Bismillahirrahmanirrahim..
Perintah Allah yang pertama kali turun bukan semata-semata perintah membaca sebagaimana dalam firman Allah surat Al-Alaq ayat 1,
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”
Ini akan berbahaya jika firman Allah subhanallahu wata’ala ini kita fahami hanya berhenti sampai pada perintah membaca, padahal membaca ini sekedar banyak membaca belum tentu bermanfaat, membaca itu bisa menjadi pintu ilmu dan pintu kebaikan, tetapi sekedar membaca maka dia bisa menjadi pembuka pintu-pintu keburukan. Ilmu dan wawasan memang didapatkan dengan cara banyak membaca tetapi jika baacaan yang kita lahap tidak berisi ilmu maka banyak membaca tidak menjadikan kita dan anak-anak semakin cerdas.
Jika kita mengingat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara mauquf, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا لَبِسَتْكُمْ فِتْنَةٌ؟ يَهْرَمُ فِيهَا الْكَبِيرُ, وَيَرْبُو فِيهَا الصَّغِيرُ, وَيَتَّخِذُهَا النَّاسُ سُنَّةً, فَإِذَا غُيِّرَتْ قَالُوا: غُيِّرَتِ السُّنَّةُ؟
قَالُوا: وَمَتَى ذَلِكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟
قَالَ: إِذَا كَثُرَتْ قُرَّاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ فُقَهَاؤُكُمْ, وَكَثُرَتْ أُمَرَاؤُكُمْ, وَقَلَّتْ أُمَنَاؤُكُمْ, وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ
“Bagaimana dengan kalian jika kalian tertimpa fitnah yang di tengah-tengah fitnah tersebut orang dewasa menjadi tua, anak kecil menjadi tumbuh besar, dan manusia menjadikannya (menganggapnya) sebagai sunnah. Jika ada sedikit saja dari fitnah itu yang ditinggalkan orang, maka akan dikatakan, “Sunnah telah ditinggalkan?”
Mereka bertanya, “Kapan hal itu terjadi, Wahai Aba ‘Abdurrahman?”
Ibnu Mas’ud (Aba ‘Abdurrahman) menjawab, “Apabila para pembaca Al-Qur’an (penghafal Al-Qur’an) dari kalian banyak, tetapi fuqaha kalian sedikit; jika umara’ kalian banyak, tetapi orang-orang yang amanah di antara kalian sedikit; kehidupan dunia dicari dengan amalan akhirat.” (HR. Ad-Darimi).
Qurro’ yang mana pokok awalnya maknanya adalah pembaca alqur’an namun makna secara umum bermakna banyak pembaca kitab namun fuqohanya semakin sedikit. Maka dari hadits tentang zaman fitnah ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sekedar banyak membaca tidak menjadikan seseorang semakin matang pemahamannya, semakin mendalam ilmunya, dan semakin luas wawasannya. Sebaliknya anak justru kebingungan, bahkan orang dewasa pun bisa kebingungan dan mengalami pendangkalan-pendangkalan berpikir yang berakibat anak enggan mengunyah pengetahuan serta malas berpikir. Juga menjadikan anak sulit mengaitkan antar berbagai informasi yang diraihnya melalui membaca. Anak seolah-olah pintar tetapi sebenarnya pemahamannya sangat lemah dan rapuh.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah, zaman sebelum itu disebut sebagai zaman jahiliyyah. Disebut zaman jahiliyyah bukan karena tidak ada budaya literasi pada masyarakat arab, budaya baca tulis saat itu sangat hidup pada masa itu. Salah satu penandanya adalah diadakannya festival syair tahunan yang berlansung di sana. Namun ini tidak serta merta menjadikan itu manusia dekat dengan hidayah, hidup dalam naungan cahaya ilmu dan hidayah. Pada zaman itu bahwa budaya literasi itu hidup dengan subur, orang dinilai dari keunggulangnnya dalam bersyair, orang dinilai dari kefasihan berbahasanya. Namun ternyata semua itu tidak cukup mengantarkan manusia kepada cahaya ilmu, malah mereka disebut berada pada zaman jahiliyyah (kebodohan), lalu apa sebenarnya makna jahiliyah?. Jahiliyah adalah seseorang yang memaknai atau memahami sesuatu keluar atau menyimpang dari kebenaran/hakikatnya. Walaupun seseorang itu bisa berdebat dan berdiskusi namun jika yang dipahami itu keluar dari kebenaran maka dia masih termasuk orang yang jahil (bodoh)
Robyn McCallum menulis sebuah buku yang bertajuk Ideologies of Identity in Adolescent Fiction: The Dialogic Construction of Subjectivity (Children’s Literature and Culture), buku ini menunjukkan bagaimana karya-karya fiksi melalui dialog yang dibangun menawarkan ideologi dengan berbagai akar serta kematangannya sendiri-sendiri, jadi sebuah cerita itu tidak bebas nilai. Baik karya satra atau non satra, fiksi atau non fiksi itu semua tidak bebas nilai. Menjadi masalah manakala ideologi tersebut tidak matang tersampaikan. Ini kita belum berbicara tentang haq dan bathil, ideologi itu bersesuaian dengan kita atau tidak, mengenai itu bisa diterima menurut dinul islam atau tidak. Karena itulah sebuah karya fiksi yang disodorkan kepada orang-orang dewasa, kepada remaja, apalagi kepada anak-anak perlu digarap oleh orang-orang yang matang. Ini kalau digarap by design secara terencana oleh orang dewasa untuk membawakan pesan atau ideologi kepada anak atau remaja maka ini akan menjadi jauh lebih aman dan jauh lebih baik. Lalu bagaimana jika kita menjumpai buku yang ditulis oleh anak-anak atau remaja? sekiranya kemampuan bertutur penulisnya bagus perlu tetap supervisi dari orang dewasa yang kompeten. Ini apabila dimaksudnya agar buku yang dibaca oleh anak kita itu dapat mematangkan kepribadian mereka dan mengokohkan identitas dirinya. Lalu muncul pertanyaan, bukankah anak-anak perlu memiliki wawasan yang luas?. Betul, anak perlu mengetahui beragam hal sehingga ia memiliki pikiran yang luas dan terbuka tetapi untuk berpikir yang luas itu dia perlu memiliki landasan yang kuat baik itu landasan ideologi maupun landasan ilmu. Karena tanpa landasan yang kuat, anak bukan berpikir terbuka tetapi ia malah tidak memiliki arah yang jelas, mudah terbawa arus dari bacaan ang dibacanya. Berpikiran terbuka itu berati ia dapat memahami orang lain sementara ia tetap teguh dengan pendirian serta prinsip yang diyakininya. Kalau dia malah tidak jelas sikapnya itu bukan disebut perpikiran terbuka melainkan dia tidak memiliki prinsip atau tidak punya sikap.
Yang diperintahkan oleh agama Islam pertama kali bukanlah sekedar membaca tapi satu paket “iqra’ bismirabbikalladzi khalaq” artinya membaca harus dilandasi dengan tujuan yang jelas. Membacanya sudah ada arahnya dalam rangka apa, untuk apa kita membaca. Menariknya, dalam Al-Qur’anul kariim itu tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Tetapi ketika kita membacanya kita dituntun untuk membaca ta’awudz, kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala dari godaan dan tipu daya syaiton. Ketika yang dibaca itu benar bahkan pasti benar namun ketika niat yang menggerakkan, sikap yang dibawa untuk menelaah itu salah maka kalimat atau bacaan yang benar itu bisa membawa kita kepada pintu keburukan-keburukan.
Jadi kesimpulannya yang menjadi bacaan anak kita itu harus benar, baik dan shahih. Namun itu saja tidak cukup karena harus disertai niat dan tujuan yang juga harus benar dan lurus. Dan ini perlu terus dikokohkan, diingatkan dan dimatangkan.
Untuk dapat memahami dengan benar, memahami secara utuh, matang dan mendalam, melakukan penghayatan lebih lanjut, berpikir pada arah yang lebih tinggi dan dapat menggali pengetahuan secara lebih mendalam, maka mutlak diperlukan kemapuan berbahasa. Dan kemampuan berbahasa ini tidak datang dengan sendirinya, harus disiapkan, dibentuk, dan harus dilatih kepekaannya dalam berbahasa. Membiasakan anak berbahasa dengan tertib, dengan runtut menggunakan kalimat-kalimat yang benar akan berimbas pada dua aspek sekaligus. Yang pertama adalah pada aspek aqliyah (akal) dan yang kedua pada aspek dzuq-nya (perasaan). Pada aspek yang berkenaan dengan aqliyah itu, cara kita mengungkapkan pilihan-pilihan yang berhubungan dengan tingkat kedalaman dan kemampuan kita memahami apa-apa yang kita baca. Bagaimana kita bisa sampai pada tataran tertib isltilah, menggunkaan istilah-istilah dengan benar sesuai dengan peruntukannya, tidak berbelok-belok. Karena ketika kita salah memahami atau gagal paham dapat berakibat sangat fatal dala memahami dinul islam yang haq ini, apatah lagi kalau anak-anak semenjak awal usianya telah belajar berbahasa secara keliru apalagi itu sangat luas implikasi dalam agama ini.
Keterampilan kecakapan berbahasa itu mempengaruhi kemampuan mereka berpikir secara lebih mendalam dan kearah yang lebih tinggi, dan dalam sisi lain bahasa itu mempengaruhi dzuq mareka. Ada pengalaman seorang teman yang dulunya adalah adik kelas saya di fakultas psikologi UGM, ketika ia mendapatkan amanah untuk mengelolah sekolah. Dijumpai anak-anak di sekeloha itu bermacam perilakunya dan banyak sekali yang perlu di perbaiki dari perilaku-perilaku mereka itu. Maka yang dilakukan oleh teman saya ini adalah dengan mengubah cara berbahasa dari anak-anak itu. Anak-anak diwajibkan berbahasa secara tertib dan menggunakan kalimat-kalimat yang benar. Misal ada pertanyaan ‘apakah kamu suka atau tidak dengan ini?’, anak-anak tidak boleh menjawab hanya dengan ‘enggak’ tetapi diarahkan untuk menjawab dengan tertib dengan kalimat ‘tidak, saya tidak suka’. Pada awalnya sebagian guru merasa itu hal yang lucu, tapi masyaaAllah yang terjadi kemudian adalah anak-anak itu menjadi tertib, anak-anak itu perilakunya menjadi berubah, anak-anak lebih memiliki sikap respect, dan lebih memiliki sikap hormat.
Tertib berbahasa itu merupakan bagian dari keselamatan akhirat dan tertib berbahasa itu memiliki implikasi pada hukum. Karena itu ada hal-hal (kalimat negatif) yang tidak dapat diganti dengan kalimat positif, misalnya mengubah kalimat negatif ‘tidak boleh’ menjadi kalimat ‘sebaiknya tidak’ karena ini ada implikasi kepada hukum. Sesuatu yang haram tidak boleh disampaikan dengan sesuatu yang bernada anjuran. Contoh ketika seseorang meyakini bahwa merokok adalah sesuatu yang haram maka ketika dia memberikan larangan hendaklah jelas ‘dilarang merokok’ tetapi jika digunakan kalimat ‘sebaiknya tidak merokok’, alih-alih sopan santun tapi justru kalimat tersebut merubah kekududukan rokok yang seharusnya haram menjadi makruh.
Jika kita menilik hadits-hadits atau ayat-ayat mengenai fitrah kita akan mendapati bahwa diantara makna fitrah adalah tauhid, millah, dinul islam serta perjanjian seorang hamba dengan Rabb-nya. Sebagaimana dalam salah satu hadits yang disabdakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Secara umum makna fitrah adalah tauhid, millah dan dinul islam, jadi ketika memaknai fitrah ini kita tidak boleh keluar dari kaidah ini. Yang menarik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada kita bahwa yang menjadikan seseorang itu berpaling dari fitrah adalah orang tua. Tugas orangtua itu adalah menjaga bukan menumbuh kembangkan bukan memperkuat, tetapi tugas orang tua adalah menjaga, merawat dan melindunginya agar tidak berbelok dan menyimpang. Hal-hal yang membuat seseorang bergeser atau berpaling dari fitrah Allah salah satunya adalah berkaitan dengan perkataan / bahasa. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa hadits yang secara konsisten menyebutkan bahwa penyebab yang menyebabkan rusak atau bergesernya fitrah Allah pada diri anak adalah kemampuan berbahasa anak.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir)
Kalimat ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ (hingga ia fasih (berbicara)) menunjukkan bahwa titik penting yang menjadikan seseorang itu bergeser atau berpaling dari fitrah itu adalah lisannya. Yaitu dari apa-apa yang dia terima dan diserapnya selama ini selama belajar berbahasa.
Teladanilah Rasulullah dalam mengajarkan bahasa yang fasih kepada anak-anak, kita bisa menemuinya dalam banyak hadits, diantaranya adalah ketika Rasulullah mengajarkan kepada Ibnu Abbas perkataan-perkataan yang kokoh dan dalam maknanya saat beliau membonceng Ibnu Abbas di atas untanya.
Tanya Jawab
- Bagaimana mengklasifikasikan pada usia berapa anak anak dilatih dan dibimbing membaca sampai memahami bacaan secara runut?
Jawaban:
Jika kita merujuk pada ilmu yang ada dalam khazanah islam maka kita mengenal istilah qira’ah bil ghoib (membaca tapi tidak melihat tulisan), ini yang sering disalah pahami sebagai membaca dalam bentuk reading, padahal kalau kita cari padanannya dalam dalam inggis qira’ah bil ghoib adalah reciting. Jadi tahapan yang paling awal dalam membaca dan itu pula yang kita dapati dari ulama terdahulu yaitu mengenalkan kandungan sebuah bacaan dengan talqin atau mendiktekan, qira’ah bil ghoib. Comtohnya adalah ketika kita memulai acara kita mengucapkan marilah kita sama-sama membaca basmalah, membaca dalam kalimat tersebut bukan berarti membaca tulisan yang isinya basmalah tetapi membunyikan. Sehingga jika kita mengacu pada pertanyaan tersebut maka pada masa-masa awal usia anak kita dapat mengenalkan bacaan-bacaan tetapi tidak menuntutnya untuk mampu membaca.
Kapan anak-anak mulai diajarkan membaca secara runtut? Yakni ketika ia mulai menginjak usia 6 tahun. lebih tepatnya yaitu ketika anak memiliki reading readiness (kesiapan membaca), tetapi jika anak kita memiliki kesiapan membaca, memiliki antusiasme dan rasa senang dengan buku maka kita dapat menyampaikan lebih awal. Kesiapan membaca sendiri adalah bukanlah sesuatu yang ditunggu-tunggu, umumnya memang di usia 6 tahun. tetapi jika kita persiapkan, kita beri stimulasi terutama stimulasi terhadap kemauan anak terhadap buku maka kesiapan itu bisa datang lebih awal sebelum usia 6 tahun. tetapi kesiapan lebih awal itu tidak sama dengan lebih unggul karena itulah fokus utama pada usia ini bukanlah pada keterampilannya melainkan sikapnya dan dorongannya terhadap membaca.
Minat membaca itu tidak sama dengan minat belajar karena itu jika tidak kita persiapkan sedari awal anak itu bisa jadi sangat suka membaca sementara itu dia tidak suka untuk belajar. Itu sebabnya pada saat kita mengajarkan kepada mereka membaca bersamaan itu pula kita tanamkan kepada mereka dan kita latihkan untuk mencerna, untuk memahami lebih dalam dan mendampingi mereka untuk mendalami buku-buku yang mereka baca itu. Disinilah orang tua perlu belajar.
Saya (Ustadz Fauzil Adhim) pernah menuliskan buku panduan tetapi buku panduan ini tidak diterbitkan terpisah tetapi menjadi satu dengan buku tentang kisah para nabi. Kisah para nabi itu disertai dengan buku panduan orang tua agar buku itu tidak hanya menjadi media untuk membacakan cerita melainkan melalui buku itu orang tua dpat memandu anaknya yang masih balita atau anaknya yang sudah usia sekolah untuk menggali lebih dalam dan berlatih berpikir lebih kritis melalui buku tersebut. Apa bisa anak menelaah buku cerita yang dibaca? Bisa, jika kita memberikan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan daya jangkau anak dan kita memberikan pertanyaan-pertanyaan dan sifatnya bukan hanya menggali apa yang diketahui saja. Secara kognitif ada beberapa tingkatan kemampuan pada diri seseorang, yang paling rendah namanya mengetahui. Pertanyaan untuk menguji seseorang itu tahu atau tidak ialah dengan hanya recalling saja. Kita dapat mengajukan pertanyaan yang lebih kompleks kepada anak walaupun anak itu masih kecil. Jadi dalam hal ini bukan kita yang menyuruh anak memahami tapi kita yang memberikan pertanyaan-pertanyaan, kita yang memberikan ransangan sehingga bacaan itu bermakna lebih kaya dan anak berpikir lebih jauh. Walaupun bukan anak-anak, katakanlah dia sudah usia remaja bukan berarti ketika membaca otomatis lebih baik, tidak!. Betap banyak orang yang usia bertambah tetapi ketika membaca mereka hanya memorizing (mengingat) saja tidak sampai pada tingkat berpikir lebih mendalam dan tidak perpikir ke arah yang lebih tinggi.
- Bagaimana tahapan mengajarkan membaca agar dapat dipahami dengan baik dan benar?
Jawaban:
Pertanyaan kedua ini berkaitan dengan kecakapan untuk memahami lebih baik dalam sebuah bacaan. Ini sebenarnya yang paling menentukan bukanlah daya tangkap anak dari sebuah buku melainkan yang paling menentukan adalah kepekaan anak dalam berbahasa maka kita dapat melatihnya di luar kegiatan membaca itu sendiri.
Misalnya dengan melatih pemahaman anak dalam berbahasa, contoh kalimat “..itu temanmu tidak menganjurkan memakai” atau “ temanmu mengajurkan untuk tidak memakai?”. Tidak menganjurkan maknanya sesuatu itu bersifat mubah (boleh) jika ditakar secara hukum agama, sedangkan menganjurkan untuk tidak itu maknanya lebih dekat dengan makruh yang makruhnya itu mendekati haram, ini jika kita pakai analogi hukum. Karena berbahasa itu imbasnya pada hukum, dan bagaimanan memahami kedalaman suatu makna. Sehingga latihan-latihan inilah yang kita perlukan. Misalnya ketika anak berbicara “tidak semua” atau “semua tidak”, mungkin sebagai orang masih bingung memahami beda antara keduanya. Berikan contoh kalimat pada anak “tidak semua pakai sepatu” artinya masih ada beberapa orang yang pakai sepatu, dan kalimat “semua tidak pakai sepatu” artinya tidak ada yang memakai sepatu. Nah, seperti inilah yang dilakukan untuk melatih kepekaan berbahasa. Kepekaan berbahasa itu akan membawa kita dan anak-anak kita dalam kecakapan memahami kalimat-kalimat itu dengan lebih baik.
- Saya Melinda dari Cikarang. Ingin bertanya kepada Ustadz. Anak saya disleksia, perempuan usia 9 tahun sudah bisa membaca tetapi kesulitan memahami isi bacaan, Buku apa yang sebaiknya saya mulai ajarkan untuk memperkokoh keimanannya. Terima kasih.
Jawaban:
Secara pribadi saya memiliki pengalaman berkenaan dengan hal ini walaupun bisa jadi pada tingkat yang lebih ringan. Yakni ketika saya kecil saya sulit membedakan huruf hijaiyah antara ba’ dengan nun, ta’ dengan ya’, kho’ dengn jim, syin dengan sin, dan huruf-huruf lain yang bermiripan. Sehingga proses membaca saya menjadi lebih lambat untuk huruf-huruf dalam Al-Qur’an dan huruf-huruf hijaiyah. Dan untuk tulisan latin saya mengalami cukup kesulitan di awal untuk membedakan huruf antara huruf ‘b’ dengan huruf ‘d’, ‘p’ dengan ‘q’, ‘a’ dengan ‘e’, dan saya akan sangat terbantu ketika ada yang menuliskan huruf ‘a’ yang tidak bermiripan dengan huruf ‘e’ terbalik. Ketika saya kelas 3 SD saya diharuskan untuk menulis dengan huruf tegak bersambung maka yang terjadi adalah, pagi menulis siang saya masih bisa membaca tulisan saya padahal sebenarnya saya tidak membaca namun hanya mengingat saja apa yang saya tulis. Sehingga kalau sudah keesokan harinya saya tidak bisa membaca lagi tulisan saya. Disebabkan karena pada dasarnya saya belum memiliki keterampilan untuk menulis. Ketika kelas 4 dan 5 SD, pelajaran yang paling sulit bagi saya adalah pelajaran mengarang karena untuk mengarang itu saya harus membuat judul dulu, kerangka kerangan dulu setelah itu baru menulis karangan. Sementara itu saya masih dihadapkan pada kesulitan membedakan huruf-huruf yang saya sebutkan tadi. Lalu apa yang paling berharga?, nah ini saya tidak tahu persis. Karena diseleksia itu sendiri bertingkat-tingkat, ada yang ringan sampai yang agak berat. Tetapi pada pokoknya diseleksia itu kesulitan yang berkenaan dengan disgrafia, atau bunyi-bunyi yang bermiripan. Tetapi diantara yang dialami anak-anak diseleksia itu kesulitan untuk memahami huruf, susunan huruf, terutama yang bermirip-miripan itu sehingga kita bisa membantunya untuk tidak mendekatkan. Kemudian yang kedua, bukan berarti anak-anak itu tidak memahami. Kalau dia mengalami kesulitan dalam memahami apa yang tertulis kita dapat membantunya dengan menyampaikan melalui tuturan lisan. Diantaranya dengan membacakan dan mengeksplorasi sebuah bacaan sehingga anak menemukan makna dan apa yang berharga dalam tulisan tersebut lebih dari sekedar apa yang tertulis. Allahu a’alam bi sowab.
Pada saat kecil itu yang saya rasakan saat membantu saya adalah saya tidak dihadapkan pada TV, yang sifatnya tontonan-tontonan itu. Karena tontonan-tontonan itu menjadikan daya serap melemah. Ada sebuah buku walaupun tidak berkenaan dengan Tv namun berkenaan dengan dunia online. Disebutkan dalam buku tersebut semakin banyak orang dewasa apalagi anak-anak yang surfing internet cenderung terjadi slowing (pendangkalan) kemampuan mendalami isi bacaan. Pada saat saya kecil TV tidak dihadapkan kepada saya dan saya hanya melihat TV pada saat siaran dunia dalam berita untuk mencatat. Ini hanya flashback saja dari pengalaman masa kecil yang saya alami.
Adapu mengenai huruf-huruf yang saya sulit untu membedakan, saya diberi keleluasaan untuk salah dalam penggunaannya, misal dengan menggunakan huruf kapital pada huruf ‘a’ atau ‘e’ agar tidakterlihat mirip. Ini semua dalam rangka untuk memudahkan membedakan huruf-huruf itu dan pada pokoknya adalah mencari alternatif dari cara-cara yang memudahkan anak untuk tidak mengalami kebingungan. Dan tidak mendekatkan huruf-huruf yang bermiripan atau menggunakan penanda pada huruf tertentu misalnya memberi ekor pada huruf ‘q’.
- Bismillah izin bertanya ustadz, apakah masih memungkinkan untuk memperbaiki bahasa/lisan pada anak berusia 7 tahun? Adakah batasan usianya?
Jawaban:
Masih sangat memungkinkan. Apalagi usia 7 tahun. Pada prinsipnya semakin bertambah usia akan menjadikan seseorang semakin sulit untuk memperbaiki kesalahannya. Semakin sulit maknanya masih ada peluang, tetapi memerlukan upaya yang lebih besar.
Memperbaiki bahasa merupakan salah satu cara terapi perilaku dan pengelolaan emosi yang lebih baik. Bahkan pada remaja maupun orang dewasa sekalipun, kerapkali saat mereka menghadapi masalah yang berhubungan dengan pengelolaan emosi, yang saya sampaikan kepada mereka adalah dengan berbahasa secara lebih tertib sekaligus memilah kalimat-kalimat yang dipergunakan.
Kadangkala ketika seseorang sedang menghadapi masalah emosi dengan dirinya sendiri, cara untuk mendorongnya berbicara lebih tenang adalah dengan mengajaknya mengungkapkan melalui tuturan kalimat yang baik dan benar serta menghindari penggunaan ungkapan-ungkapan yang tepat.
Jika kita memperhatikan dalam Al-Qur’an, ada pelajaran luar biasa. Artinya sama, tetapi nilainya berbeda antara undzurna dengan ra’ina. Mengapa tidak boleh memakai ra’ina? Ia berdekatan bunyi dengan ru’una. (Mari kita renungkan dan tadabburi ayat yang berkaitan dengan ini, al-Baqarah ayat 104)
Pada saat mendapatkan amanah untuk mengelola anak-anak di sebuah SD, teman saya Mas Joko (Abunnada) melakukan terapi perilaku dengan cara sederhana, yakni mengajarkan sekaligus mewajibkan mereka berbahasa lisan yang tertib, baik dan benar. Perubahan cara berbahasa, lalu berikutnya diikuti perubahan dalam menggunakan kosa-kata ini, ternyata berdampak sangat signifikan terhadap perubahan perilaku, sikap (lebih mendalam sifatnya) dan pada akhirnya adab maupun keyakinan mereka. Tetapi perubahan paling awal tampak pada perilaku mereka; lebih santun, lebih tenang.
Usia berapa itu? Anak-anak usia 7 – 12 tahun. Artinya, jangankan usia 7 tahun, usia 10 tahun saja dapat diubah perilakunya melalui perubahan berbahasa. Itu sebabnya, saya melarang anak-anak saya menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “kuy”, gaess, ambyar dan lain-lain. Sedih sekali saya ketika mendapati banyak yang memakai kata-kata semacam itu. Mengapa? Seperti kata Korzibsky, sehat dan sakitnya masyarakat (ditinjau dari segi mental) sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka berbahasa.
Satu lagi, di rumah saya membiasakan anak untuk mengungkapkan dengan penanda sederhana. Jika anak-anak memanggil saya dengan “Babe” –yang pada akhirnya menjadi Babenda– artinya anak saya sedang bercanda. Sedangkan panggilan “Bapak” untuk menandakan hal yang serius. Jadi jika saya memanggil dengan “Bapak”, itu berarti ada hal serius yang sedang saya perbincangkan.
Menarik sekali pertanyaan ini, tetapi waktu sudah tidak memungkinkan lagi. Saya hanya ingin menggaris-bawahi bahwa perubahan itu sangat mungkin kita mulai dan lakukan ketika anak berusaha 7 tahun.
Barakallahu fiikum. Semoga jawaban ini bermanfaat dan barakah.
Resume Kajian Literasi Islam bagian ketiga, dengan pemateri Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, diselenggarakan oleh komunitas Bukan Sekadar Baca Tulis.
Peresume: Ambi Ummu Salman
Depok, 14 Agustus 2020