruh pada mereka. Keduanya adalah istri nabi-nabi Allah, tetapi ketika mereka mendurhakai Allah, suami mereka tidak mampu menolong mereka di sisi Allah sedikit pun.
Apa yang terjadi pada keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth juga mewakili model keluarga hari ini. Ada rumah tangga yang suaminya bergerak menuju arah kesholehan. Sementara istrinya tidak mengikuti gerak kesholehan suaminya. Maka efeknya tidak hanya kepada dirinya sendiri tetapi juga akan berimbas kepada anak-anaknya. Lihatlah salah satu anak Nabi Nuh yang bernama Yam atau Kan’an. ketika sang ayah menawarkan pertolongan kepada dirinya untuk naik ke perahu pada saat terjadi banjir bandang. Dia menolak dan kemudian berlari ke arah gunung yang menurutnya air tidak akan bisa sampai ke tempat itu. Ia mengabaikan peringatan dari sang ayah bahwa hari itu tidak akan ada yang selamat kecuali mereka yang berada di dalam perahu Nabi Nuh.
Kan’an, putra Nabi Nuh setidaknya menjadi korban dari ketidakselarasan antara suami dan istri. Dan selalu, zaman berganti tetapi sunnatullah ini akan terus berulang. Itulah mengapa Allah ingatkan melalui kisah ini. Bahwa suami-istri harus menjaga keserasian dalam mengayuh bahtera rumah tangga.
Allahu a’alam…
Ambi Ummu Salman
Sumber:
- Tafsir Ath-Thabari jilid 25, Pustaka Azzam
- Tafsir Al-Qurthubi Jilid 18, Pustaka Azzam
- Kamus Al-Qur’an jilid 3, Ar-Raghib Al-Ashfahani, Khazanah Fawaid
- Inspirasi dari Rumah Cahaya, Ustadz Budi Ashari, Lc, CS Publising
- Catatan Kajian Dauroh wanita dalam Al-Qur’an dengan tema Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth, Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc, Masjid Darussalam Griya Tugu Asri.
- Furuqullowiyyah fii Tafsiril Kalimatil Qur’an, Ali Fahmi Nuzhi, Dar Alamiyyah linnisr