Kisah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Pengasuhan Sang Kakek

Ibnu Ishaq berkata, “Selama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ibunya, Aminah binti Wahab dan kakeknya, Abdul Muththalib, beliau berada dalam pemeliharaan Allah dan penjagaan-Nya. Allah menumbuhkan beliau dengan penumbuhan yang baik karena Allah berkehendak memuliakan beliau. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia enam tahun, ibunya, Aminah binti wahab meninggal dunia.”

Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup bersama Abdul Muththalib. Dia menyantuninya dan sangat sayang kepadanya, bahkan belum pernah dia lakukan terhadap salah satu anaknya, dia mendudukkannya dekat tempat duduk Abdul Muththalib.

Pernah suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menduduki tempat duduk yang disediakan kaum Quraisy untuk Abdul Muththalib. Tempat duduk itu sebagai bentuk penghormatan kepada kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia seorang pembesar suku Quraisy yang ditaati. Dialah yang berwenang untuk berbicara atas nama Quraisy kepada penguasa negeri-negeri tetangga; dia pula yang menduduki jabatan duta besar kabilah Quraisy, dan menerima delegasi dari luar.

Rasullah dalam Pengasuhan Sang kakek (Ambi Ummu Salman)

Abdul Muththalib sebagai tokoh mempunyai tempat duduk di dekat Ka’bah. Anak-anaknya duduk di sekitar tempat duduk tersebut hingga ia datang kepadanya. Tidak ada seorang pun di antara anak-anaknya yang berani duduk di tempat tersebut karena hormat kepadanya. Ketika masih kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghampiri tempat tersebut kemudian duduk di atasnya. Melihat beliau duduk di tempat kakeknya, paman-pamannya mengangkat beliau dari atasnya sehingga dengan demikian mereka bias menjauhkan beliau dari Abdul Muththalib. Melihat perlakuan paman-pamannya seperti itu terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdul Muththalib berkata, ‘Jangan larang anakku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) duduk di tempat ini. Demi Allah, ia kelak menjadi orang besar.’ Kemudian Abdul Muththalib mendudukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersamanya, mengusap punggungnya dengan tangannya, dan ia senang atas apa yang diperbuatnya.

Kakeknya sangat mencintai beliau. Apabila ia memintanya untuk suatu keperluan, beliau datang dengannya. Suatu hari, beliau diminta untuk mencari seekor unta kemudian beliau tertahan. Lantas kakeknya bertawaf di Ka’bah dengan berjalan kaki seraya berkata:

Wahai Tuhan..kembalikan pengendaraku Muhammad

Kembalika ia padaku, dan buatlah ia untukku mahir dalam bekerja

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dengan membawa unta itu, ia berkata kepadanya, ‘’Wahai anakku, sungguh aku sangat sedih karenamu, seperti perempuan. Sedih yang tidak berpisah denganku selamanya.”

Namun, pemeliharaan itu tidak berlansung lama, karena setelah dua tahun kemudian Abdul Muththalib meninggal, di saat usia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah delapan tahun.

Abu Thalib adalah saudara kandung Abdulullah bin Abdul Muththalib, ibu mereka adalah Fatimah binti Amr bin ‘Aidz. Oleh karena itu, sebelum Abdul muthalib meninggal, dia sudah berpesan kepada Abu Thalib untuk memelihara Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hikmah Kisah

  1. Hikmah Allah menghendaki Rasul-Nya tumbuh dalam keadaan yatim piatu adalah supaya dapat ditangani oleh penjagaan dari Allah saja, jauh dari lengan yang memungkiri dalam pemberian kepercayaan, dan jauh dari harta kehidupan yang menyenangkan. Dengan demikian, hatinya tidak condong pada kemegahan harta dan pangkat, serta beliau tidak terpengaruh oleh apapun yang ada disekitarnya, seperti jabatan tinggi atau pimpinan, sehigga menepis anggapan orang banyak yang merasa ada bercampurnya kesucian nubuwah dengan pangkat dunia, hingga mereka tidak mengira beliau membuat yang pertama demi mencapai kepada yang kedua.
  2. Dari cuplikan kisah bagaimana Abdul Muththalib bersikap lembut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menduduki tempat duduknya yang bahkan anak-anaknya pun tidak berani melakukannya. Terlihat bahwa memang seorang kakek dan nenek biasanya memiliki kecintaan lebih kepada cucunya, bahkan kecintaannya melebihi orangtuanya. Yang seringkali terlihat bahwa kakek nenek cenderung memanjakan cucunya, hal ini adalah hal yang sewajarnya maka kita sebagai orang tunya harus bijak dalam menyikapinya.
  3. Dari kisah ini kita belajar bagaimana cara komunikasi yang dilakukan Abdul Muththalib yang menggunakan kalimat positif dan selalu bicara baik. Apabila kita marah maka lebih baik diam, diam itu lebih baik dari pada kita melampiaskan kemarahan kita. Dalilnya ialah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam”. (HR Muslim).
  4. Di usia delapan tahun kakeknya meninggal saat Nabi merasa nyaman dengannya. Nabi diajarkan agar tidak bersandar kepada makhluk, menggantungkan diri hanya kepada Allah. Seorang ulama salaf berkata, “Siapa yang ingin bahagia menjadi orang yang paling kuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.” Dan tempat bersandar yang paling kokoh adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. “Hasbunallah wa ni’mal wakil (cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar).” (QS. Ali Imran: 173)
  5. Musibah-musibah yang dialami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak masa kecil beliau, seperti ibunya meninggal, kemudian kakeknya, setelah sebelumnya beliau tidak merasakan kasih sayang seorang ayah, dan bebagai kesedihan yang dialaminya, semua ujian itu telah membuatnya berhati lembut. Kesedihan-kesedihan itu melelahkan hati dan memisahkannya dari kotoran-kotoran keras kepala, sombong, berbangga diri, dan membuatkan lebih banyak lemah lembut dan rendah diri.
  6. Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup sebagai yatim dan jauh dari pendidikan Ayah, ibu dan kakeknya. Ini agar para penentang dakwah islam tidak memiliki dalih untuk mendengungkan keragu-raguan ke dalam hati dan pikiran manusia bahwa agama Islam hasil dari pemikiran ayah, ibu, dan kakek Muhammad. Jika saja Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak menjadi yatim pastilah fitnah semacam ini muncul. Sebab, kakek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat di tengah-tengah kaumnya. Sang kakek adalah penanggung jawab Ka’bah dan pelayan jama’ah haji saat menunaikan ibadah haji.
  7. Keyatiman Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjadi cermin atau pelajaran bagi segenap anak-anak yatim di setiap zaman dan dimana pun berada, agar mereka mengetahui bahwa menjadi yatim bukan berarti kita boleh berpangku tangan mengutuki nasib serta mengharapkan belas kasih orang lain.
Rasulullah dalam Pengasuhan sang Kakek-2 (Ambi Ummu Salman)

Add Comment