Tadabbur Surat Al-Alaq ayat 1-5 (Keutamaan Membaca dan Ilmu)

Bismillahirrahmanirrahim…..

Surat al-‘Alaq merupakan surat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam dan jawaban dari apa yang ditanyakan oleh sebagian besar manusia tentang hakikat dirinya, dari mana dia berasal, apa tugas yang di emban di kehidupan ini atau pertanyaan kenapa saya diciptakan, dan pengetahuan tentang keberadaan manusia dan hubungannya dengan semesta serta hubungan antara seluruh makhluk di dunia ini dengan Sang Pencipta yang Maha Agung. Surat al-Alaq merupakan problem solver (pemecah masalah) dari apa yang menjadi pertanyaan dasar manusia tentang kebenaran ilmu pengetahuan. Surat al-Alaq juga memberikan pengetahuan tentang asal-usul pengetahuan yang selama ini dicari oleh manusia tentang hakikat dirinya dan alam semesta, serta memberikan informasi agar bagaimana seorang manusia tidak salah langkah dalam mencari kebenaran suatu pengetahuan.

 

Tadabbur Ayat

Ayat 1

Firman Allah:

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Qs. Al-Alaq: 1)

Makna firman Allah subhanahu wa ta’ala “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.”  Menurut Al-Qurthubi yakni, bacalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dan awali bacaan itu dengan menyebut nama Tuhanmu, yakni dengan menyebut bismillah pada permulaan setiap surat.

Oleh karena itu, huruf ba’ pada kata بِٱسْمِ dianggap menempati tempat nashob karena berposisi sebagai keterangan.

Huruf ba’ secara umum memiliki fungsi باء الإلصاق, (ilsoq) merupakan huruf ba’ yang bermakna “penyertaan atau melekatkan” dan ini merupakan fungsi utama dari huruf ba’ yang sering kita jumpai sebagaimana dalam ayat ini. Membaca adalah aktivitas yang terpenting, dan adanya ba’ ilsoq ini menunjukkan bahwa aktivitas membaca kita harus menempel kepada Allah, senantiasa menggantung atau meminta pertolongan kepada Allah. Aktivitas membaca ini harus kita tempelkan kepada Allah agar tidak hanya menjadi sekedar pengetahuan. Agar membaca kita menjadi ilmu, karena ilmu itu mengantarkan kita kepada Allah, melahirkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Namun ada yang berpendapat bahwa huruf ba’ tersebut bermakna ‘ala (atas), yakni atas nama Tuhanmu. Dengan prediksi seperti itu maka maf’ul (objek) kalimat tersebut tidak disebutkan, seharusnya adalah: iqra’ Al-Qur’an bismi rabbika (bacalah Al-Qur’an, dan awalilah bacaan itu dengan menyebut nama Tuhanmu). Jika kita memperhatikan bagaimana Allah menyajikan lima ayat pertama dalam surat al-Alaq, maka kita akan mendapati ketiadaannya objek untuk dibaca dalam ayat tersebut. Peniadaan objek bacaan menandakan bahwa Allah tidak memberikan arti secara spesifik dalam membaca, tidak membaca ayat al-Qur’an maupun membaca apa yang terjadi dalam kondisi sosial masyarakat saat itu. Sehingga perintah membaca untuk mendapatkan kebenaran dari pengetahuan benar-benar luas dan menyeluruh. Setidaknya Allah mengulangi dua kali perintah “ ا ق رأ ” dengan meniadakan objek bacaannya.

Potongan ayat pertama terdapat perintah membaca, didampingi dengan penyebutan nama Allah subhanahu wa ta’ala dan selanjutnya disebutkan bahwa Dia-lah sang Pencipta. Menunjukkan bahwa dalam membaca ataupun mencari kebenaran tentang pengetahuan langkah pertama adalah mengamati ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian mempelajari tentang ilmu yang Allah sampaikan melalui perkatannya di dalam kitab-Nya.

Kata iqra’ yang pertama yang pertama adalah qiroatu at ta’rif yaitu membaca untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala melalui tiga kitabnya, yaitu: 1) objek bacaan yang berasal dari buku/kitab suci yang disebut sebagai kitabullahi almasthur, 2) objek bacaan yang berasal dari makhluk Allah dan ciptaannya yang disebut sebagai kitabullahi al-mandzuur dan 3) objek bacaan yang berasal dari peradaban yang dibangun oleh manusia disebut sebagai kitabullahi al-mansyur. Dalam membaca ketiga objek tersebut harus benar-benar terlepas dari interpretasi individu terhadap ketiga-tiganya agar terlepas dari penilaian yang subjektif, sehingga berakibat terhadap kesalah pahaman dalam memahami maksud dari sang Pencipta.

 

Faedah dari ayat 1 ini adalah:

  1. Kita harus memulai pendidikan kita dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Rasulullah yang diperintahkan untuk membaca Al-Qur’an pertama dengan meminta pertologan Allah yang menciptakan segala sesuatu. Al-Qur’an berdasarkan urutan turun dan urutan surat ruhnya sama, dimulai dengan menyebut nama Allah. Surat Al-Alaq dimulai dengan iqro’ bismirobbik. Ilmu yang dimulai dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau kita ingin menghilangkan kejahiliyaan caranya adalah dengan ilmu. Yaitu ilmu yang dimulai dengan bismirabbik dan bismillahirrahmanirrahim. Maka kita harus mendidik generasi dengan ilmu yang didahului dengan asma Allah. Pendidikan ini tidak akan berhasil tanpa menyebut nama Allah, jangan ada keangkuhan dalam berilmu, karena diatas semua yang berilmu ada Al Alim, Allah yang Maha Mengetahui.
  2. Kata iqra’ yang pertama yang pertama adalah qiroatu at ta’rif yaitu membaca untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala melalui tiga kitabnya. kitabullahi almasthur, kitabullahi al-mandzuur, dan kitabullahi al-mansyur.
  3. Kata ٱقْرَأْ lebih didahulukan daripada kata خَلَقَ. Sehingga dari sini kita mengetahui bahwa nikmat ilmu lebih itu utama dari nikmat penciptaan. Ilmu pasti membawa kebaikan, mana kala ilmu itu mengantarkan seorang hamba kepada Allah maka ia pasti akan membawa kebaikan. Ilmu adalah ukuran kebaikan, makanya semua nabi diberi ilmu dan para nabi mewariskan ilmu bukan harta. Ada pun penciptaan (anak yang Allah berikan) tidak selalu menjadi kebaikan. Ada anak yang menjadi anugerah (kebaikan) dan ada pula anak yang menjadi fitnah atau ujian bagi orangtuanya.
  4. Aktivitas membaca harus kita tempelkan kepada Allah agar tidak hanya menjadi sekedar pengetahuan. Agar membaca kita menjadi ilmu, karena ilmu itu mengantarkan kita kepada Allah, melahirkan rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

 

Ayat 2

Firman Allah:

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (Qs. Al-Alaq: 2)

Firman Allah ini bermakna Allah menciptakan keturunan Nabi Adam dimulai dari gumpalan darah.

Kata عَلَقٍ adalah bentuk jamak dari kata ‘alaqah. Dan makna dari kata ‘alaqah adalah: darah yang menggumpal, bukan darah yang mengalir, karena darah yang mengalir disebut dengan damm masfuuh.

Para ulama berpendapat penyebutan bentuk jamak pada عَلَقٍ maksudnya adalah menerangkan bahwa kata ٱلْإِنسَٰنَ yang disebutkan sebelumnya bermakna jamak (kata insan dapat digunakan dalam bentuk tunggal dan juga dapat digunakan dalam bentuk jamak. Yakni, seluruh manusia diciptakan dari gumpalan darah, setelah sebelumnya berbentuk air mani.

‘Alaqah adalah segumpal darah yang lembut. Dinamakan ‘alaqah karena darah tersebut selalu menjaga (ta’allaqa) kelembutannya pada setiap waktu, jika darah itu tidak lagi lembut atau kering maka tidak akan disebut dengan ‘alaqah.

Kata ‘alaqah dalam makna lain memiliki makna menggantung, dan posisi ‘alaqah adalah menggantung di dalam rahim. Dari ayat yang kedua kita mendapatkan inspirasi bagaimana agar kita senantiasa bergantung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. di alam rahim, di alam dunia, di alam kubur dan di alam akhirat kita selalu bergantung kepada rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ternyata rahmat Allah adalah sesuatu yang sangat kita butuhkan bahkan untuk masuk surgaNya Allah kita membutuhkan rahmatNya.

Adapun penyebutan insan (manusia) pada ayat ini secara khusus, karena manusia memiliki kehormatan yang lebih dibandingkan makhluk yang lainnya. Penyebutannya itu adalah penghormatan bagi mereka.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa maksud penyebutannya adalah untuk menjelaskan kadar nikmat yang diberikan kepada mereka, yakni mereka diciptakan bermula dari gumpalan darah yang hina, lalu setelah itu mareka menjadi seorang manusia yang sempurna, yang memiliki akal dan dapat membedakan segalanya.

Faedah Ayat 2:

  1. Manusia lebih utama dari pada makhluk ciptaan Allah yang lain. Manusia diciptakan memiliki akal dan dapat membedakan segalanya. Namun akal saja tidak cukup untuk melihat. Kita membutuhkan Al-Qur’an sebagai panduan (petunjuk). Karena Al-Qur’an adalah nikmat terbesar bagi manusia dan Al-Qur’an adalah sumber ilmu.
  2. Ketergantungan kita yang paling besar adalah ketergantungan kita kepada rahmat Allah, kita sangat membutuhkan rahmat Allah baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 

Ayat 3

Firman Allah:

ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (Qs. Al Alaq: 3)

Kata ٱقْرَأْ yang dimulai dengan huruf alif mahmuzah (yang berharakat), dimana huruf alif ini secara linguistik klasik memiliki karakter jahr, namun menurut linguis modern huruf ini bukan jahr juga bukan hams karena tampat keluarnya adalah katup pita suara itu sendiri. Karakter lain yang dimiliki huruf ini adalah shiddah, istifal, infitaḥ, dan iṣmat. Dari proses artikulasinya, huruf ini memiliki potensi kuat untuk menunjukkan arti sesuatu yang kuat, dan nyata, kata perintah dalam bahasa arab kebanyakan menggunakan huruf ini sebagai huruf tambahan, wazan yang menunjukkan arti lebih dan kekaguman juga didahului dengan huruf ini. Ada juga makna lembut, lemah, dan rendah, yang dimiliki oleh huruf ini berdasarkan karakter istifal dan infitaḥnya. Dari sini dapat difahami bahwa huruf hamzah dalam kata qara’a menuntut adanya sikap realistis yang kuat.

Kata perintah untuk membaca pada wahyu pertama disini diawali dengan huruf alif mahmuzah yang seperti telah dijelaskan di atas memiliki arti kuat dan nyata. Maksudnya, agar perintah ini benar-benar dilaksanakan dan sangat dianjurkan. Alasan lain penggunaan alif mahmuzah untuk memulai kata perintah adalah agar yang diperintah merasakan tekanan ketika orang yang memerintah mengucapkan perintah dimulai dengan huruf yang menyerupai bunyi gertakan.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala, ٱقْرَأْ “Bacalah.” Ini adalah penegasan dari kata yang sama yang disebutkan pada awal surat ini. kata ini merupakan kalimat yang telah sempurna, oleh karena itu lebih baik jika diwaqafkan, barulah setelah itu dilanjutkan kembali dengan kalimat yang baru, yaitu: وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ “Dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.”

Pendapat yang kedua bahwa pengulangan kata iqra’ disini bukan menjadi penegasan, dua pengulangan kata iqra’ memiliki makna yang berbeda, karena tidak ada sinonim dan pengulangan dalam Al-Qur’an. Sehingga makna iqra’ yang pertama dengan iqra’ yang kedua adalah berbeda. Kata iqra’ yang pertama yang pertama adalah qiroatu at ta’rif yaitu membaca untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Iqra’ yg kedua adalah ketika kita sudah mengenal Allah subhahu wa ta’ala kita tidak berhenti sampai disitu, kita berusaha mengenal lebih dalam Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika kita mengneal Allah subhanahu wa ta’ala dengan lebih dalam maka kita akan mendapati betapa Allah subhanahu wa ta’ala sangat baik kepada kita, sangat memuliakan kita melebih makhluk-makhluk yang lain. Dan diantara semua pemberian Allah kepada kita yang paling berharga adalah yang berkaitan dengan ilmu yang ketika kita mengetahui hal ini kita akan merasa senantiasa bersyukur. Makanya iqra’ yang kedua adalah qiroatu at takrim, ketika kita mengetahui Allah memuliakan kita maka kita akan senantiasa bersyukur kepadaNnya. Membaca yang dengannya kita menjadi hamba yang senantiasa bersyukur karena mendapati kedermawanan Allah.

 

Makna dari kata ٱلْأَكْرَمُ pada ayat ini adalah al kariim (Yang Maha Pemurah), namun berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Al Kalbi, ia mengatakan bahwa makna dari kata ini adalah al haliim (Yang Maha Lembut), yakni lembut terhadap ketidak tahuan hamba-hambaNya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika mereka melakukan kesalahan.

Akan tetapi makna yang pertama lah yang lebih diunggulkan, atas dasar segala nikmat yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, hal itu menunjukkan akan kemurahan-Nya.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa makna firman Allah subhanahu wa ta’ala ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ , yaitu wahai Muhammad, bacalah dan Tuhanmu akan menolong dan memberi pemahaman kepadamu, walaupun kamu bukanlah seorang yang pandai membaca. Sedangkan ٱلْأَكْرَمُ adalah memahami akan ketidak tahuan hamba-Nya.

Faedah Ayat 3:

  1. Membaca adalah syari’at islam yang sangat ditekankan, membaca bukan hanya sekedar hobby atau kegiatan biasa. Membaca adalah gerbang ilmu, manusia dimuliakan dengan ilmu. Maka bacalah dengan ilmu bukan sekedar membaca biasa. Membaca adalah kebutuhan, nutrisi bagi jiwa dan akal.
  2. Salah satu kemurahan Allah adalah dengan memberikan manusia dengan ilmu, memberikan pemahaman kepada manusia dengan ilmu yang dimilik-Nya. Maka kata iqra’ dalam ayat 3 ini mempunyai tujuan agar kita membaca yang dengannya kita menjadi hamba yang senantiasa bersyukur karena mendapati kedermawanan Allah kepada kita.

 

Ayat 4

Firman Allah:

ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (Qs. Al Alaq: 4)

Kata عَلَّمَ yang bermakna mengajarkan, disini mengandung unsur proses. Ada proses di dalamnya, tidak secara lansung terjadi.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala ini yakni allah mengajarkan manusia menulis dengan menggunakan alat tulis.

Sa’id meriwayatkan, dari Qatadah, ia berpendapat: Qalam adalah salah satu nikmat Allah yang paling besar, kalau saja qalam tidak diperkenalkan kepada manusia maka agama tidak dapat berdiri tegak, dan kehidupan pun tidak dapat berjalan sesuai dengan semestinya. Hal ini adalah bukti nyata betapa Allah sangat Pemurah bagi para hamba-Nya, karena Ia telah mengajarkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui, hingga mereka dapat meninggalkan gelapnya kebodohan dan menuju cahaya ilmu.

Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada manusia akan fadhilah ilmu menulis, karena di dalam ilmu penulisan terdapat hikmah dan manfaat yang sangat besar, yang tidak dapat dihasilkan kecuali melalui penulisan, begitu pun dengan hukum-hukum yang mengikat manusia agar selalu berjalan di jalur yang benar.

Penulisan juga memperlihatkan manfaatnya untuk menjaga kisah kaum-kaum terdahulu atau sejarah mereka, bahkan Kitab-Kitab suci yang diturunkan oleh Allah mungkin tidak dapat bertahan lama jika tidak ada ilmu penulisan. Pada intinya, ilmu menulis sangat berguna sekali, jika ilmu itu tidak ada maka segala hal yang berkaitan dengan agama dan keduniaan tidak akan dapat banyak berguna karena tidak bertahan lama.

Adapun penulisan qalam sebagai alat tulis, karena kalam itu yuqlam (memotong).

Sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar menyebutkan, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai rasulullah, apakah aku boleh menuliskan setiap hadits yang aku dengar darimu?” beliau menjawab, “Tentu, tulislah, karena Allah telah mengajarkan manusia untuk mempergunakan alat tulis.”

Mujahid meriwayatkan, dari Abu Umar, ia berkata: Allah menciptakan empat hal lansung dengan Tangan-Nya, kemudian setelah menciptakan empat hal itu Ia menciptakan hewan-hewan dan berkata, “Kun!” maka terciptalah hewan-hewan itu. Adapun empat hal yang diciptakan dengan Tangan-Nya adalah: qalam, arsy, surga And, dan Adam ‘alaihissalam.

Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud oleh ayat ini yang diajarkan untuk mempergunakan alat tulis. Pendapat pertama menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah Nabi Adam. Karena memang Nabi Adam lah manusia yang pertama kali dapat menulis. Pendapat ini disampaikan oleh Ka’ab Al Ahbar.

Pendapat kedua menyebutkan, bahwa orang yang diajarkan cara menulis dengan alat tulis adalah Nabi Idris, karena beliau adalah orang yang pertama melakukan penulisan. Pendapat ini disampaikan oleh Adh-Dhahhak.

Pendapat ketiga menyebutkan, bahwa Allah memasukkan ilmu ke dalam kalbu setiap manusia yang ingin menulis dengan mempergunakan alat tulis, karena manusia tidak mungkin mengetahui ilmu penulisan itu kecuali dengan pengajaran dari Allah. Dengan mengajari mereka ilmu penulisan itu maka lengkaplah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ilmu penulisan itu adalah nikmat dari-Nya, sebagai penyempurna segala nikmat yang telah diberikan.

Para Ulama dari madzhab Maliki berpendapat bahwa qalam itu terbagi menjadi tiga, qalam yang pertama diciptakan oleh Allah lansung dengan tangan-Nya, qalam ini diperintahkan oleh Allah untuk menulis sendiri apa yang dikehendaki-Nya.

Qalam yang kedua adalah qalamnya para malaikat, qalam ini diserahkan oleh Allah kepada para malaikat-Nya untuk mencatat seluruh takdir, kejadian alam semesta, dan amal perbuatan.

Sedangkan qalam yang ketiga adalah qalam manusia, Allah juga mengajarkan ilmu qalam kepada manusia agar mereka dapat menuliskan apa yang ingin mereka tuliskan dan meraih apa yang mereka maksudnkan.

Menulis memiliki fadhilah yang sangat penting, menulis juga salah satu cara untuk menjelaskan, dan menjelaskan adalah salah satu keahlian yang diberikan kepada manusia.

Ulama berpendapat pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai Rasul, kala itu kaum Arab adalah kaum yang paling terbelakang dalam hal penulisan, dan salah satu orang yang tidak mengetahui ilmu tersebut adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, ilmu itu seakan dijauhkan darinya, agar lebih terbukti kemukjizatan yang diturunkan kepada beliau dan lebih kuat hujjah yang beliau miliki.

Faedah Ayat 4:

  1. Membaca dan menulis adalah kunci ilmu pengetahuan
  2. Pena adalah penjaga ilmu. Ikatkah ilmu dengan tulisan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ

“Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, no.4434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Yang dimaksud qayyidul ‘ilma adalah kuatkan dan hafalkan serta jaga jangan sampai lepas. Ilmu jika terus didengar, hati akan sulit mengingatnya. Ilmu itu diikat lalu dijaga. Jika hati sering lupa, ilmu itu perlahan-lahan akan hilang. Itulah sebabnya kenapa penting untuk mencatat. Allah pun telah mengajarkan kepada hamba-Nya untuk mencatat karena itu bermaslahat untuk mereka.

 

Ayat 5

Firman Allah:

عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Qs. Al Alaq: 5)

Firman Allah subhanahu wata’ala عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ, para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata ٱلْإِنسَٰنَ (manusia) pada ayat ini adalah Nabi Adam (seorang), beliaulah yang diajari segala sesuatu. Dalil penafsiran ini adalah firman Allah pada ayat yang lain surat al baqarah ayat 31, yaitu وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”

Tidak ada apapun yang tidak diberitahukan namanya kepada Nabi Adam, dan segala sesuatu itu diberitahukan kepada Nabi Adam dengan segala bahasa. Lalu ilmu itu ditunjukkan kepada para malaikat untuk membandingkan, maka muncullah kelebihan yang dimiliki oleh Nabi Adam ‘alaihissalam di atas para malaikat, jelaslah nilai yang dimilikinya, dan terbuktilah kenabiannya. Pada saat itu tegaklah hujjah Allah dan juga hujjah Nabi Adam atas para malaikat yang sebelumnya tidak menyetujui keputusan Allah menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka bumi. Maka para malaikat pun akhirnya menyadari kesalahannya, setelah diperlihatkan keistimewaan yang dimiliki oleh Nabi Adam, setelah melihat lansung Kebesaran Kuasa Allah, dan setelah mendengar betapa agungnya beban yang diemban. Kemudian semua ilmu yang diberikan Nabi Adam itu diwariskan kepada anak cucunya secara turun-temurun, terbawa ke seluruh pelosok bumi, dari satu kaum ke kaum lainnya, hingga datangnya hari kiamat nanti.

Makna ini berbeda dengan makna yang disampaikan oleh beberapa ulama, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata ٱلْإِنسَٰنَ pada ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dlailnya adlah firman Allah pada surat An Nisa’ ayat 113, yaitu وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَ “Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.”

Dengan penafsiran seperti itu maka kata وَعَلَّمَكَ pada ayat ini adalah bentuk lampau (madhi) yang bermakna mustaqbal (masa depan), karena surat Al Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan.

Lalu ada juga yang berpendapat bahwa makna kata insan pada ayat di atas untuk umum, yakni seluruh manusia. Dalilnya adalah firman Allah subahanahu wata’ala dalam surat Al Nahl ayat 78, وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.”

 

Faedah ayat 5:

  1. Bahwa Allah subhanahu wata’ala yang Maha Agung, Maha Perkasa, Raja segala raja, telah bermurah hati memberikan rahmatnya kepada manusia. Allah memuliakan manusia dengan pilihan, satu diantaranya yaitu agar menjadi tempat diterimanya cahaya Ilahi, tempat menyimpan hukmahNya, tempat turunnya kalimatNya, dan tempat perumpamaan kuasaNya yang Dia kehendaki.
  2. Islam senantiasa menganjurkan untuk menuntut ilmu, memerintahkannya, mengangkat derajat orang yang berilmu, dan mengistimewakan mereka atas yang lainnya dengan ilmu.
  3. Sesungguhnya sumber ilmu yang bermanfaaat adalah dari Allah subhanahu wata’ala. Dialah yang telah mengajarkan dengan oerantaraan pena dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahui. Dan kapan pun sifat kemanusiaan itu menyimpang dari manhaj ini dan iilmunya terpisah dari ikatan dengan manhaj Allah, ilmunya itu kembali menjadi bencana dan penyebab malapetaka darinya.
  4. Hakikat Pemberian Ilmu itu adalah berurutan, sesuai tahapan, perlu waktu, tidak instan. Dan ini berlaku pula untuk pendidikan anak-anak kita.

 

 

Allahu a’lam..

Ambi Ummu Salman

Sumber:

  1. Tafsir ath-Thabari jilid 26, Pustaka Azzam
  2. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10, Pustaka Imam Syafi’i
  3. Tafsir al Qurthubi jilid 20, Pustaka Azzam
  4. Ali Markasan Al-Ghafani, Lc, Modul tadabburi Mustawa 2 (Bahasa Arab dan Aplikasinya dalam Tadabbur Al-Qur’an), LPBA Tadabburi
  5. Kajian 2 jam bersama Ustadz Budi Ashari, Lc dengan tema 10 Pelajaran Pendidikan dalam Surat Al-Fatihah
  6. Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam Volume 1 Nomor 1, Juni 2020

 

2 Comments

  1. Wahyu September 7, 2021
    • Ambi ummu salman September 8, 2021

Add Comment