‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi, Ulama yang hafal Ribuan Hadits Tanpa Pernah Menulisnya

Slide1

Muqaddimah

Ibnu syihab Az-Zuhri berkata, “Ulama itu ada empat, Sa’id bin A;-Musayyab di Madinah, ‘Amir Asy-Sya’bi di kufah, Al-Hasan Al-Bashri di Basrah, Makhul di Syam.”

Inilah sirah seorang Tabi’in yang mulia yang telah menyatukan antara ilmu, kesabaran, ketawadhuan, dan ruh yang baik di dalam dirinya. Keilmuannya dipersaksikan oleh salah seorang syeikh di antara para syeikh pada zamannya.

Sedangkan kesabarannya tergambar dalam peristiwa yang mengagumkan ketika seorang lelaki mencacinya dengan seburuk-buruk cacian, dan memperdengarkan kepadanya serendah-rendahnya perkataan. Namun, laki-laki itu hanya berkata kepadanya, “Jika engkau berkata jujur terkait apa yang engkau tuduhkan terhadapku maka semoga saja Allah mengampuni aku. Namun, jika engkau berkata dusta maka semoga saja Allah mengampunimu.”

Asy-Sya’bi adalah orang yang memiliki sifat tawadhu’ layaknya ketawadhuan para ulama. Pada suatu ketika ada seseorang yang bekerja kepadanya, “Berilah aku jawaban, wahai ahli fiqih yang alim.”

Maka ‘Amir Asy-Sya’bi menjawab,”Celakalah engkau, janganlah engaku berlebihan dalam memuji dan memuliakan kami dengan apa yang tidak ada di dalam diri kami. Ahli fiqih itu adalah orang yang menjauhi segala sesuatu yang diharamkan Allah, sedangkan ahli ilmu itu adalah orang yang takut kepada Allah. Lalu di manakah posisi kami dari hal itu?”

Slide2

Nama, Kelahiran dan Ciri-ciri ‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi

Beliau adalah ‘Amir bin Syarahil bin Abdullah bin Syarahil bin Abd asy-Sya’bi Abu Amr al-Kufi.

Dilahirkan pada enam tahun yang tersisa dari kekhalifaan Umar bin al-Khattab. Ibunya berasal dari tawanan Jalula’. Jalula’ adalah sebuah kota di pinggiran negeri Persia, di mana di sana terjadi perang yang masyur, yang ketika itu kaum muslimin meraih kemenangan atas Persia. Kota ini sekarang terteak di Irak, yang sekarang ini disebut kota as-Sa’idiyah.

Dia bertubuh kurus dan kecil karena saudara (kembar)nya telah menyainginya semasa di dalam rahim ibunya sehingga hal itu menghambat pertumbuhan fisiknya. Akan tetapi, kelak dia menjadi pemilik kecerdasan yang menyala-nyala, ingatan yang kuat, pemahaman yang menyatukan berbagai ilmu, serta kekuatan berkreasi yang membuatnya menjadi orang yang berbeda dan memiliki keunggulan pada zamannya.

 

Kesabaran Imam Asy-Sya’bi Berjalan di Bumi Memburu Ilmu

Dia tinggal di Madinah selama delapan bulan, mendengar periwayaatan dari Ibnu Umar, dan mempelajari ilmu hisab dari seseerang yang bernama Al-Harits bin Al-A’war.

Amir Asy-Sya’bi bertemu dengan lima ratus orang Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum dan meriwayatkan dari para sahabat yang mulia itu; di antaranya Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin, dan masih banyak yang lainnya yang hidup se-zaman dengannya.

Asy-Sya’bi memang mendengar periwayatan dari banyak sahabat sehingga salah seornag yang hidup sezaman dengannya bekata tentang hal tersebut, ‘’Asy-Sya’bi mendengar periwayatan dari empat puluh delapan orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan hampir dipastikan bahwa dia tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali yang derajatnya shalih.”

Asy-Sya’bi benar-benar dapat menangkap dan memahami semua yang dia dengar berkat keutamaan yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, berupa nikmat kecerdasan serta ingatan dan hafalan yang kuat. Sehingga dia berkata tentang hal ini untuk menggambarkan metodenya dalam hafalan dan pemahaman, “Aku tidak pernah menuliskan yang hitam (pena) pada yang putih (kertas) sampai sekarang ini, dan tidaklah seseorang meriwayatkan suatu hadits kepadaku kecuali aku lansung menghafalnya, dan aku tidak suka dia mengulanginya lagi kepadaku.”

Gambaran dari Asy-Sya’bi tentang kadar keilmuannya tidak hanya sebatas itu saja, melainkan dia meneruskan perkataannya, “Sejak dua puluh tahun yang lalu aku tidak pernah mendengar seseorang meriwayatkan suatu hadits kecuali aku lebih mengetahui dan lebih memahami hadits itu darinya. Dan sungguh, aku telah lupa tentang suatu ilmu yang jika ilmu itu dihafal oleh seseorang niscaya dia akan menjadi seorang ulama besar.”

Kekuatan hafalannya pun telah membantunya untuk mengatakan, “Aku tidak pernah meriwayatkan sesuatu yang jumlahnya lebih sedikit daripada syair. Namun, jika kalian mau, niscaya aku akan melantunkan syair (yang aku ketahui) kepada kalian selama satu bulan penuh tanpa mengulang-ulang (apa yang telah aku bacakan).”

Amir Asy-Sya’bi sangat gemar berkutat dengan pelajaran dan ilmu, serta sangat mencintai pengetahuan sehingga dia bersungguh-sungguh mencurahkan segenap kemampuannya untuk menempuh jalannya serta mau berusaha menundukkan segala kesulitan yang menghalangi keicintaannya terhadap ilmu. Dia pernah mengungkapkan tentang kecintaannya ini melalui perkataannya, “Seandainya seseorang melakukan perjalanan dari ujung Syam sampai ke ujung Yaman, lalu dia menghafal satu kata saja yang dapat memberikan manfaat baginya untuk masa depannya maka aku memandang bahwa perjalanannya itu tidaklah sia-sia.”

Kekuatan hafalan Asy-Sya’bi pun telah membantunya dalam mengahafal banyak atsar yang berkaitan dengan berbagai permasalahan yang diajukan kepada para sahabat yang mulia. Oleh karenanya, dia dikenal dengan shahibu atsar (pemilik atsar).

Suatu ketika, ada seseorang yang bertanya pada Asy-Sya’bi, “Bagaimana caranya sehingga engkau dapat mencapai derajat keilmuan seperti ini?”

Maka dijawablah oleh Asy-Sya’bi, yang jawabannya juga menjadi resep bagi kita untuk melahirkan generasi mendatang umat ini. Generasi yang kokoh dan dicintai Allah.

Asy-Sya’bi berkata:

“بنفي الاعتماد، والسير في البلاد، وصبر كصبر الجماد، وبكور كبكور الغراب”

“Dengan tanpa bersandar (pada diri sendiri), bersafar di belahan negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, bersegera seperti bersegeranya burung gagak.”

Pertama, tidak bersandar dengan kemampuan sendiri. Sebab bagi seorang yang berilmu, hafalan kuat dan kecerdasan saja tidaklah cukup. Ada pertolongan dan izin Allah yang melandasi kemampuan manusia. Maka minta tolonglah kepada Allah!

Kedua, menjelajahi negeri untuk belajar ilmu. Imam Syafi’i berangkat sejauh 500 km untuk belajar. Ini baru generasi kokoh! Akan tetapi, jangan sekadar menjelajah tanpa ada kebaikan yang diperoleh. Menempati satu tempat namun ada ahli ilmu di dalamnya bisa jadi lebih baik daripada merantau. Sebagaimana Imam Syafi’i yang baru meninggalkan Madinah setelah Imam Malik wafat. Maka merantaulah, jika dengan merantau dapat menambah ilmu dan menambah rasa takutmu kepada Allah. Namun jika tidak ada yang kau dapat dari merantau selain berkurangnya usia dan lunturnya keimanan, tetaplah di negerimu.

Ketiga, bersabar seperti sabarnya benda mati. Seperti kursi. Siapakah yang lebih bersabar dan mampu bertahan lebih lama, kita yang menduduki kursi atau kursi yang diduduki oleh kita? Inilah nasihat emas dari asy-Sya’bi. Sebab kita melihat generasi hari ini adalah generasi yang lemah kesabarannya. Tidak tahan dengan waktu belajar yang lama dan tempat belajar yang jauh. Tidak tahan dengan guru yang mendidik dengan ketegasan.

Keempat, bersegera seperti bersegeranya burung gagak dalam mencari rezeki di pagi hari.

Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Antusiaslah terhadap segala sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.”

Maka jadilah generasi yang sigap dan cekatan terhadap setiap peluang kebaikan. Peluang mendapatkan ilmu, peluang berinfaq, dan peluang-peluang amal shalih lainnya.

Slide3

 

Derajat Keilmuan Asy-Sya’bi

Suatu ketika pernah datang kepadanya seorang laki-laki yang bertanya tentang suatu masalah, lalu dia menjawabnya seraya berkata, “Umar berkata begini dan begitu dalam masalah tersebut. Adapun Ali berkata begini dan begitu.”

Maka orang yang bertanya itu lansung mengajukan pertanyaan lain, “Sedangkan engkau, bagaimana pendapatmu wahai Abu ‘Amr?”

Maka dia pun tersenyum dan berkata, “wahai saudaraku, apa yang akan engkau perbuat dengan perkataanku setelah engkau mendengar perkataan Umar dan Ali?”

Demikianlah dia menghormati para sahabat yang mulia, menghargai ilmu dan fatwa mereka, serta bersikap tawadhu dari kebanggan ilmu dan para ulama.

Selanjutnya, ‘Amr Asy-Sya’bi telah mencapai ilmu yang sangat banyak; bahkan sampai digelar halaqah di masjid jami’ Kufah dan orang-orang berkumpul di sekelilingnya, padahal waktu itu para sahabat Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam masih di tengah-tengah mereka. Abdullah bin Umar pun pernah melintas di hadapan Asy-Sya’bi ketika dia sedang membacakan Al-Maghazi kepada murid-muridnya, lalu Ibnu Umar berkata, “Seakan-akan orang ini ikut menyaksikan peristiwa itu bersama kami. Sungguh, dia lebih hafal dan lebih paham dariku mengenai hal tersebut.”

Ibnu sirin pun mememberikan gambaran tentang halaqahnya Asy-Sya’bi di Kufah, dia mengatakan, “Aku datang ke Kufah dan Asy-Sya’bi memiliki halaqah yang sangat besar, padahal pada saat ini para sahabat masih banyak.”

 

Bukti-bukti akan keluasan ilmu asy-Sya’bi dan ketajaman ingatannya sangat banyak, diantaranya adalah kisah yang beliau ceritakan sendiri:

“Telah datang kepadaku dua orang yang saling membanggakan kaumnya. Yang satu dari Bani Amir dan satunya dari Bani Asad. Orang dari Bani Amir unggul atas lawannya dan berlaku kasar dengan menyeret orang dari Bani Asad tersebut ke hadapanku. Sementara yang diseret dengan lemah mengatakan, ‘Lepaskan aku…lepaskan aku..’!”

Namun dia berkeras dan berkata, “Tidak akan kulepas sebelum diakui oleh Asy-Sya’bi bahwa kemenangan ada dipihakku.” Selanjutnya aku berkata kepadanya, “Lepaskan dulu kawanmu itu baru kalian aku adili.”

Terhadap orang Bani Asad aku katakan, “Mengapa engkau merasa lemah dan kalah di hadapannya? Sesungguhnya kalian Bani Asad memiliki enam kebanggaan yang tak dimiliki oleh bangsa-bangsa Arab yang lain.

Pertama, di kalangan kalian ada seorang wanita yang dipinang oleh manusia yang paling mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Allah sendiri yang menikahkannya dari atas langit-Nya yang ketujuh dan mengirimkan utusan Jibril untuk keduanya. Dialah Ummul Mukminin Zaenab binti Jahsy. Inilah kebanggaan pertama bagi kaummu yang tak dimiliki bangsa Arab lainnya.

Kedua, di antara kaum kalian ada seorang penduduk surga yang berjalan di atas muka bumi, yaitu Ukasyah bin Mihshan. Padahal tidak ada hal seperti itu pada bangsa-bangsa Arab selain kalian wahai Bani Asad.

Ketiga, panji Islam pertama telah diserahkan kepada salah seorang dari kaum kalian, yaitu Abdullah bin Jahsy.

Keempat, hasil ghanimah pertama yang dibagi-bagikan dalam Islam adalah hasil ghanimahnya.

Kelima, sahabat pertama yang mengikuti bai’atur ridhwan adalah dari kaum kalian juga. Ketika kawan kalian Abu Sinan bin Wahab mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, ulurkan tangan Anda, aku akan membai’at Anda.”

Nabi, “Ba’iat atas apa?”

Abu Sinan, “Atas apa yang ada di hati Anda.”

Abu Sinan, “Yakni menang atau mati syahid.”

Nabi, “Benar.”

Kemudian orang-orang membai’at nabi seperti seperti bai’atnya Abu Sinan.

Keenam, bahwa Bani Asad adalah sepertujuh dari muhajirin yang turut dalam perang Badar.” Mendengar uraian di atas, orang dari Bani Amir terkejut dan terdiam.

Tidak diragukan lagi, dalam masalah ini asy-Sya’bi ingin membela pihak yang lemah yang dikalahkan oleh kaum yang kuat. Seandainya orang dari Bani Amir yang kalah, tentu asy-Sya’bi akan menyebutkan pula kebaikan-kebaikan kaumnya yang tak diketahui keduanya.

Tatkalah tampuk khilafah beralih ke tangan Abdul Malik bin Marwan, amirul mukminin menulis surat kepada gubernurnya di Irak, Hajjaj bin Yusuf, “Hendaknya engkau mengirim kepadaku seorang yang mahir dalam agama dan dunia, yang akan aku jadikan sebagai teman dan pendampingku.”

Lalu diutuslan Asy-Sya’bi dan amirul mukminin berkenan menjadikannya sebagai pendamping dan memanfaatkan ilmunya ketika menghadapi kesulitan, memakai pandangannya setiap kali membutuhkan dan menjadikan dia sebagai utusannya untuk bernegoisasi dengan raja-raja di muka bumi.

Suatu kali Asy-Sya’ diutus untuk urusan penting menemui Justinian kaisar Romawi. Setibanya beliau di Romawi dan setelah memberikan keterangan, kaisar Romawi kagum akan kecerdasan dan kelihaiannya, serta takjub akan keluasan wawasan dan kekuatan daya tangkapnya.

Dia bahkan meminta kesediaan Asy-Sya’bi untuk memperpanjang kunjungannya sampai beberapa hari, sesuatu yang tidak pernah dilakukan kaisar terhadap para utusan yang lain.

Ketika Asy-Sya’bi mendesak agar segera diizinkan pulang ke Damaskus, Justinian bertanya, “Apakah Anda dari keterunan raja?” Beliau menjawab, “Tidak, saya seperti umumnya kaum muslimin.”

Setelah beliau diijinkan pulang, kaisar berkata, “Jika Anda telah sampai kepada Abdul Malik bin Marwan dan menyampaikan apa yang kehendakinya, berikan surat ini kepadanya.

Setibanya Asy-Sya’bi di Damaskus, beliau bersegera menghadap khalifah Abdul Malik untuk melaporkan apa yang dia lihat dan dia dengar. Ketika hendak beranjak pulang, beliau berkata, “Wahai amirul mukminin, kaisar Romawi juga menitipkan surat ini untuk Anda,” kemudian beliau pulang.

Ketika amirul mukminin membaca surat tersebut, beliau berkata kepada pembantunya, “Panggillah Asy-Sya’bi kemari.” Maka Asy-Sya’bi kembali menghadap khalifah.

Khalifah, “Tahukan Anda, apakah isi surat ini?”

Asy-Sya’bi, “Tidak wahai amirul mukmin.”

Khalifah, “Kaisar Romawi itu berkata, ‘Saya heran kenapa orang Arab mau mengangkat raja selain orang ini (asy-Sya’bi)’?”

Asy-Sya’bi, “Dia berkata demikian karena belum pernah berjumpa dengan Anda. Andai saja dia pernah melihat Anda, tentulah dida tak akan berkata demikian.”

Khalifah, “Tahukah Anda, mengapa kaisar menulis surat seperti ini?”

Asy-Sya’bi, “Tidak wahai amirul mukmin.”

Khalifah, “Dia menulis surat seperti itu karena iri kepadaku lantaran memiliki pendamping sepertimu, lalu dia hendak memancing kecemburuanku sehingga aku akan menyingkirkan dirimu.”

Ketika pernyataan Abdul Malik ini sampai ketelinga Justinian, dia berkata, “Demi Allah, memang tidak ada maksud dariku selain itu.”

Asy-Sya’bi mampu meraih derajat ilmu yang setara dengan para ulama pada zamannya. Az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya ulama itu ada empat, yaitu Sa’id bin Musayyab di Madinah, Amir bin Syurahabil di Kufah, Hasan Al-Bashri di Bashrah dan Makhul di Syam.”

Hanya saja karena sifat tawadhu’, beliau tidak suka bila ada yang menyebutnya alim (orang yang berilmu). Pernah salah seorang dari kaumnya berkata, “Jawablah wahai faqih, wahai ‘alim!” beliau berkata, “Janganlah memujiku dengan apa yang tidak ada padaku. Orang yang faqih adalah orang yang benar-benar menjauhi segala yang diharamkan Allah dan orang alim adalah orang yang takut kepada Allah. Manalah aku termasuk di dalamnya?”

Suatu ketika beliau ditanya tentang suatu masalah, beliau menjawab, “Umar bin Khathab berkata begini, Ali bin Abi Thalib berkata begini.” Maka penanya berkata, “Maka bagaimana pendapat Anda wahai Amru?”

Beliau tersenyum malu dan berkata, “Apa pula pentingnya kata-kataku bagimu padahal Anda sudah mendengar pendapat Umar dan Ali?”

Di samping itu, Asy-Sya’bi menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang utama. Beliau tidak suka debat kusir dan berusaha menjauhkan diri dari pembicaraan-pembicaraan yang tak bermanfaat. Suatu kali sahabatnya berkata, “Wahai abu Amru!”

Beliau berkata, “Labbaik.” Orang itu bertanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang perbincangan orang berkenaan dua orang itu?” beliau berkata, “Dua orang yang mana?” Dia menjawab, “Utsman dan Ali.”

Beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak ingin pada hari kiamat nanti menjadi musuh bagi Utsman bin Affan dan Ali bin Thalib.”

Sungguh telah terkumpul pada diri Asy-Sya’bi antara ilmu dan kelapangan dada. Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang menuduh beliau dengan tuduhan yang keji dan memaki dengan kata-kata kotor, namun tiada yang dikatakan Asy-Sya’bi selain kalimat, “Jika memang apa yang Anda tuduhkan kepada saya itu benar, mudah-mudahan Allah mengampuni saya. Namun jika memang tuduhanmu dusta, maka semoga Allah mengampunimu.”

Beliau tidak segan-segan menerima ilmu dari orang-orang yang masih pemula kendati beliau telah masyhur akan keutamaan, ma’rifah dan hikmah-hikmahnya.

Pernah suatu ketika ada orang dusun yang selalu rajin mendatangi majelisnya, tetapi orang ini banyak diamnya, sehingga suatu kali Asy-Sya’bi menegurnya, “Mengapa engkau tak pernah bicara?”

Dia berkata, “Ketika aku diam maka aku selamat, ketika aku mendengar maka aku mendapat ilmu. Hasil dari telinga akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan hasil lisan akan berpindah ke orang lain.” Sejak itu kalimat orang dusun itu selalu beliau ulang-ulang dalam hidupnya.

Meski demikian sempurna dan ketinggian kedudukannya dalam hal ilmu dan agama, Asy-Sya’bi juga mampu berbicara dalam bahasa yang mudah dipahami dan enak didengar. Sesekali beliau juga bercanda selagi masih dalam batas diperbolehkan dan bermanfaat.

Suatu ketika, datanglah seseorang kepada beliau yang tengah duduk bersama istrinya. Orang itu bertanya, “Siapa diantara kalian yang dipanggil Asy-Sya’bi?’ beliau menjawab, “Ini dia” beliau menunjuk istrinya. Yang lain lagi bertanya, “Siapa nama istri iblis itu?” Beliau menjawab, “Kami tidak menghadiri pesta pernikahannya.’

Barangkali ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan karakter asy-Sya’bi adalah pengakuan beliau, “Tak pernah aku bangun dari tempat dudukku untuk melakukan sesuatu agar dilihat oleh semua orang, tak pernah aku memukul budakku dan tak pernah kubiarkan sanak keluargaku meinggal dengan membawa hutan gmelainkan kebanyakan.”

Slide4

Diantara Pernyataan dari Amir bin Syarahil

Abu al-Hasan al-Mada ini mengatakan dalam kitab al-Hikmah, pernah ditanyakan kepada asy-sya’bi, “Dari anakah engkau mendapatkan semua ilmu ini?, “Dengan tanpa bersandar (pada diri sendiri), bersafar di belahan negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, bersegera seperti bersegeranya burung gagak.”

Dari Ibnu Syubrumah, dari asy-Sya’bi, dia mengatakan, “Nafsu itu hanyalah disebut al-hawa (hawa nafsu), akrena ia menjerumuskan pelakunya.”

Dari Abu al-Jabiyah al-farra’, dia mengatakan, asy-Sya’bi berkata, “Kami bukanlah para ahli fiqih (fuqaha), tetapi kami mendengar hadits lalu kami meriwayatkannya. Tetapi fuqaha ialah orang yang apabila telah mengetahui (ilmu), mak dia mengamalkannya.”

Dari Malik bin Mighal, dia mengatakan, dikatakan kepada asy-Sya’bi, “Hai orang alim.” Maka asy-Sya’bi mengatakan, “Orang alim adalah orang yang takut kepada Allah.”

Dari abu Ishaq, dari asy-Sya’bi, dia mengatakan, “Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu di dunia karena Allah, melainkan pasti Allah memberikan kepadanya di akhirat sesuatu yang lebih baik baginya.”

Dari Mujahid, dari asy-Sya’bi, dia mengatakan, “Manusia hidup dengan agama dalam masa yang panjang hingga agama lenyap, kemudian manusia hidup dengan muru’ah (kepribadian baik) selama masa yang panjang hinggah muru’ah hilang, kemudian manusia hidup dengan rasa malu hingga rasa malu hilang, kemudian manusia hidup dengan harap dan cemas. Saya menyangka bahwa akan datang setelah ini yang lebih berat darinya.”

Dari Ibnu Ayyasy, dari asy-Sya’bi, dia mengatakan, “Bangsa Arab mengatakan, jika kebaikan seorang laki-laki mengalahkan keburukannya, maka itulah laki-laki sempurna. Jika keduanya hampir sama, maka itulah orang yang mutamassik (orang yang menahan diri). Namun, jika keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, maka itulah orang yang tidak tahu malu.”

Dari Muhammad bin Bisyr dan Basyir, dia mengatakan, asy-Sya’bi mengatakan, “Hati-hatilah terhadap pendurhaka dari kalangan ulama dan orang jahil dari kalangan ahli ibadah, karena ini adalah penyakit semua orang yang terfitnah.”

Dari Dawud bin Abu Hind, dari asy-Sya’bi, “Kaum laki-laki itu ada tiga, laki-laki, separuh laki-laki, dan bukan laki-laki. Adapun laki-laki yang sempurna ialah laki-laki yang memiliki pendapat dan dimintai sarannya, separuh laki-laki ialah orang yang tidak memiliki pendapat tapi dimintai sarannya, sedangkan yang bukan laki-kai ialah orang yang tidak memiliki pendapat dan tidak pula dimintai sarannya.”

Dari Mujalid, dari asy-Sya’bi, “Ilmu itu terlalu banyak untuk dihitung, maka ambillah yang terbaik dari segala sesuatu.”

Muhajalid juga menuturkan dari asy-Sya’bi, “Baik bertetangga itu bukanlah dengan tidak mengganggu tetangga, tetapi baik bertetangga ialah engkau bersabar terhadap gangguan mereka.”

Slide5

‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi wafat

Imam Asy-Sya’bi wafat pada tahun 103 H, Usia Asy-Sya’bi mencapai lebih dari 80 tahun. Ketika berita tentang wafatnya sampai kepada Hasan Al-Bashri ulama Bashrah, beliau berkata, “Semoga Allah merahmati beliau, sunggu beliau memiliki ilmu yang luas, lapang dada dan memiliki kedudukan yang tinggi dala Islam.

Slide6

Allahu a’lam…

Ambi Ummu Salman

Sumber :

  1. Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan
  2. Buku “Kisah Para Tabi’in”, Syaikh Abdul Mun’in Al-Asyim, Ummul Qura
  3. Buku “Biografi 60 Ulama Ahlussunnah”, Syaikh Ahmad Farid, Darul Haq.

 

 

 

Add Comment