Tadabbur Surat Al-A’raf ayat 31 (Antara Makanan, Pakaian, dan Langkah Syaitan)

Bismillahirrahmanirrahim…

Tadabbur Surat Al-A’raf ayat 31

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Ayat ini diawali dengan panggilan يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ yang mana panggilan ‘ya bani adam’ ini merupakan salah satu ciri dari ayat-ayat makiyyah. Al-Qur’an mengemukakan bahwa manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Adam, sedangkan keturunannya disebut dengan bani adam. Kata banu atau bani berakar dengan huruf ba’, nun, dan ya’, yang bermakna “sesuatu yang lahir dari sesuatu yang lain”. Dalam penjelasan Ar-Raghib al-Ashfahani, bani  berarti keturunan (dari darah daging) yang dilahirkan.

Konsep kesejerahan yang terkandung pada kata Bani Adam mengandung pesan agar kita tidak melupakan sejarah manusia pertama (Nabi Adam). Nabi Adam ketika diturunkan ke bumi Allah berikan petunjuk. Maka kita anak keturunan Nabi Adam harus pula mengikuti petunjuk yang sudah Allah berikan kepada Nabi Adam. Kita harus mengikuti bagaimana Nabi Adam mendapatkan kemuliaan dari Allah, dan jalan kemuliaan Nabi Adam adalah melalui ilmu.

Firman Allah يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ adalah ungkapan yang ditujukan kepada seluruh alam, meski maksudnya adalah bangsa Arab yang berada di sekitar Ka’bah dalam keadaan tidak berpakaian.

Dalam ilmu pendidikan jika panggilan anak keturunan itu dikaitkan dengan nenek moyangnya maka ada suatu pelajaran yang berkaitan dengan nenek moyangnya tersebut. Panggilan bani adam memiliki pelajaran tentang sesuatu yang bisa diambil oleh anak keturunannya yaitu kita semua. Jika kita kumpulkan semua ayat yang memiliki panggilan yaa bani adam dalam Al-Qur’an maka akan kita dapati bahwa isi pembahasannya adalah tentang aurat (pakaian), makanan, juga mengenai tipu daya syaiton. Seakan ini mengingatkan kepada kita bahwa dahulu ayah kita (Adam) dan istrinya digelincirkan oleh iblis melalui makanan yang berkonsekuensi pada terbukanya aurat pada keduanya sehingga akhirnya keduanya Allah subhanahu wa ta’ala keluarkan dari surga, seakan itu pula yang akan dilakukan oleh iblis untuk menggelincirkan kembali anak keturunan Nabi Adam.

Dari kitab qowaidul hisan karya Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, disebutkan kaidah bahwa العبر بعموم الألفاظ لابخصوص الأسباب (Ibrah itu diambil dari keumuman lafadz bukan kekhususan sebab) jadi yang dipandang adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab. Sehingga ayat ini mencakup semua anak-anak Adam sebagai sindiran kepada kaum musyrikin Makkah karena mereka melakukan bid’ah dalam ibadah thawaf yaitu mereka tidak mau memakai pakaian yang sudah pernah mereka gunakan untuk bermaksiat sehingga mereka harus membeli baju baru atau mereka meminjam baju dari orang-orang penduduk kota makkah, jika mereka tidak mendapatkannya maka mereka lebih memilih melakukan thawaf dengan telanjang. Sehingga Allah membantah mereka dengan ayat ini, justru ketika mereka hendak thawaf mereka harus mengenakan perhiasan atau pakaian yang indah yang terbaik sebagai bentuk kesopanana karena hendak bertemu Allah.

Kemudian خُذُوا۟ yang bermakna ‘ambillah’ atau diterjemahkan dengan pakailah. Kata خُذُوا۟ menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah) yang itu berlaku sampai dengan masa yang akan datang.

Selanjutnya adalah kata زِينَتَكُمْ yang diterjemahkan sebagai pakaian dan secara umum bermakna perhiasan. Kata tersebut akar katanya adalah الزينة (az ziinatu) yang artinya adalah keadaan seseorang manusia yang tidak ternodai, baik di dunia maupun di akhirat. Adapun menghiasi keadaan tertentu tanpa menghiasi kedaan yang lain (sehingga menjadi tidak seimbang), maka itu merupakan bentuk penodaan. Dan kata الزينة berarti perhiasan secara umum terbagi ke dalam tiga jenis: pertama, زينة نفسية yang berarti perhiasan jiwa, seperti ilmu, keyakinan yang baik. Kedua, زينة بدنية yaitu berarti perhiasan diri, seperti kekuatan dan postur tubuh yang tinggi. Yang ketiga adalah زينة خارجية yaitu perhiasan dari luar, dan itu contohnya seperti harta dan kedudukan. Kata الزينة dalam ayat tersebut termasuk jenis زينة خارجية, dan hal ini sebagaimana yang diriwayatkan bahwa kaum pada saat itu selalu thawaf di Ka’bah dengan keadaan telanjang, maka Allah melarang mereka dengan ayat tersebut.

Dalam Al-Qur’an terdapat dua kata yang mempunyai arti sama yaitu perhiasan. Yang pertama adalah[g1]  الحلية (al hilyatu) yang maknanya adalah segala sesuatu yang menghiasi dari golongan emas dan perak atau logam lainnya. Sedangkan الزينة (az ziinatu) yang bermakna segala sesuatu yang menghiasi dan terkumpul di dalamnya makna perbaikan. Sehingga kata az ziinatu memiliki makna yang lebih luas yang tidak hanya bermakna perhiasan secara zahir namun juga bisa selainnya yg menghiasi dan membuat sesuatu terlihat menjadi lebih baik atau indah.

Zinaatakum disini memiliki beberapa tafsiran, yaitu:

  1. Tutuplah aurat kalian karena pakaian disebut dengan ziinah yaitu pakaian yang digunakan untuk menutup tubuh/ aurat. Jumhur ulama mengatakan bahwa menutup aurat adalah salah satu kewajiban dalam melaksanakan sholat, Al Abhari mengatakan bahwa menutup aurat adalah kewajiban secara umum. Setiap orang harus menutup auratnya dari pandangan mata manusia, baik ketika shalat maupun lainnya.
  2. Lebih dari sekedar menutup aurat, yaitu menghiasi tubuh. Seperti misalnya memakai baju yang indah, memakai minyak wangi, siwak. Dengan syarat tidak sampai pada berlebih-lebihan dan bersikap sombong. Sebagian salaf mereka memiliki baju yang indah yang mereka pakai untuk sholat.
  3. Hiasan yang dimaksud disini adalah alas kaki, karena sesuai dengan riwayat Kurz bin Wabrah dari Atha’, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Pakailah hiasan untuk shalat.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah hiasan shalat itu?” Beliau menjawab, “Pakailah alas kaki kalia dan shalatlah.”

Ketika kita memakai baju terbaik disaat sholat ini jauh lebih baik, lebih mengikuti sunnah dan mengikuti perintah Allah Ta’ala untuk menghadap rabbul alamiin. Ibnu athiya’ berkata dianjurkan memakai pakaian terbaik bukan hanya ketika sholat namun juga ketika thawaf.

Dikisahkan bahwa suatu hari saat Imam Ahmad bin Hambal sedang keluar rumah menuju masjid, ia bertemu seorang pemuda yang ujung gamisnya kotor sebab terkena tanah dan debu tebal. Padahal ia sedang menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Saat ia resah karena ragu, apakah boleh menunaikan shalat dengan keadaan pakaian sedemikian rupa, ia meminta fatwa pada Imam Ahmad bin Hambal.

Sang Imam mengatakan bahwa ia boleh-boleh saja melaksanakan shalat dengan keadaan pakaiannya yang kotor terkena tanah. Sebab debu dan tanah bukan termasuk najis yang bisa membuat shalatnya tidak sah. Si pemuda pun bersyukur dalam hati seraya melanjutkan langkahnya menuju masjid tanpa ragu.

Di lain kesempatan, saat Imam Ahmad bin Hambal keluar rumah lagi untuk menunaikan shalat, tiba-tiba ujung pakaian beliau terkena tanah sehingga membuat pakaiannya tampak kotor dan tak indah dipandang. Lalu dengan tergesa beliau berbalik langkahnya menuju rumah dan berganti pakaian. Melihat tindakan beliau ini, orang-orang yang melihatnya nampak heran. Bukankah beberapa waktu lalu Sang Imam berfatwa bahwa tanah itu bukan najis yang menghalangi sahnya shalat? Lalu untuk apa beliau pulang dan berganti pakaian?

Dengan perasaan ingin tahu, mereka kemudian menghampiri Sang Imam dan menanyakan hal yang membuat mereka terheran-heran. Imam Ahmad bin Hambal pun menjawab: “Dzalika fatwa, wa hadza taqwa.”

Yakni bahwa apa yang beliau sampaikan pada pemuda kemarin merupakan fatwa yang boleh saja dilakukan dan diambil hukum yang ada padanya. Sedangkan apa yang beliau (Imam Ahmad) lakukan hari ini merupakan sikap Taqwa.

Sang Imam tidak ingin sekedar menghadap Allah dalam keadaan suci saja, tapi juga ingin mempersembahkan shalat pada-Nya dalam keadaan mengenakan pakaian terbaiknya yang bersih tanpa noda. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian terbaik setiap kali memasuki masjid? “khudzuuu ziinatakum inda kulli masjid.”

Berlanjut dengan kalimat عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ “di setiap (memasuki) masjid”, kata مَسْجِدٍ berbentuk nakiroh yang berarti bersifat umum, tidak menunjukkan ke masjid tertentu saja. Sehingga ayat ini bersifat umum untuk seluruh masjid yang digunakan untuk sholat. Karena, pelajaran pada ayat ini adalah pada keumumannya bukan pada sebab ayat ini turun.

Kata masjid juga memiliki dua tafsiran yaitu:

1.         Masjid tempat ibadah

2.         Tempat sujud, tempat kita sholat apakah itu di rumah atau dimanapun. Artinya misalkan meskipun kita sholat sendirian di rumah kita mengenakan pakaian terbaik dan menutup aurat.

Sebagaimana hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Kemudian lanjut pada firman Allah وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ “Makanlah dan minumlah, dan jangan berlebihan,” dalam ayat ini objeknya tidak disebutkan. Dalam kitab qowaidul hisan disebutkan bahwa ketika ada objek yang dihapus menunjukkan keumuman objek tersebut. Apabila Allah memutlakkan (tidak mengaitkan), dan membuang kalimat yang muta’alliq, hal itu dimaksudkan untuk melahirkan pengertian yang lebih umum. Ketika tidak disebutkan muta’allaq-nya maka lebih mutlak dan kita lebih bisa mengumpulkan makna-makna atau faedah yang lebih banyak.

Kata “Makanlah dan minumlah dan janganlah berlebih lebihan”, di ayat ini Allah tidak menyebutkan apa yang dimakan dan apa yang diminum. Allah hanya menyebutkan predikat tanpa objek. Sebagaimana dalam kaidah yang dijelaskan di atas bahwa jika objek tidak disebutkan maka memberikan faedah keumuman atau mutlak. Apa saja boleh dimakan dan diminum selama tidak ada dalil yang mengharamkan, mau makan apa saja, kapan saja dimana saja diperbolehkan. Kembali kepada hukum asal selama tidak ada dalil yang menentang dan mengharamkannya. Syaratnya jangan berlebih-lebihan.

Menurut Ibnu Abbas, dalam ayat ini Allah menghalalkan makan dan minum selama tidak berlebih-lebihan. Makanan dan minuman yang sesuai kebutuhan adalah yang dapat menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Hal yang seperti ini menurut syari’at dan logika sangat dianjurkan. Karena yang seperti ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan indera. Oleh karena itu, syariat melarang untuk makan secara berlebihan karena dapat melemahkan tubuh dan mematikan jiwa, serta mengendurkan semangat ibadah. Atas alasan ini, maka syariat melarang dan akal sehat pun menolak. Orang yang tidak mendapatkan makanan yang sesuai dengan kebutuhannya, bukan berarti dia tidak mendapatkan keberuntungan orang-orang yang berbuat baik dan mendapatkan bagian dari kenikmatan orang yang zuhud. Karena, orang yang dihadapkan pada suatu kesulitan berupa stamina fisik yang menurun lantaran melakukan ketaatan, akan mendpaatkan ganjaran pahala yang lebih banyak dan lebih besar.

Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai takaran makanan yang berlebihan: pendapat pertama mengatakan, hukumnya haram dan sedangkan pendapat kedua menyatakan, hukumnya makruh.

Ibnu Al Arabi berkata, Pendapat inilah yang shahih, karena ukurang kenyang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain, satu masa dengan masa yang lain, dan ukuran kepuasan seseorang dengan orang lain.

Ada yang mengatakan bahwa sedikit makan itu mengandung banyak manfaat. Di antara manfaat tersebut adalah seseorang akan menjadi lebih sehat, lebih baik daya ingatnya, lebih jernih pemahamannya, lebih sedikit tidur, dan lebih ringan jiwanya. Sedangkan, banyak makan itu dapat merusak lambung, usus, dan perut. Semua itu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam penyakit. Selain itu, orang yang banyak makan lebih membutuhkan pengobatan daripada orang yang makannya sedikit (secukupnya).

Beberapa ahli hikmah berkata, “Obat yang paling baik adalah mengetahui takaran makan.”

Rasulullah sendiri telah menjelaskan makna mengenai hal ini secara jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan lebih lanjut dari para dokter. Beliau bersabda, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

 ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه

“Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun, jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.”

Soal hadis ini, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Nabi mengajarkan seseorang cukup mengonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya sehingga staminanya tidak turun dan tubuh tidak menjadi lemah.

Kalau lebih dari itu, bisa saja ia mengonsumsi makanan dengan sepertiga volume yang bisa ditampung oleh perut, sepertiga lagi untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk napas. Demikianlah yang bermanfaat bagi tubuh dan jantung.

Ibnu Qayyim menjelaskan, kedudukan makanan itu ada tiga. Pertama, mengambil sebanyak yang diinginkan. Kedua adalah melewati batas cukup tetapi tidak mencapai tingkat kepuasan yang merugikan. Ketiga, yang lebih banyak dari itu. Singkatnya, menurut Ibnu Qayyim, tiga kedudukan makanan ialah keinginan, kecukupan, dan keutamaan.

Yang terbaik adalah berhenti sebelum kenyang dan tidak makan kecuali dalam keadaan lapar.

Setiap kali manusia lapar maka jiwanya akan jernih. Jika ingin jiwa kita kuat maka makankah hanya sekedar untuk hajat saja, beberapa suap saja. Setiap manusia jika lapar maka hatinya akan jernih. Jika fisiknya diberi lebih yaitu sampai sepertiga atau lebih maka bisa melemahkan jiwa. Agar manusia kembali kepada fitrah jiwanya adalah dengan berpuasa, lapar membuat jiwa kuat.

Pola makan yang benar adalah untuk sekedar menegakkan punggung agar bisa beraktifitas. Itulah mengapa syaiton bermain dengan tema makanan. Isrof adalah batasan terakhir yang tidak boleh kita langgar karena kita hidup bukan untuk fisik kita tapi untuk jiwa kita. Semakin fisik dipenuhi dengan unsur kenikmatan maka jiwa akan kehilangan kenikmatannya dan berlaku sebaliknya. Namun kita juga tidak boleh berlebihan sampai mengharamkan yang halal sebagaimana di lanjutan ayat ini di ayat 32.

“Tubuh hanya akan menjadi kuat dengan takaran makanan yang diterimanya, bukan dengan dijejali makanan sebanyak mungkin,” kata Ibnu Qayyim.

Para ulama kita berkata, “Jika orang mau mendengarkan pembagian ukuran makanan yang dikonsumsi, maka orang akan takjub dari hikmah yang terkandung di dalamnya.”

Ali bin Husain meriwayatkan: Allah mengumpulkan semua ilmu medis pada setengah ayat, وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ (makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan). Siapa yang berkomitmen dengan ayat ini maka dia akan sehat dan berlebih-lebihan ini adalah menimbulkan penyakit.

Ibnu Rojab bin hambali dalam jami’ul kalam wal hikam berkata seandainya orang-orang mengamalkan ayat ini maka rumah sakit rumah sakit akan kosong dan tidaklah kita sakit kecuali karena berlebih-lebihan.

Ada korelasi yang kuat antara makanan dan terbukanya aurat. Apakah sama antara mengharamkan yang halal dengan menghalalkan yang haram dengan tema pakaian? apakah ada kaitannya?. Kalau kita perhatikan antara surat al-Baqarah dengan al-A’raf, keduanya saling berkaitan. Kita akan menemukan pembahasan kisah nabi Adam ada di surat al-Baqarah dan juga surat  al-A’raf, begitupun pembahasan bani israil ada di al-Baqarah dan juga di al-A’raf. Tapi karena tema surat al-Baqarah adalah memuliakan anak keturunan nabi Adam banyak banyak hal tidak dibahas di surat tersebut, berbeda dengan surat al-A’raf yang salah satu temanya adalah hukuman bagi kaum-kaum yang melanggar aturan Allah. Masalah terbukanya aurat tidak dibahas di surat al-Baqarah karena temanya memuliakan tapi semuanya dibahas di surat al-A’raf. Al baqarah punya tema besar berkaitan dengan makanan, bahkan pembahasan tentang nabi Adam pun demikian, karena syaiton menggoda lewat makanan. Pada dasarnya syaiton itu hanya mengajak manusia berbuat buruk namun pada kondisi tertentu syaiton memiliki kekuatan untuk menyuruh manusia yaitu ketika manusia sudah memakan makanan yang haram. Makanya dikatakan dalam Al-Qur’an,

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al- Baqarah: 168)

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Al-Baqarah: 169)

Dalam ilmu balaghoh makna al amr adalah meminta mengerjakan sesuatu dari atas ke bawah (perintah). Sehingga dari sini kita ketahui bahwa makanan haram yang kita makan yang kemudian masuk ke dalam badan kita menjadi daging dan mengalir dalam darah akan mempunyai pengaruh yang luar biasa kepada kekuatan syaiton sehingga mereka mampu memerintah manusia. Dan pusat darah adalah di jantung dan jantung adalah pusat manusia, yang jika jantung(qolb) ini baik maka baik seluruh tubuhnya.

Maka untuk pendidikan generasi perkara makanan ini sangat perlu kita perhatikan, bukan hanya soal kehalalannya saja namun juga pada thayyib-nya sebagaimana surat al-baqarah yang temanya adalah tentang kepemimpinan bumi tapi pembahasan dalam  surat al baqarah itu justru berkaitan dengan tema makanan. Artinya jangan pernah berbicara kepemimpinan jika belum selesai urusan makanan. Maka membahas kepemimpinan salah satu yang harus dipersiapkan adalah tema makanan dahulu bukan hanya tentang halalnya tapi juga thayyib.

Dalam surat al-Baqarah yang dibahas tentang keharaman itu ada dua yaitu haram dzatnya dan haram karena sebab memperolehnya. Makanya di surat al-Baqarah juga dibahas tentang riba yang hukumnya haram. Sehingga perlu diperhatian cara memperolehnya. Tugas suami adalah memastikan bahwa rezeki yang dibawa pulang adalah rezeki yang halal.

Kemudian firman Allah وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ dengan pola kata افعل – يفعل yang mengandung faidah للمبالغة (lil mubalaghoh/ mangandung makna sangat) dan للصيرورة (lissoiruroh/ menyimpan arti menjadi). Sehingga maknanya kita tidak boleh menjadi berlebihan dan melampaui batas. Maksudnya adalah berlebihan dalam hal makan dan minum. Karena, hal itu dapat membuat lambung menjadi berat dan orang menjadi malas beribadah kepada Tuhannya, serta berat untuk melaksanakan amalan sunnah. Jika seseorang makan melebihi batas yang semestinya, maka akan membuatnya tidak dapat melaksanakan kewajiban yang tidak boleh untuk ditinggalkan. Hal itu terjadi lantaran berlebihan dalam hal makan dan minum. Berlebih-lebihan itu mencakup melampaui kadar, melampaui batas, dari sini nilai misalnya terlalu mahal. Selama tidak berlebih-lebihan maka dibolehkan karena semua mencakup apa yang Allah bolehkan.

Ibnu zaid berkata, “Makna dari lafazh وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ adalah jangan mengkonsumsi makanan yang haram.”

Ada yang mengatakan, memakan semua yang diinginkan termasuk sikap berlebih-lebihan. Ada juga yang mengatakan bahwa sikap berlebihan itu adalah tetap makan meskipun perut kenyang. Semua itu adalah peringatan.

Luqman pernah berkata kepada putranya, “Wahai putraku, janganlah kamu makan hingga sangat kekenyangan. Sesungguhnya jika kamu memberikan makanan itu kepada anjing, maka itu lebih baik daripada kamu memakannya.”

Ada yang mengatakan bahwa orang Arab pada masa jahiliyah tidak mau makan lemak di saat melaksanakan haji. Mereka hanya cukup makan sedikit makanan saja. Mereka melakukan thawaf dalam keadaan tidak beralas kaki. Lalu dikatakan kepada mereka “Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan,” maksudnya janganlah kamu berlebihan dalam mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah kepada kalian.

Kemudian firman Allah إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”, dalam kalimat ini Allah menggunakan kata inna yang mengandung makna taukid (penegasan) yang bermakna Allah benar-benar tidak menyukai sikap dan perbuatan isrof (berlebih-lebihan). Dan dilanjut dengan لَا يُحِبُّ, kata yuhibbu dengan menggunakan mudhari yang mengandung sifat istimror atau berkelanjutan, dan ditambah dengan ٱلْمُسْرِفِينَ yang memakai isim fa’il dengan sifat isim yang melekat dan juga isim fail yang memiliki sifat terus menurus. Sehingga di sini maknanya Allah benar-benar tidak menyukai sifat orang-orang yang sifat berlebihannya terus menerus baik di masa lampau, hari ini dan masa yang akan datang.

Aurat Adalah Senjata Iblis, Renungan Surat Al-A’raf (Aurat, Pakaian Yang Baik, dam Ketakwaan)

Mari kita perhatikan dengan seksama, bagaimana iblis dengan fokus menggoda keduanya dengan salah satu macam godaan yang ampuh lagi merusak, yaitu aurat. Misi iblis dalam rangka mengeluarkan Nabi Adam dan isterinya dari surga adalah dengan menyingkap aurat mereka. Hal ini dinyatakan dalam firman Alah subhanahu wa ta’ala,

فَوَسْوَسَ لَهُمَا ٱلشَّيْطَٰنُ لِيُبْدِىَ لَهُمَا مَا وُۥرِىَ عَنْهُمَا مِن سَوْءَٰتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَىٰكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَٰذِهِ ٱلشَّجَرَةِ إِلَّآ أَن تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ ٱلْخَٰلِدِينَ

Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”. (Qs. Al-A’raf: 20)

Akibat yang ditimbulkan dari mengikuti godaan iblis itu sangat fatal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءَٰتُهُمَا

“…Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya,…”. (Qs. A’araf: 22)

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan agar senantiasa menutup aurat, dan memperingatkan dengan keras agar tidak menampakkannya. Allah menjelaskan fungsi pakaian kepada kita, ini sebagaimana dalam firman-Nya,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَٰرِى سَوْءَٰتِكُمْ وَرِيشًا

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan…” (Qs. Al-A’raf: 26)

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ ٱلشَّيْطَٰنُ كَمَآ أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ ٱلْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَٰتِهِمَآ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya…” (Qs. Al-A’raf: 27)

Urgensi pakaian dalam ibadah pun Allah jelaskan dalam surat ini,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…” (Qs. Al-A’raf: 31)

Mari merenung dan bertadabbur sejenak kisah tentang bagaimana permusuhan antara yang hak dan batil itu bermula. Permusuhan abadi antara yang hak dan yang batil, yang besar sekali akibat dan efeknya. Allah menyajikan kisah ini dan diabadikan di dalam kitabnya agar senantiasa bisa dibaca berulang-ulang supaya dapat diambil pelajaran darinya. Kisah ini seakan menjadi pengingat bagaimana pola kerja dan tipu daya setan dalam menggoda dan menggelincirkan manusia. Kisah ini menyingkap langkah-langkah setan yang pernah dilakukan dan yang akan dilakukan dengan ragam dan gayanya. Al-Qur’an tidak menyajikan kisah ini semata-mata sebagai kisah sastra yang menarik untuk dikisahkan, ada yang lebih besar dari itu, yaitu mengenal pola kebatilan dan efek apa dibelakangnya.

Kisah menjadi pengingat kita bagaimana terbukanya aurat manusia akibat tipu daya iblis menjadi awal dari kisah perseteruan abadi ini. Sungguh pelajaran yang sangat berharga bagi mereka yang mau berfikir. Bisa jadi sulitnya menutup aurat itu disebabkan oleh maksiat yang kita lakukan, bisa jadi karena barang-barang atau makanan haram yang kita makan menjadikan hati kita terhijabi sehingga tersingkap aurat seseorang atau sulitnya seseorang menutup aurat.

Ketaatan kepada Allah hendaknya dilakukan dengan menghilangkan semua bentuk kehinaan dalam dirinya. Karena itulah syari’at islam memberikan tuntunan, bahwa dalam beribadah kepada Allah, aurat harus dalam kondisi tertutup. Jika tersingkapnya dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah bentuk kerusakan moral, maka bagaimana mungkin ia bermunajat kepada sang penciptanya dengan kondisi seperti itu. karenanya memakai pakaian yang bagus lagi sopan ketika bermunajat kepada Allah adalah bentuk syi’ar Islam dan bagian dari keindahan.

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Dia hanya memberikan batasan, bahwa apa saja yang melampaui batas itu adalah sebuah keburukan dan Allah tidak menyukai sesuatu yang melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala ketika menurunkan pakaian bagi manusia menghendaki agar manusia berbeda dengan binatang. Ini adalah bentuk rahmat dari-Nya dalam memelihara kemungkinan mereka agar tidak jatuh dalam kehinaan. Tetapi manusia sendiri yang justru menghinakan diri mereka.

Setelah menceritakan kisah perseteruan antara manusia dengan iblis, Allah memanggil manusia untuk mengingatkan mereka sebanyak empat kali;

  1. Allah mengingatkan tentang nikmat pakaian dan apa fungsinya bagi manusia. Dan bahwasanya sebaik-baik pakaian bagi manusia adalah ketakwaan.
  2. Allah mengingatkan manusia tentang kisah tersingkapnya aurat nenek moyang mereka menyusul kesalahan yang mereka lakukan akibat hasutan dan tipu daya setan. Jangan sampai mereka terpedaya seperti nenek moyang mereka dahulu terpedaya.
  3. Allah mengingatkan manusia agar ketika menghadap kepada-Nya, mereka selalu mengenakan pakaian yang terbaik. Allah izinkan mereka menikmati kesenangan dunia ini asalkan semua yang Dia haramkan mereka jauhi. Mereka diingatkan bahwa semua yang melampaui batas adalah suatu keburukan.
  4. Allah mengingatkan manusia bahwa para nabi telah diutus, kitab telah diturunkan dan petunjuk telah diberikan. Maka siapa yang memilih bertaqwa dan berbuat baik serta tidak mengikuti langkah-langkah setan yang menjadi musuh mereka, maka mereka tidak akan ditimpa kekhawatiran dan tidak pula ditimpa kesedihan.

Allahu a’lam bissowab…

Ambi Ummu Salman

Sumber:

  1. Qowaidul Hisan, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Dar al-Atsar
  2. Al mufrodatu fii ghoribil Qur’an, Ar Raghib al-Ashfahani
  3. Tarsir Al-Qurthubi jilid 7, Pustaka Azzam
  4. Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, Pustaka Imam Syafi’i
  5. Khowatir Qur’aniyyah, Amru Khalid, Al-I’tishom
  6. Furuqullughowiyah fi tafsiril kalimatil Qur’an, Ali Fahmi Annuzhi
  7. Modul Akademi Keluarga Parenting Nabawiyah
  8. Kelas Kaidah Tadabbur bersama Ustadz Ali Shodiqin,Lc

 [g1]

2 Comments

  1. Icha November 3, 2021
    • Ambi ummu salman November 3, 2021

Leave a Reply to Icha Cancel reply