Tadabbur Surat Al Kahfi Ayat 82 [ Keshalihan Orangtua Sebab Turunnya Rahmat Bagi Keturunannya]

Bismillahirrahmanirrahim….

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS. Al Kahfi: 82)

Tadabbur Ayat

وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim…

Kata yatim bisa jadi kedua anak yatim tersebut masih kecil, belum masuk usia baligh. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahualaihi wa sallam, “Tidak yatim lagi setelah mimpi (baligh).” (HR. Abu Dawud)

Bisa jadi juga sebutan yatim tetap disandangkan kepada kedua anak itu walaupun telah baligh karena sebelumnya memang yatim, yaitu dengan makna sebagai belas kasihan terhadap keduanya.

Kata فِى ٱلْمَدِينَةِ “di kota itu” bisa menunjukkan bahwa (perkampungan atau pemukiman atau desa) bisa juga disebut madinah (kota).

Kemudian Firman Allah Ta’ala,

وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا

Dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua.

para mufassir berbeda pendapat mengenai benda simpanan tersebut.

Ikrimah dan Qatadah berkata, “Maksudnya berupa harta benda.” Ini tampak dari sebutan al kanz yang secara bahasa adalah kumpulan harta, pembahasan tentang ini telah dikemukakan. Ibnu Abbas berkata, “Maksudnya berupa ilmu di dalam lembaran-lembaran yang terkubur.”

Mengenai hal ini, telah diriwayatkan beberapa atsar dari ulama salaf. Di dalam tafsirnya, Ibnu Jarir menyebutkan dari Na’im al-anbari, teman duduk Hasan al Basri, ia becerita, aku pernah mendengar Hasan al Basri berbicara tentang firman Allah Ta’ala : وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا Yakni, lempengan emas yang di dalamnya terutulis :
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagu Maha Penyayang. Aku heran terhadap orang yang veriman kepada takdir, mengapa ia bersedih. Aku juga heran terhadap orang yang beriman akan adanya kematian, mengapa ia masih bisa gembira. Aku merasa heran kepada orang yang mengetahui dunia dan berubah-ubahnya keadaan penduduknya, bagaimana ia bisa merasa tenang. Tidak adalah ilah (yang haq) selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Selanjutnya kalimat, وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا, “Sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” konteks lafadz ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa ayah kedua bapaknya adalah bapak terdekat.

Pendapat lain menyatakan, bahwa itu adalah bapak ketujuh, dan ada juga yang menyatakan bapak kesepuluh.

Ini menunjukkan bahwa

Allah Ta’ala memelihara diri orang yang shalih dan anaknya (keturunannya) walaupun jaraknya jauh darinya (keturunan jauh).

Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala memelihara orang shalih sebanyak tujuh generasi keturunannya.
Ini ditunjukkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ وَلِۦِّىَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى نَزَّلَ ٱلْكِتَٰبَ ۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ

Sesungguhnya pelindungku ialah Allah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
(Qs. Al A’raf :196)

Mari kita tengok dari sisi bahasa, dalam AlQur’an kata ayah dibahasakan dengan dua kata yaitu abun dan walid, dalam ayat ini dipakai kata أَبُوهُمَا yang berasal dari akar kata اب (abun).

Kata [الاب] dalam arti awalnya mempunyai makna seseorang yang mendidik atau memberi nafkah:

الْهَمْزَةُ وَالْبَاءُ وَالْوَاوُ يَدُلُّ عَلَى التَّرْبِيَةِ وَالْغَذْوِ. أَبَوْتُ الشَّيْءَ آبُوهُ أَبْوًا: إِذَا غَذَوْتُهُ. وَبِذَلِكَ سُمِّيَ الْأَبُ أَبًا

Kata Abu; Hamzah, ba’ dan wawu menunjukkan arti mendidik dan memberi makan. Darisitulah seorang bapak disebut abu.

Bisa juga dimaknai sebagai seseorang yang menjadi ‘sebab’ wujudnya sesuatu, atau orang yang mempunyai sesuatu. Dikatakan dalam al-Mu’jam al-Wasith:

(الْأَب) الْوَالِد وَالْجد وَيُطلق على الْعم وعَلى صَاحب الشَّيْء وعَلى من كَانَ سَببا فِي إِيجَاد شَيْء أَو ظُهُوره أَو إِصْلَاحه

Kata [الاب] merujuk kepada bapak, kakek bahkan paman. Bisa juga kepada seseorang yang mempunyai sesuatu, atau yang menjadi sebab adanya sesuatu atau yang berbuat baik kepada sesuatu.

Sedangkan kata [والد], adalah isim fa’il dari wa-la-da yang artinya melahirkan. Dalam penggunaannya, kata “walid” hanya merujuk kepada satu makna; yaitu bapak secara biologis.

Sehingga kata أب memiliki makna yang luas daripada والد, kata abun tidak hanya bermakna ayah namun seorang ayah yang memiliki kesiapan sebagai seorang pendidik, mengetahui arah tujuannya. Sehingga أب (abun) ini harus memiliki ilmu untuk mendapat gelar atau panggilan أب tak harus memiliki hubungan biologis.

Sehingga dari segi bahasa ini bisa menjadi penguat untuk pendapat bahwa bapak yang dimaksud disini adalah bapak secara tidak lansung.

Ibnu Katsir berkata:
“Ayat diatas menjadi dalil bahwa keshalihan seseorang berpengaruh kepada anak cucunya di dunia dan akhirat, berkat ketaatannya dan syafaatnya kepada mereka maka mereka terangkat derajatnya di surga agar kedua orangtuanya senang dan berbahagia sebagaimana yang yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan as sunnah.”

Diceritakan bahwa sebagian orang-orang salaf dahulu pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, aku akan membaguskan shalatku agar engkau mendapat kebaikan.” Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa makna ucapan itu adalah aku akan memperbanyak shalatku dan beroda kepada Allah untuk kebaikanmu.

Dari ayat ini kita bisa mengetahui bahwa keshalihan adalah penghubung antara diri kita dan keluarga kita yang telah mendahului kita.

Kemudian,
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ
maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;

Takdir Allah selalu baik, dan Allah akan memberikan kebaikan kepada hambaNya di saat yang tepat. Boleh jadi Allah menyembunyikan dari dirimu suatu kebaikan, yang jika engkau mendapatinya setelah waktu berlalu itu lebih baik buatmu daripada jika engkau mendapatinya saat ini.

Allahu a’lam..

Ambi ummu salman